46. Empat Puluh Enam

17.1K 1K 25
                                    

Vote sebelum baca yaaa, happy reading🤗

_____

Infonya, anak baru di kantor Gara terbiasa bebas lembur. Beban kerjanya belum sebesar anak lama atau mungkin bisa jadi karena perusahaan belum sepenuhnya percaya pada kemampuan para newbie.

Meski pengalaman di bidang yang sama, adaptasi tetap saja diperlukan. Gara bilang satu bulan pertama santai saja sembari menyesuaikan diri dengan lingkungan perusahaan dan aspek-aspeknya.

Maka dari itu Sabtu ini aku seharian di rumah. Kanaya lembur dan kuliah. Caca job di kota sebrang, luar biasa memang pertumbuhan bisnisnya. Cakra? Jangan tanyakan. Kerja terus bagai kuda. Praja? Siapa dia sampai harus kuganggu waktu liburnya.

Tiga film unggulan yang direkomendasikan platform streaming bahkan sudah kutonton habis namun waktu tetap bergulir lambat. Andai hubunganku bersama Lio tidak kacau, takkan tersisa ruang bosan sepertinya.

"Mama Praja nyebelin. Mama Cakra apalagi. Terus mama Jojo denger-denger gak kalah ngeselin. Kasian sih jadi lo, Na, disukain cowok-cowok berinduk redflag." Celetukan Kanaya tiba-tiba terngiang.

"Praja gak suka gue!" Koreksiku malam kemarin.

"Gue gak bilang kenangan di hidup tuh gak penting. Tentu aja penting terlebih menyangkut orang yang kita sayang. Tapi Na, kenangan itu sumbernya ada di ingatan. Percuma aja lo pertahanin barang-barang tersebut kalo otak lo tiba-tiba kena Alzaimer atau semacam pikun. Gak akan ada artinya Na! Lo bakal lupa semuanya. Di sanalah digital berperan." Pendapat Caca diantara wajah lelahnya.

"Lo pikir eyang Joseph Nicephore sama pengembang-pengembang lainnya gak punya tujuan jelas nyiptain kamera? Bukan semata buat dokumentasi, tapi maknanya lebih dalam. Sebagai rekam jejak yang gak pernah ilang."

"Lo punya album kebersamaan lo saat tinggal di rumah sana kan? Menurut gue itu udah cukup, Na. Kalo berat ngelepasin Cakra ya gak usah ngorbanin diri lo gitu."

Tapi memaksa bersama Cakra sama artinya dengan mengorbankan diri Lio. Jujur, tingkat kreatifitasku menggaet hati Lio nol besar. Sulit sekali meluluhkannya. Belum berusaha ekstra saja sudah ditolak mentah.

Pantang menyerah? Sikap tersebut lebih banyak kunasehatkan dibanding kupraktikan. Faktanya menyuruh orang tetap semangat, maju pantang mundur walau badai menerjang selalu lebih mudah dibanding mempraktikannya sendiri kan?

Menatap langit-langit kosan seraya mengembus napas letih. Detik berlalu menuju menit hingga kupalingkan wajah menuju getar ponsel di sampingku.

"Mau apalagi?" Serbuku kesal. Rasanya makin lama Amara makin lupa betapa pentingnya menjungjung 3 kata ajaib yang diajarakn orangtua kami.

Kata maaf, terimakasih, dan tolong. Bahkan sampai kekacauan ini terjadi ia belum membahas lagi ketiga kata tersebut secara tulus. Maaf untuk kekacauan, tolong untuk pertimbangkan bertemu Praja, dan terimakasih telah bersedia terlibat dengan tante Marla.

"Loh Mbak? Mbak Ina kenapa, Nak?" Lembut suara ibu menyapa. Ah, harusnya kutahan emosiku. Bukan Amara yang ada di balik telpon tersebut. "Lagi berantem sama nak Praja? Atau mbakmu bikin ulah lagi? Kok emosi gitu kedengerannya."

"Praja?" Refleksku. Pendengaranku cukup bagus bukan? Mengapa ibu tahu nama tersebut.

"Nak, nak, kamu itu loh misal punya cowok baru ya kenalin sama ibu sendiri. Masa ibu tahu dari tetangga sebelah sih?"

"Gimana Bu?" Pelanku kebingungan.

"Pas ibu lagi belanja di gerobak sayur, ada gosip katanya kamu sama anak yang punya gedong komplek sebelah pacaran." Ibu bercerita riang. "Awalnya ibu gak percaya sampai akhirnya mbak Mara konfirmasi katanya kalian memang pacaran dan berencana tunangan."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang