42. Empat Puluh Dua

18.3K 1.2K 33
                                    

Vote dulu sebelum baca yaaa gess
Happy reading🤗

_______

Berbeda dari Roni, kali ini Amara menjualku pada seseorang yang potensial mencuri hati. Wangi melebihi bau parfumku, rapi dibanding tampilanku, good looking dan positive vibes mengalahkanku. Jika mau mengadu soal wawasan dan kepintaran, jelas aku kalah. Apalagi mau membelek isi dompet, kantongku yang akan menjerit miris.

Praja tersenyum sebelum akhirnya bersalaman dan mempersilakan duduk. Attitudenya jempol, setidaknya itu kesan pertama yang kutangkap darinya. Manusia tanpa celah namanya mustahil, kupikir Praja pun memiliki sikap kurang baiknya namun tentu bukan urusanku.

“Padahal  kita termasuk tetanggan ya, tapi kok gak kenal sih.” Sambutnya tersenyum. “It’s been a pleasure meeting you, meski menyesal karena baru sekarang kenalnya.”

“Pak Praja aja yang gak notice sih. Dulu sesekali saya sempet liat bapak kok.”

Praja mengernyit bingung. “Bapak? Tua banget ya saya?”

Berdasarkan stalking linkedin yang silau akan jabatan, tentu sudah sepanasnya kusebut lebih hormat. “Ya, memang seharusnya begitu kan?”

“Praja aja kali, lebih santai.”

“Lebih tua dariku. Dulu saya masih seragam putih biru, bapak udah putih abu.” Jujurku karena memang mengenalnya meski sekedarnya.

“Eh, serius kamu kenal saya dulu? Kenapa gak pernah nyapa?”

“Saya jalan kaki atau sepeda, bapak naik mobil. Saya main bulutangkis di lapangan kompleks, bapak pergi les. Kita bertolak belakang terus menerus, titik temunya jadi gak ada.” Senyumku menyambar minuman yang baru datang.

“Wah, saya iri sama masa muda yang seru dan berwarna kayak gitu. Gak monoton kayak saya, suntuk banget rasanya dulu.” Curhatnya ikut menyedot minumannya. “Tapi panggilnya jangan bapak juga kali, Na.”

Basa-basi seru. Tipe kepribadianku agak aneh sepertinya, tidak semua jenis manusia bisa masuk dan klik ngobrol denganku. Bersyukur akhir-akhir ini orang yang hadir di hidupku seru-seru, mampu meleburkan rasa canggungku, termasuk Praja ini.

Sebelum masuk pada inti dari pertemuan, kami banyak mengupas kehidupan di komplek perumahan kampung halaman kami dan bagaimana kami hidup merantau di metropolitan ini.

“Sebenarnya Na, orangtuaku gak berniat ingkar janji. Ini murni karena masalahku jadinya mereka bertindak seenaknya.” Jelas Praja tak enak hati. “Mewakili kedua orangtua saya, saya minta maaf ya.”

“Jadi masalahnya bukan uang, Na. Mereka gak akan mau terima uang even kamu bisa bayar sekarang juga. Maaf banget, mereka melihat kelemahan kalian buat kepentingan pribadi.” Cerita Praja hati-hati. “Tahu keluarga kalian lagi sulit ekonomi makanya mereka pakai cara ini. Gak berharap uang, tapi mereka berharap kamu sebagai gantinya.”

“Maaf jangan tersinggung dulu. Bukan maksudnya kamu murahan, enggak. Justru karena merasa kamu wanita terhormat makanya mama papaku minta kamu. Seperti melamar wanita pada umumnya, minta kamu dari orangtuamu buat aku persunting. Cuma bedanya di sini ada unsur ancaman dan pemaksaannya.”

“Soal bantu kakakmu pinjemin uang sebenarnya dulu mereka ikhlas bantu, cuma kakakmu inisiatif kasih sertif rumah buat jaminan. Nah, mamaku tuh punya khawatir yang berlebih liat anaknya belum nikah juga makanya dia manfaatin kalian buat muasin egonya.”

Aku mendesah lelah. “Jadi kalau saya minta buat balik seperti perjanjian semula, dilunasi lima tahun gak bisa ya?”

Praja mengangguk. “Bukan uangnya yang mereka kejar.”

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang