Selamat membaca🤗
______
Aku lembur, Na. Pulang malam lagi.
Balasan chat Cakra seolah tak berarti apa-apa. Tetap kuayunkan langkah menuju gedungnya, tak peduli kehadiranku akan mengganggu atau tidak. Cakra seperti Gara, pemangku tahta tertinggi dari kerajaannya. Ketika banyak orang menyalah gunakan kekuasaannya, masa Cakra enggan mencoba? Seperti bolos lembur untuk menemaniku misalnya. Sesekali boleh lah, tak mungkin berdampak sampai gulung tikar juga, kan?
Saat kakiku menapak di lantai ruangannya, hening menyelimuti. Apa hanya Cakra seorang diri yang bekerja melebihi batas normalnya? Sengaja kulewatkan mengetuk pintu, membukanya pelan-pelan sampai Cakra yang tengah berkutat di balik layar baru tersadar satu menit kemudian.
Menerobos masuk tanpa memberinya kesempatan menyapa, aku langsung berlari menerjang tubuhnya. Cakra berdiri kaku menerima pelukan tiba-tibaku yang begitu erat.
“Kangen bangetttt!” Jujurku tanpa malu lagi. Kuhirup dalam-dalam wangi tubuhnya, masih saja segar meski mentari sudah tergelincir.
Cakra membelai rambutku sebentar sebelum akhirnya melonggarkan pelukanku. “Kamu gak sakit kan, Na?”
“Apa sih kayak gak percaya gitu mukanya. Memang gak boleh kangen apa?” Tanyaku meneliti raut aneh dari wajahnya sambil kembali menyusup ke badannya, memeluknya lengket.
“Ya, asing aja. Biasanya kamu malu-malu sekarang aku yakin kamu bakal ngerasa diri kamu malu-maluin deh, Na.”
Aku bangkit merenggangkan demi menatapnya. “Kecuali kamu masih jadi suami Marissa, mungkin kelakuan aku yang kayak gini bakal malu-maluin.”
Senyum Cakra mengembang seusai kukecup singkat. “I Love you Cakra.”
Anehnya mata Cakra meleng ke lain arah meski tangannya masih bertengger di pinggangku. “Masuk Nit, gak papa, sekarang boleh masuk.”
Mataku otomatis membundar buat Cakra menahan tawa. Jadi sedari tadi kelakuanku disaksikan Anita? Malu sekali, Tuhan. Harusnya sebelum berlari menempeli tubuhnya, aku pastikan pintunya tertutup dahulu. Sebenarnya aku tipikal ragu dengan kontak fisik, baik pada mereka yang baru atau sudah lama bersama.
Orang bilang, ada asap ada api. Aku melakukan ini didasari karena adanya tujuan. Kemarin di ruang pertemuan arisan tersebut, tante Iren mau meluangkan waktu bicara empat mata untuk kali pertamanya. Beliau awalnya menggebu lemparkan tuduhan bahwa apa yang sedang kulakukan adalah bagian dari balas dendam.
Aku sebatas mempermainkan Cakra hanya untuk membalas rasa sakit yang kuterima dahulu kala. Namun, aku menyangkal itu semua. Balas dendam tidak serta merta membuat keadaannya membaik, untuk apa aku melakukannya?
“Lalu maksud mba Marla tadi apa? Kamu sama anaknya, sementara anak saya juga mengakusisi diri kamu sebagai calon istrinya. Apa namanya kalo gak lagi mempermainkan?”
“Tinggalin Cakra kalo cuma mau kamu sakitin!”
Ada banyak pihak mendorongku menjauh dari Cakra. Aku takut jika sewaktu-waktu kekuatan tersebut mengalahkan upayaku bertahan bersama Cakra, aku takut pada akhirnya terpukul mundur juga. Makanya saat ini aku hanya sedang memanfaatkan kesempatan selagi bisa. Akan kuhabiskan waktu sebanyak-banyaknya, melakukan hal yang ingin kulakukan bersama Cakra sebelum akhirnya mungkin harus berpisah.
Kepalaku mengangguk sebagai respon dari permintaan maaf berulang dari Anita, sekertaris Cakra ini meminta maaf juga atas kelakuannya tempo dulu. Menjawab telponku dengan desahan saat kucoba hubungi ponsel Cakra.
“Gak papa kok, santai aja.” Senyumku mengukir demi terlihat meyakinkan.
“Makasih banyak, Mbak.” Badannya lalu menyerong arah Cakra. “Kalau gitu saya pulang duluan, Pak. Pantri udah aman kok, AC sama lampu udah mati.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
Storie d'amoreUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...