49. Empat Puluh Sembilan

18.6K 1K 7
                                    

Selamat membaca🤗

_____

Bangun di sebelah Cakra sudah jadi rutinitas. Beringsut membawa diri bersandar ke tembok aku lupa bahwa tubuhku tidak berpakaian seperti biasanya. Asal sender saja melupakan selimut yang harusnya ikut aku tarik.

"Santai aja kan udah liat." Respon Cakra melihatku kelabakan menarik segera selimut demi tutupi dada.

Tampaknya ia sudah bangun sedari tadi. Sudah berpakaian lengkap dengan wajah segar bahkan mulai sibuk seperti biasanya, berselonjor di sampingku memangku laptopnya. Memang label pria pekerja keras pantas ia terima.

Kulirik lantai kemudian, bersih dan rapi setelah kuingat betapa waktu subuh tadi masih berserakan, pakaian kami tercecer di setiap ujungnya.

"Aku taruh di tempat cucian. Sekalian ya punyaku nitip laundryin." Celetuk Cakra seakan cenayang, mampu membaca pikiran.

Cakra terlihat merencanakan hari ini akan tiba. Kemarin ia menyuruh Rio membawakan pakaian lebih dari satu setel. Paperbag di dekat dispenser sana bahkan masih menyisakan baju bersihnya satu setel.

Tapi peduli amat, ingatanku mendadak terilhami sesuatu saat menatap Cakra. Kulirik cepat jam di dinding, mati aku! Kelamaan nganggur buat lupa akan status saat ini. Bagaimana bisa karyawan baru sepertiku sudah absen aja?

"Kamu gak bangunin aku sih!" Kesalku buru-buru meraih ponsel. Salah satu ruginya menyetel ponsel mode hening. Pesan masuknya lumayan banyak.

"Aku udah izinin ke Gara sama tim kamu. Mereka izinin kok." Terang Cakra.

Aku abaikan Cakra, lebih tertarik pada isi pesan yang hampir semakna namun sulit kucerna maksudnya. "Selamat? Lancar sampai hari H?"

"Itu aku izinin kamu pake alesan mau lamaran." Enteng Cakra.

Jika tidak ada yang kusembunyikan darinya, mungkin aku akan menempeleng kepalanya keras. Dari sekian banyak alasan bisa-bisanya lamaran menjadi pilihan Cakra.

Ah, benar juga, mendadak jantungku bak menculas keluar dari posisinya. Cakra sudah tahu rahasiaku? Bahwa Minggu ini aku akan lamaran bersama Praja makanya ia memberi alasan tersebut?

Kugigit bibir bawah cemas. Bukankah Cakra makin ke sini makin bisa menahan emosi dan kekepoannya? Contohnya kemarin tentang ia yang diam-diam ternyata tahu Praja menghubungiku.

"Kenapa? Toh kita nanti bakal lamaran kan? Ucapan adalah doa. Siapa tahu Tuhan ijabah."

Nada dan ekspresinya biasa saja selayak belum mencium borok yang sedang kusembunyikan. Katanya bangkai diberi parfum mahal-pun tetap pudar juga bau wanginya. Tandanya aku memang harus jujur secepat mungkin, tak peduli seberapa tajam akan menyayat hatinya.

Toh, aku rasa jujur lebih baik sebelum aku tertangkap tangan olehnya sendiri. Cakra tidak hanya akan mendapat luka tapi mendapat air garam juga. Sakitnya lebih-lebih jika aku membohonginya.

"Kok diem?" Cakra menoleh, keningnya mengernyit bingung. "Kalo masih ngantuk tidur aja atau kamu lapar? Mau ke luar?"

Belum kujawab ia sudah berceletuk lagi. "Atau mau lanjutin aktivitas semalam? Ronde terakhir dini hari tadi udah kerasa mantapnya kan?"

Cakra menyisikan laptop ke nakas sebelum bergeser mendekat. "Aku punya referensi gaya baru yang sayang banget kalo kita lewatin."

"Cak! Cak!" Cegahku menjambak rambutnya saat ia menyusup serang leherku. "Kamu udah mandi loh."

"Air banyak. Mandi lagi kan gampang."

Kubiarkan Cakra bermain di area sana hingga saat bibirnya lihai berpindah ke bagian dada, gerbang kejujuran itu mulai kubuka. "Cak, malam tadi yang terakhir buat kita."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang