40. Empat puluh

21.4K 1.4K 2
                                    

Selamat membaca, untuk segala kekurangannya mohon dimaklum🙏

_____

Implusif, kiranya begitu yang dilakukan Lio siang tadi. Spontan memeluk bukan berarti murkanya lenyap begitu saja. Kalau peluk bisa menerbitkan maaf secepat itu, aku yakin akan ada banyak manusia yang semena-mena berbuat salah. Lio pun begitu, sekembalinya dari klinik, ia menolak ditemani olehku, memilih bersama Marissa.

Karena itulah aku pergi menemui Gara, ia menawari kesempatan re-schedule interview. Baik sekali memang namun ada harga yang harus kutukar. Gara si raja dalam istana bisnisnya tentu memiliki sedikit waktu lowong, aku harus menunggu cukup lama demi dapat curi-curi waktu luangnya.

“Sebenarnya tanpa interview begini, kamu udah menang. Ini semacam biar terlihat sama seperti kandidat lain. Ada effort buat dapatin posisi ini, Na.” Celetuk Gara. “Sorry ya nunggu lama.”

“Enggak masalah kok Pak, saya justru berterima kasih atas kesempatan ini.”

“Sistem nepotisme memang udah biasa banget, Na. Tapi jujur tanpa menggunakan jalur tersebut, kamu layak dapetin ini. Sedikit-sedikit saya tahu kepribadian kamu dari cerita Kanaya sama Gara, jadi saya yakin kamu bisa nempatin posisinya.” Gara terdengar serius. “Saya butuh yang gak cuma pinter soal financialnya tapi kejujuran dan keamanahannya. Semoga kita bisa bekerjasama yang sinergis ya, Na.”

Aku melongo saat sebuah map disodorkannya. Gara bukan ingin mewawancarai ulang, karena sedari tadi obrolanya tidak mengarah pada pertanyaan umum interview, ia langsung menawariku kontrak. Lalu apakah ini yang dimaksud orang-orang ‘datang di waktu yang tepat?’.

Mencari-cari susah payah, tak sedikit berakhir penolakan, hari ini entah mengapa begitu gampangnya. Tentu aku senang, bersyukur pastinya, hanya saja ada sesuatu yang mengganjal. Bekerja di luar artinya harus angkat kaki dari rumah Cakra yang lebih dari nyaman. Bukan masalah kelengkapan fasilitas dan kemewahannya, justru orang-orangnya apalagi hubunganku dengan Lio perlu perbaikan.

“Oke, lusa sudah boleh bekerja ya, Na.” Gara menginformasikan, keningnya berkerut bingung. “Oh, atau belum bisa join lusa ya? Boleh kok, kamu siapnya kapan, Na? Asal jangan lama-lama aja ya.”

Aku membalas cengirannya dengan senyum lebih lepas. “Gak kok Pak, bisa.”

Tepatnya sore hari, nyaris pukul setengah enam aku kembali pulang. Mobil Cakra sudah bertengger rapi bersisian dengan dua mobil lainnya. Pasti karena Lio sakit makanya om Anwar dan tante Iren turut ke mari.

Anehnya, ruang tempat mereka kumpul penuh dengan muram, kalut, dan tegang. Aura-aura sendunya mampu kutangkap seperti baru tertimpa kabar kurang enak. Kupikir sakitnya Lio bertambah parah namun satu nama tersebut muncul kemudian dari dapur dengan segelas air berkepul asap.

Om Anwar menjadi orang pertama yang menyapa, Cakra sendiri lebih memilih bungkam seperti orang-orang di sekitar. Suasana macam apa ini? Bola mata Cakra memerah, kentara sekali dukanya. Ia lantas berdiri memelukku tanpa ragu.

“Lio udah bilang dari siang kalo Lio setuju sama ide mama dan nenek.” Interupsi Lio buat Cakra mengurai pelukan.

Ia usap lembut pipiku. “Maaf, Na, aku belum bisa bujuk Lio buat saat ini. Dia terlalu keras kepala.”

Aku mengernyit, perasaanku mulai tersentuh rasa tak enak. Rujuk kah maksudnya? Ide tante Iren dan Marissa kan tidak jauh dari menyatukan kembali pernikahan yang sempat retak tersebut.

“Tante Nara boleh pergi sekarang.” Katanya berlalu menaiki anak tangga begitu cepat. “Lio gak mau ketemu tante Nara lagi tapi Lio berhak bilang terimakasih. Terimakasih tante Nara, ke depannya biar mama sama Mbak Ria yang urus Lio.”

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang