52. Lima Puluh Dua

18.2K 1.1K 28
                                    

Happy reading🤗

_______

Terpukau sebentar sebelum akhirnya kupalingkan wajah dari cermin. Aku tahu kemampuan tangan Caca bagaimana kalau sudah menari di atas wajah orang. Tapi aku tidak menyangka peritilan alat make up yang biasa kupakai bisa teraplikasi sedemikian flawless dan cantiknya. Mengapa saat aku yang pakai hasilnya tidak separipurna ini?

Jam terbang dan skil memang kunci. Caca subuh tadi riweuh katanya kotak make-upnya tertinggal, mau heran tapi itu Caca dan Kanaya. Caca si anti diburu-buru, suka lupa kalo riweuh, dan Kanaya si tukang rusuh, hobinya memburu-buru. Dari sisi sini keduanya tidak dianjurkan berkerjasama.

"Lo undang Marissa ya, Na?" Kanaya datang dari balik pintu.

Aku mengernyit. "Enggak perasaan."

"Ada loh di luar, hadir." Serius Kanaya.

Betul saja, dia cantik hampir mengalahkan auraku si putri acara. Mengenakan dress putih selutut dengan belahan dada rendah tapi masih sopan tak memperlihatkan lekuk dua gunungnya. Di kepalanya ada semacam bando serupa crown begitu.

Remaja sekali tampilannya. Aku yakin orang asing akan sulit mempercayainya sebagai seorang janda anak satu. Ah, betul juga, mungkinkah Lio ikut serta? Atau mungkin bersama Cakra? Bisa saja Marissa datang ke mari hendak memamerkan betapa dia selalu menjadi pemenang akhirnya, kan?

"Mereka gak ikut kalo itu yang lagi lo cari." Sapa Marissa menghampiriku yang kedapatan tengah celingak-celinguk. "Gue datang gak papa kan?"

Tentu saja aku mengangguk. Kembali kupersilakan dia duduk di tempatnya. Acaranya lumayan besar dari biasa orang kampung lakukan. Menyewa tenda, backdrop dan perintilan lainnya. Disediakan juga berpuluh bahkan ratus kursi ala hajatan gedung. Daripada menyebutnya acara lamaran, ini cocoknya disebut acara nikahan.

Perasmanan, souvenir, sampai hiburan. Entah ibuku mengapa bisa seefort itu, mungkin dibantu juga oleh tante yang kini melebarkan senyum sumeringah. Dalam hati aku mengutuki, seakan pantas saja bersenang-senang diatas penderitaanku.

"Bismillahirohmanirahim, atas restu ibu dan keluarga saya terima lamaran mas Praja yang kedepannya akan jadi imam saya. Saya bersedia hidup bersama dalam susah maupun senang, dalam didikan dan perintahnya." Begitu yang kukatakan sesuai briefing dari salah satu MC subuh tadi.

Kilat lampu dibarengi jepretan khasnya mulai menyerang tangkap moment. Praja berhasil menyematkan cincin di jari manisku. Manis senyumnya, Praja ternyata punya lesung pipi kalau tersenyum lebar.

Benar kata Kanaya, Praja tipikal good looking. Akan banyak mata terpikat di kali pertama memandang. Namun, tampang bukan indikator utama membuat hati jatuh. Seberapa unggul Praja dibanding Cakra, aku tetap mengharapkan Cakra.

Ah, jangan harap seperti di drama ya. Di mana Cakra sebagai pemeran utama cowok dalam hidupku tiba-tiba datang menggagalkan acara ini. Ingatlah, dunia yang kupijak saat ini bukan ilusi.

"Sekarang giliran mbak Inara pasangkan ke jari mas Praja." Perintah MC setelah riuh tepuk tangan mereda.

Laun tapi pasti bulatan cincin emas tersebut menyusup diantara jari manisnya. Tepatnya saat di tengah-tengah, cincin tersebut mengalami kendala menelusup masuk hingga finish. Tidak juga seperti drama di webseries yang cincinnya melenceng terjatuh menggelinding ke lantai atau kesempitan tak muat di jarinya.

Kami mempersiapkan dengan baik, jadi kendala cincin kekecilan bukan satu yang kami khawatirkan. Satu kendala yang mungkin tidak banyak diketahui tamu undangan hanyalah hati kami. Tapi soal hati yang sama-sama belum klik kami sudah sepakat untuk belajar menjinakan.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang