9. Sebatas Mantan

34.8K 2.4K 26
                                    

Vote ya, happy reading🤗

___

Kulirik malas tiga gelas di nampan, jamuan dari tuan rumah. Warnanya hijau pekat, meski menebar aroma nikmat dan menyegarkan, otakku terlanjur mengklasifikasikan minuman tersebut dengan Cakra. Jus alpukat identik dengannya, malas sekali rasanya.

“Gak ada kolerasinya kali! Cakra ya Cakra, jus alpukat ya jus alpukat. Dua hal yang beda banget.” Sahut Caca si MUA belasan ribu followers di tiktok ini.

“Gue ngerti sih privasi diantara kita wajar banget. Tapi kalau kasusnya Caca tahu, gue enggak, lo anggep gue apa sih Na?” Kesal Kanaya mengabaikan bahasan alpukat.

“Ya, sorry, gue gak maksud ngebedain lo. Cuma lo kan lagi pusing sama masalah lo. Lo lagi krisis duit, berantem sama ortu, belum soal ngurusin Geri, ya kan?” Jabarku menatap maniknya yang merotasi malas. Raut tersebut selalu tercipta ketika bahasannya menjurus nama GERI.

“Malam ini malamnya Cakra ya, gak usah bawa-bawa Geri!” Timpal Kanaya sambil menyedot banyak jusnya. “Jadi gimana lo mau ngikutin perintah Cakra?”

Setelah kehilangan akses masuk ke apartemen dan barang-barangku terangkut bersih ke rumahnya, malam ini aku numpang di tempat Natasha. Untunglah satu adiknya sedang pergi Study tour dan satunya tengah ada kegiatan organisasi kampus. Kami akan menghabiskan malam bersama.

Biasanya kegiatan macam ini bermarkas di rumahku. Meet up berkedok menggosip, apapun kami bicarakan, kucing tetangga beranak kesebelasan sepak bola saja sempat kami bahas.

Ah, betapa aku akan merindukan rumah nyaman seperti hari kemarin. Untuk mencapai titik sana tentunya aku harus bekerja lagi. Biar kata jadi budak koorperat banyak mengeluhnya tapi keberlangsungan hidupku berasal dari sana.

“Tapi lumayan gak sih kalau ngikutin Cakra? Pertama lo menghemat uang dan lagi yang paling penting rekening lo gak akan kesepian tiap akhir bulannya.” Pendapat Caca.

Kanaya menyetujui cepat. Mode ngambeknya luntur seketika. “So sweet juga pak Cakra ya. Temenanya sama buaya sih jadi gak heran bisa semanis itu.”

Maksud Kanaya buaya adalah CEO tempatnya kerja yang merupakan teman SMAnya. Aku kerap diceritakan nama-nama orang yang masuk dalam daftar teman menyebalkan di hidupnya, termasuk di dalamnya ada si CEO tersebut.

Kanaya bergumam lagi. “Tapi biarpun belajar dari buaya, gue yakin tindakan Cakra murni tulus."

"Kemungkinannya ada dua, kalau enggak karena lagi berusaha deketin lo lagi pasti dia lagi tebus rasa bersalahnya ke lo. Udah deh terima aja, Na." Sambung Caca membuka snak kentang. "Itu jalan paling tepat."

"Lagian lo punya adek, pasti sempet lah dulu ngurusin anak kecil." Kanaya nimbrung mencomot snak kentang. "Gak bakal sulit buat lo ngurus anaknya."

Aku mendelik penuh kerut di kening. Bisa-bisanya Kanaya menyamakan Emilio dengan Bara. Dulu aku sebatas membantu Bara pakai bedak, selebihnya yang mengurus ibu. Justru dibanding merawat, aku banyaknya membuat Bara menangis.

Lalu kemarin tiba-tiba Cakra memintaku mengurus anaknya. Dipikir lagi, mengurus diriku saja kurang becus apalagi mengurus anak orang, masih kecil lagi. Faktanya mengurus anak tervalidasi tidak segampang yang terlihat.

"Masakan lo juga lumayan enak, bisalah buatin makanan layak." Sambung Kanaya terus memprovokasi. "Tapi setahu gue di rumah Cakra ada Mbak. Tugas masak, nyuci, setrika, bukan urusan lo. Fokus lo cuma anaknya, itu aja. Paling nemenin dia main, bantu ngerjain PR, dongengin dia, udah. Simple say, mana digaji sejumlah lo jungkir balik mumet ngurusin keuangan di kantor lagi. Lebih mending kerja di Cakra kali."

"Fix, ini satu-satunya cara. Cuma buat sementara, Na, lo harus mau. Coba lo renungin lagi baik-baik deh. Bara sama Mbak Amara belakangan butuh uang diluar perkiraan lo kan?" Serbu Caca menggebu.

"Uang lima juta yang udah lo susun buat ini itu akhirnya berantakan gara-gara hal tak terduga. Kasus kayak gini yang sering lo sebut 'betapa penting dana darurat dalam hidup', so lo butuh pemasukan, Na."

"Dana darurat lo melompong sementara kewajiban lo masih on going, gongong terus tanpa kenal waktu. Lo butuh kerja." Caca menutup dengan tegas.

"Nanti gue kaji ulang semua masukan lo lo pada deh. Sekarang gue capek, mau istirahat dulu." Pamitku beranjak pergi.

***

Perkara mengkaji ulang, aku berkata sejujur-jujurnya. Semalaman penuh badanku berguling ke kanan dan kiri ditengah dengkuran dua sahabatku.

Betul, aku setuju seratus persen pada apa yang keduanya kemukakan. Aku harus segera bekerja dan mungkin tujuan Cakra baik. Dia memberi alternatif tercepat agar dompetku berhenti menjerit, setidaknya untuk sementara sebelum jodoh pekerjaanku datang.

Katakanlah aku menyetujui tawaran tersebut. Ternyata hal yang paling memberatkan bukan menjaga Lio, masalah besarnya bukan terletak di sana. Bagaimana ya rasanya seatap bersama mantan? Itu hal paling kupermasalahkan.

Bertahun-tahun aku menghindarinya, banyak memohon pada orang sekitar agar tidak membawa nama Cakra beserta kisahnya, lalu apa artinya jika aku menerima?

"Duh, gue gak bisa bayangin tiap hari ketemu sama Cakra. Harus selalu komunikasi dan interaksi. Meski di rumah itu gak cuma bertiga sama anaknya, tapi tetep aja gak nyaman!"

Kugigit jariku kuat selagi menimbang keras keputusan apa yang akan kuambil. Menerima artinya aku harus membuang rasa malu dan menemuinya sekarang juga, atau berdiam di sini saja seharian sebagai bentuk penolakkan.

"Gimana ya?"

Penghuni rumah baru saja pergi, katanya ada seminar make-up, lumayan buat upgrade skill. Jadi ketika bel berbunyi, aku bisa menebak siapa yang datang. Natasha dengan kebiasaan 'ketinggalan barangnya' masih melekat.

"Apa yang ketinggalan? Hp el ...," Lidahku kelu saat mengauk pintu sambut pemijat bel.

Ah, saking ruwetnya pikiran aku kehilangan kecerdasan. Andai yang datang Caca logikanya dia akan melewatkan pijat bel, dia yang punya rumah kok, untuk apa pijat bel segala.

Segera kunetralisir keterhenyakan, lututku turun bertumpu di lantai demi sejajar dengannya. "Lio ngapain ke sini?"

Wajahnya murung, ada kaca-kaca di matanya. "Papa bilang Lio nakal makanya tante Nara gak mau jagain Lio. Maafin Lio, tante. Lio janji bakal nurut, gak nakal lagi, tapi tante mau ya jagain Lio?"

Mataku sempat mampir ke sekitar. Hanya ada taxi yang kini menunggu dan pegawai Cakra, bila tak salah ingat kemarin juga membantu pindahan. Beliau berdiri tak jauh dariku.

"Maaf Mbak Nara kalau mengganggu. Tapi Lio sedari tadi ngerengek minta ketemu sama Mbak. Kami dapet alamat sini dari mbak Yaya- temannya mas Anggara."

Anggara itu buaya yang dimaksudkan Kanaya, sudah disinggung sebelumnya kan kalau Cakra dan Anggara berteman? Jadi hal semacam ini masuk akal terjadi.

"Cakranya?" Tanyaku spontan.

"Oh, mas Cakra kebetulan lagi kunjungan ke pabrik Batam Mbak. Sore kemarin berangkat. Barang Mbak-pun belum mas Cakra urus lagi."

Baik, berarti bukan Cakra dibalik permohonan ini. Dia bahkan enggan menghubungi atau membujuk. Barangkali Cakra kurang peduli pada keputusan akhirku, mau diterima ya syukur, menolakpun bukan urusan Cakra.

Kenapa lubuk hati terjujurku merasa kecewa ya? Desah napas ikut mempertegas. Cakra bukan Cakra yang dulu lagi. Ia terbiasa membujuk saat aku merajuk, tapi sekarang boro-boro.

Ah, berharap apa aku memangnya? Jelas bagus jika Cakra berbeda dan berubah, toh bukannya akupun sudah berubah? Kami sudah tidak serasa lagi. Ingatkan bahwa kami sebatas mantan, tidak kurang tidak lebih.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang