50. Lima Puluh

17.9K 1.1K 18
                                    

Terimakasih buat temen2 yang sejauh ini sudah ngikutin cerita Inara-Cakra. Semua kekurangan baik dari segi plot yang hole, yang lambat, karakter yang lemah, dan feelnya kurang dapet, mohon untuk dimaklumi dan dimaafkan yaa... Lagi belajar hehe

Vote sebelum baca ya, happy reading🙏

______

Aku perlu mensyukuri betapa Tuhan memberikan bentuk badan yang ideal. Saat kukenakan kebaya maroon dengan detail bunga dan daun di sekitaran leher dan bahu, tampilanku di kaca begitu memukau. Penambahan mutiara kecil di sekitar kebayanya menambah kilau kesempurnaannya.

Tidak sepenuhnya narsis karena beberapa pegawai yang melayaniku memuji seperti itu. Urusan tulus dari hati atau sekedar teknik marketing agar aku ambil kebayanya bukan sesuatu yang harus kupedulikan.

Saat aku menunduk perhatikan detail rok bagian bawah, aku mendengar ketukan sepatu kian mendekat. Pasti Praja, hari ini kami berangkat mandiri, tidak semobil seperti biasanya.

"Aku ambil yang ini, bagus kan?" Tanyaku sembari balik badan menyambutnya.

Senyumku laun-laun pudar terganti tegang. Bukan Praja, melainkan Cakra. Entah dari siapa ia tahu keberadaanku saat ini. Air mukanya keruh, otot-ototnya menegang, bahkan aku sempat mendengar geraman kecilnya, tangannya juga mengepal erat seolah siap menonjok samsak.

Aku coba tenang, luruskan ketegangan terutama dalam diriku sendiri lebih dulu. Mengatur napas dengan menarik dan mengembusnya pelan-pelan sebelum akhirnya upaya menenangkan diri tersebut kacau karena bentakkan Cakra.

"Lepas sekarang!" Bentaknya namun terlihat masih bersabar, tak terlalu lepas menggelegar. "Aku bilang lepas!"

Toko mana yang di dalamnya minim manusia? Bahkan ketika sedang sepi pengunjung-pun, tempat ini masih menyisakan beberapa pegawai. Karena bentakan tersebut, orang-orang disekitar ikut tertarik memperhatikan.

Salah satu pria tak jauh darinya bahkan sampai menghampiri. Mungkin pria tersebut cinta kedamaian, ia tepuk bahu Cakra. Tersenyum Jenaka melerainya.

"Sabar, Bro. Kalo udah sah baru deh boleh lo main lepas-lepasan begitu, tapi jangan di tempat umum juga." Guyon salah satu pria segaya dengan Cakra, pria-pria berkemeja necis.

Beberapa yang mendengar berhasil terhibur oleh guyonannya, mereka tersenyum memandang lucu Cakra. Sadar dirinya sedang ditertawakan, ia tarik tanganku menjauh. Ia bawa ke ruang ganti lain, tepatnya di lantai bawah.

"Ganti baju sekarang!" Titahnya.

Butik ini memiliki konsep semua transaksi di lakukan di lantai bawah, jika seseorang membawa koleksi mereka ke lantai bawah, itu sama dengan melakukan pembelian. Makanya saat Cakra menggeretku ke luar butik, salah satu pegawai menahan.

Cakra mengeluarkan kartunya demi menebus kebaya tersebut. Ketus dan kasar seolah tak peduli jika dipandang kurang ikhlas atau pedit di mata orang yang menyaksikannya.

"Sakit, Cak!" Keluhku saat berhenti di pelataran parkir tepatnya dekat mobil dirinya.

Cakra menghempas keras tanganku dari cengkramannya. "Apalagi hati aku, lebih sakit dari pergelangan tangan kamu!"

"Kok bisa sih, Na, kamu setega ini sama aku?" Dia bertanya tak habis pikir, tangannya sudah meraih tanganku kembali. Ia elus lembut bagian merah di pergelangan tanganku, mungkin merasa tak enak hati. "Seharian kemarin aku usahain hubungan kita, tapi dari kamunya malah gini! Gak ada kerjasamanya banget!"

"Seenggaknya saat aku lagi temuin tante Marla sama Praja, mohon keringannya dari mereka, kamu diam di rumah. Jangan malah putusin buat beli cincin sama kebaya gini!"

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang