37. Tiga Tujuh

18.2K 1.2K 2
                                    

Selamat membaca🤗

_____

Akhir-akhir ini pemandangan lengan saling menaut di perut kerap kutangkap setiap paginya. Aku berbalik mendapati Cakra tengah meringkuk di belakangku, tidurnya lumayan pulas berkat lelah yang ia tanggung. Entah kapan ia menyusup ke kamar ikut tidur bersamaku.

Sudah hampir setengah enam, biasanya ia sedang bersiap olahraga namun aku tak sampai hati membangunkannya. Kupandangi seksama seraya jemariku jahil menelusuri permukaan kulitnya.

Cakra punya kebiasaan melepas baju saat tidur, satu hal yang kusyukuri dan kusesalkan. Bersyukur karena setiap tidur bersamanya, dada bidang beserta perut kotaknya menjadi miliku, aku bebas menatapnya. Namun hal buruknya ada pada presektif orang, dada telanjang selalu berakhir dengan pikiran buruk.

Saat ketangkap basah tempo hari, tante Iren menyangka aku telah melakukan hal senonoh bersama Cakra hanya karena kami tidur bersama dengan Cakra bertelanjang dada.

"Jam berapa Na?" Cakra menggeliat, mungkin merasakan sentuhan tanganku.

"Setengah enam." Jawabku tersenyum, Cakra sudah menangkap tanganku dari rahangnya.

"Absen olahraga boleh kali ya, capek banget!" Keluhnya menutup mata kembali. "Aku pulang tengah malam banget."

"Sekarang orang rumah udah komplit, Marissa juga ada. Kenapa malah tidur di sini?" Tanyaku agak was-was, aku malas berurusan dengan sindiran lain bila tertangkap basah oleh Marissa.

"Tempat aku pulang ya kamu, Na." Santainya mulai membuka matanya perlahan. "Kamu rumahku."

"Ya, gak gini juga konsepnya. Udah ah, aku mandi dulu." Ungkapku menyingkap selimut.

Cakra ikut beranjak, ia tangkap pergelangan tanganku. "Ikut, boleh ya?"

Selalu begitu, mandi bersama seolah pencapaian yang harus ia gapai. Kepalaku akhirnya mengangguk. Kentara jelas perubahan ekspresinya. Mata mengantuknya mendadak terbuka lebar, senyumnya kian melebar, tubuhnya teraliri semangat ekstra.

"Boleh? Yakin? Akhirnya." Pekik Cakra antusias.

"Tadi katanya ngantuk, mau absen olahraga juga kok sekarang mendadak semangat?" Tanyaku menyindirnya.

"Mandi bersama juga olahraga tahu, Na." Cengenges Cakra sudah berdiri di sampingku. "Ayok!"

Hampir saja badanku dibopongnya menuju kamar mandi, beruntung Cakra tipe pendengar yang baik. Ia mendengarkan perintahku untuk berhenti. "Kenapa sih Nq? Katanya tadi boleh mandi bareng?"

Aku sedikit mendongak menatap maniknya. Ada gairah berkobar-kobar di sana. Sedikit kujinjit mengalungkan tangan untuk mengecupnya singkat. "Becanda Cak, kita bisa lakuin kapan-kapan, gak sekarang."

Cakra terpaku mendapat kecupan tanpa aba-aba, sempat mematung selama kakiku melangkah tiga langkah banyaknya. Setelahnya giliran ia menyerangku cepat. Ia tarik tubuhku, membalikan badanku dan memagut rakus bibirku.

Seperti yang pernah ia lakukan, ia menyasar juga leherku, terus turun sampai dada buatku kewalahan mempertahankan kewarasan. Cumbuan yang tiada kendor terus membawaku berjalan mundur kembali ke tempat tidur.

Jika orang-orang bilang ada satu jatuh yang tidak menyakitkan, maka aku akan menambahkan satu jatuh lagi. Jatuh cinta dan jatuh ke kasur saat seseorang yang kita cintai melakukannya untuk membelai.

"Cak, aku bilang suatu saat nanti, bukan sekarang." Cegahku saat Cakra mulai menggila dengan menurunkan cumbuannya  tepat di dada.

Cakra mendapat kesadarannya dari gairah yang mulai membutakan. Kembali ia menatapku, tangannya mulai merapikan anak rambutku. "Maaf, terlanjur seneng. Itu artinya kamu bersedia untuk di sampingku selamanya kan Na? Jangan tinggalin aku, Na."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang