26. Nostalgia

21.6K 1.4K 5
                                    

Suka lupa update, hari ini aku up double yaaa🥰

Vote yagesss

_____

Laganya macam punya rahim sedang ada isinya, ia merengek ingin Tahu gejrot malam-malam begini. Padahal perut kami baru terisi seporsi nasi, Beef yakiniku, kani roll, shirataki soup, dan soft puding red velvet, tidakkah Cakra merasa begah?

Aku turuti saja maunya, keliling kota mencari abang-abang tukang tahu gejrot. Sementara ia sibuk dengan suara khas mbak google maps, aku sendiri sibuk memejamkan mata merasakan terpaan angin malam lewat jendela yang kubuka lebar-lebar.

Masuk gang dekat perumahan, konsepnya kaki lima, pakai gerobak dengan beberapa meja diatapi payung-payung. Karena lambungku masih sesak oleh makanan sebelumnya, aku tidak memesan. Lebih dulu melangkah ke sebuah meja kosong dekat pagar. Lumayan ramai, disinari rembulan yang juga terang benderang semuanya tampak riang bersenda gurau.

“Kalo bukan karena kenal kamu, aku gak akan tahu enaknya makan di pinggiran gini, Na. Liat lalu lalang kendaraan dengan alam terbuka, sepoi angin walau ya pasti polusinya gak bagus sih.” Obrol Cakra menyusulku.

Perhatianku teralih padanya. “Enggak ah! Sebelum kenal aku juga kamu udah sering diajakin nongki Boni di warmindo pinggir jalan.”

“Iya, juga sih. Tapi kan kalo di Jakarta seringnya sama kamu. Tiap jajan mintanya di pinggir jalan terus.”

“Dan sempat sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Setelah insiden itu mamamu rajin bekelin kamu buat makan siang, iya kan?” Paparku mengenang masa lalu. Tapi bersyukur juga gara-gara itu, aku ikut kecipratan hemat. Tante Iren selalu membawa double untukku juga.

Entah mengapa Cakra tidak meresponku padahal pesanannya belum diantar. Tatapan Cakra mendadak intens menyorotku. “Na, lain kali kalo urusannya sama mama, kamu wajib lapor sama aku. Jangan kayak kemarin, diem-diem aja sampai ada insiden brengsek tua bangka.”

“Ih, aku kesel lagi jadinya. Bisa-bisanya dia grepe-grepe kamu di saat aku yang jadi pacarnya sepuluh tahun aja gak berani tuh. Perlu digaris bawahi ya Na, inget-inget HARUS LAPOR kalo mama hubungin kamu dan minta yang aneh-aneh!”

Aku mengangguk  kecil sebelum Cakra teralih pada makanan incaran yang baru diantar penjual. Lahap ia menyuap, betapa cepat ia menstabilkan diri, sudah kembali normal tanpa berlarut-larut pada efek trauma yang menyerangnya siang tadi.

Senyumku lagi-lagi terukir, hari ini aku terlalu berbeda untuknya. Banyak menuruti maunya tanpa mendebat. Seperti dia yang bersikeras mengajakku ke mall membelikan ponsel baru dan mampir makan malam.

Entah mengapa tiba-tiba aku melemah, merasa sedang menggoyahkan benteng-benteng yang selama ini kubangun kuat-kuat untuk acuh tak acuh padanya. Ah, tapi memang semuanya sudah jadi kebiasaanku, bisa dibilang sebagai kelemahanku. Pokoknya jika Cakra sudah bertindak di luar normal, aku selalu merasa berkewajiban memberinya setimpal atau lebih.

Maksudku karena Cakra sudah mengedepankanku di atas keselamatannya sendiri, aku merasa tersentuh dan meleleh sendiri. Kurasa siapapun wanitanya jika diprioritaskan lebih utama dari dirinya sendiri pasti rasanya tak akan jauh beda dari yang kurasakan kini. Senang, bahagia, terharu, bersyukur dan berjuta rasa lainnya.

“Kenapa? Mau?” Cakra heran sendiri melihatku terus menatapnya.

Aku menggeleng tanpa melunturkan senyum. Kembali Cakra menyapu jajanan khas Cirebonnya dengan raut setengah bingung. Sulit dipungkiri dalam keadaan apapun, sedang melakukan apa saja, tampannya tetap paripurna.

Sebenarnya pria-pria berparas seperti Cakra tidak sedikit, ada banyak, malah yang melebihi Cakrapun ada dimana-mana. Namun satu hal yang pasti, paras boleh sama-sama tampan tapi hatinya belum tentu.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang