Holla👋
Berhubung cerita ini dijanjikan update hari Senin-Jumat dan udah dua hari gak update, hari ini aku triple up.Selamat membaca🤗 Vote, comment, and follow yaaa
____
Mama Cakra hanya mampir sebentar, mengantar buah yang baru disentuh cucunya. Boro-boro kata maaf, selain kalimat tanya 'Cakranya masih di Batam kan?', ia tak berkata apa-apa lagi padaku. Senyumpun nihil. Aku di matanya mungkin kasat mata, beliau sebatas bertukar kata dengan bu Narti dan Lio saja.
Aku sebenarnya ingin memulai tapi banyak ragunya, terlebih sikap tante Iren lebih dari yang kubayangkan sebelumnya. Beliau terlihat membenciku disaat harusnya aku yang bersikap seperti itu. Ya, meskipun aku memilih untuk tidak melakukannya.
Betapa paham pada apa yang telah dilakukannya padaku. Andai tidak terjerat utang budi, kurasa tante Iren akan tetap waras, beliau tidak mungkin bertindak sejauh itu untuk membuatku putus dari anaknya.
Tapi yang membuatku kepikiran, hal apa yang membuat tante Iren membenciku? Adakah sikapku yang membuatnya marah? Perasaan saat menyuruhku putus, aku mengabulkannya tanpa rewel. Minus bersikap menjengkelkan.
"Tante, udah lama Lio gak denger cerita Cinderella sama kereta kencananya."
Dahulu sekali dongeng tersebut menjadi favoritku. Bayangkan saja hanya karena sebuah sepatu ia bisa jadi seorang putri, terbebas dari siksaan ibu tiri, dan dipersunting oleh pangeran.
Sepatu kaca perubah nasib. Andai di kehidupan nyata semudah itu, tingkat stress manusia akan jauh berkurang. Lio terbawa hanyut akan penuturan ceritanya. Kuberi nyawa dan emosi di setiap karakter yang tertutur, tak lupa mengatur intonasi dan gerakan demi meninggalkan kesan 'membosankan'.
"Udahan tante?" Suara Lio terdengar saat kata tamat baru kusebut.
"Loh, Lio belum tidur?" Kagetku merasa aneh. Dongeng kan pengantar tidur, banyak adegan di mana sebelum alur selesai, anak sudah terlelap. Mengapa anak Cakra berbeda?
"Seru banget Tante, aku bisa ngerasain jadi Cinderella yang dijahatin ibunya, kasian banget. Untung pangeran cepat dateng." Ocehnya mengulas dongeng tadi. "Aku mau kayak pangeran, penolong dan baik hati. Tapi aku gak mau kayak cinderella, gak mau punya ibu tiri, nanti dijahatin lagi."
Aku tersenyum, mungkinkah stigma itu awalnya tercetak berkat dongeng dan drama? Anak-anak terlalu dijejali dongeng serupa Cinderella dan Bawang putih bawang merah, sehingga di otaknya tertanam bahwa ibu tiri itu sama. Jahat dan menakutkan.
Dulu ketika aku seusia Lio juga berpikiran sama. Tapi makin besar, aku menyadari kekeliruannya.
"Kata mbak Mita, ibu tiri itu ibu yang menikah dengan papa lagi. Mama Ica pertama, nah yang kedua itu disebutnya ibu tiri." Lio lancar sekali bicaranya, barangkali sedari kecil sering diajak berkomunikasi dibanding dibiarkan asyik sendiri dengan gadget.
"Betul gitu kan Tante Nara? Jadi Lio gak mau nanti papa nikah lagi!"
Aku mengangguk saja. Toh bukan urusanku juga mencampuri ranah tersebut, tugasku hanya menjaga dan menemani. "Lio, ayok ini udah hampir setengah sepuluh loh. Besok kan sekolah."
Sebagaimana yang ibu lakukan padaku dulu, aku mempraktekan ulang pada Lio. Menepuk kecil lengannya sembari bersenandung fals.
Lepas lima belas menit barulah Lio terlelap. Kata bu Narti, pengasuh tidak diperkenankan tidur bersama sampai pagi, batasnya sampai Lio tertidur. Entah apa tujuannya, entah untuk melatih agar Lio terbiasa tidur sendiri atau karena hal lain.
Jam dinding tepat menunjukan angka sepuluh. Semenjak jadi pengangguran, angka sepuluh bukan lagi keharusanku bergegas tidur. Kantuk juga tidak gampang menyerang. Kondisi yang masuk akal, badanku kurang gerak, energiku sedikit terpakai, itulah mengapa ketika malam tiba rasa lelah tidak mendorong tubuh untuk tidur cepat.
"Baca buku deh." Ideku bergegas ke perpustakaan. Bu Narti tadi mengajak home tour sambil menjelaskan letak barang-barangku berada.
Buku yang kubawa termasuk yang ditaruh di perpustakaan. Tumpukannya masih setia dalam kardus, aku berjongkok demi mendapatkan salah satu buku tersebut. Random saja kuambil. Pergerakanku agak patah-patah ketika secara tak sengaja mengintip salah satu sampul buku di laci yang terbuka dekat dus.
Semoga tidak lancang. Aku familiar dengan sampulnya, pelan kutarik menjelajah lebih lanjut. Bukan buku ataupun majalah, melainkan album foto.
"Ya ampun Cakra kumpulin semuanya?" Takjubku mulai membuka perhalamannya.
Zaman putih biru dulu saking inginnya kasih kado, aku membeli album foto kosong murah meriah ini. Dulu ingat betul harganya kurang dari lima puluh. Tak disangka Cakra memanfaatkan kado ini.
Foto perjalanan kisah kami dicetaknya, mulai dari malu-malu kucing, jaim-jaim tapi mau, sampai saling nyaman dan terbuka. Rasa-rasanya setiap momennya lengkap, moment putih biru, momen LDR, momen kuliah.
Iya, Cakra selulus SMP melanjutkan pendidikannya di Jakarta lagi. Banyak yang menyarankan putus karena katanya kami terlalu muda untuk menjalin keseriusan cinta jarak jauh, tentu saja kami tidak setuju.
Cakra selama masa SMA itu hanya berkunjung ketika libur semester dan lebaran saja pertahunnya. Lumayan lah daripada tidak sama sekali. Dilan benar, rindu memang seberat itu.
Beban rindu itu berakhir ketika aku memutuskan kuliah di Jakarta. Tuhan mengizinkan kami sekota dan sekampus. Saat itu aku begitu yakin bahwa Tuhan merestui hubunganku dan Cakra, bahwa kami memang berjodoh.
Namun pil pahit kehidupan tidak luput menggenapi, seperti yang semua tahu, binaan asmara sepuluh tahun itu kandas.
"Duh, ini foto kok masih aja disimpen." Embus lelahku seraya mengusap foto di lembar terakhir. Foto saat Cakra berlutut memberi cincin.
Potret tersebut diambil dua bulan sebelum badai menerjang pisahkan kita. Saat itu Cakra bilang simulasi lamaran. Setidaknya cincin tersebut yang akan menegaskan bahwa aku sudah punya kekasih, tidak bisa didekati.
Cincinnya minimalis minus bongkahan berlian. Dibeli hasil keringatnya sendiri, gaji magang pertamanya di salah satu perusahaan yang ia cari sendiri tanpa melibatkan koneksi orangtuanya.
Saat ingin kututup, di jilid album tersebut ada hal yang menarik minatku. Sesuatu yang merah, tergores jelas. Tidak hanya itu, dibalik sampul plastik jilidnya tersempil kertas kecil.
"I WANT TO BURN IT!" bacaku pada tulisan tersebut.
Meski ragu akhirnya kuraih juga kertas kecil yang menyempil. Sederet tulisan cukup rapi, bila ditelisik lebih detail, tulisannya sebangun dengan tulisan di jilid album. Bisa jadi pelakunya satu orang yang sama.
Teruntuk yang membuka perhalaman dari setiap potret yang tersaji. Please, love yourself!
Sebesar apapun cinta yang kamu miliki, ada baiknya diamkan. Biarkan rasa itu binasa seiring berjalannya waktu daripada terus dikembangkan pada dia yang belum beranjak dari hari dan orang kemarin, pada dia yang terkurung dalam masa lalunya.
"Gak mungkin Cakra yang nulis kan? Otaknya memang encer tapi tulisannya gak serapih ini." Gumamku mengkaji ulang tulisan tersebut. "Marissa kah yang nulis?"
Ah, apa yang kubaca barusan bagian dari isi hatinya untuk Cakra? Kemungkinannya besar jika apa yang dikatakan Cakra di telpon tadi adalah sebuah kejujuran.
Cakra masih menaruh rasa padaku dan akhirnya Marissa lelah sendiri? Itukah alasan yang membuatnya berani berselingkuh dan ujungnya minta pisah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
RomanceUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...