34. Tidak Berlaku Untukku

19.1K 1.3K 4
                                    

Selamat membaca🤗

____

Bu Narti kembali. Bisa bayangkan betapa menjemunya hariku tanpa berbuat apa-apa. Bagi bu Narti seperti dosa besar membiarkanku ikut membantu. Mas Cakra takut marah, selalu begitu alasannya. Terlebih bu Narti tampaknya sekarang paham kemajuan hubungan kami.

Perkara pintu terbuka sebab akibatnya, bu Narti mendapati kami tengah saling bertumbuk bibir. Cakra bilang sarapan pagi pembangkit energi termanjur. Sudah tiga pagi ia melakukannya, tepat hari ini agaknya ia lupa bahwa kami tidak lagi seatap hanya berdua.

"Cakra udah berangkat, Bu. Gak akan ada yang marah kalo aku bantuin." Ungkapku merebut spons pencuci piring. Mengambil alih cucian bekas sarapan dan masak tadi.

"Tadi beneran maaf Mbak, saya gak maksud lancang." Bu Narti balik membahas hal yang sebenarnya buatku malu. Tentu saja dong, lagian orang waras mana yang tebal muka saat dipergoki berbuat nakal bertanda kutip.

"Oh ya Mbak, saya boleh gak ya nanti siang izin keluar?" Lanjutnya buatku mengernyit. Atas dasar apa aku berkuasa pada izinnya melakukan sesuatu. "Mau anter tape ke rumah ibu sama bu Dila. Apalagi katanya lagi ada mbak Sere di Jakarta."

"Bu Dila?" Tanyaku merasa asing.

"Tetangga ibu." Singkat bu Narti menaruh sapu ke tempatnya.

"Sere juga rumahnya deket sana, Bu?" Penasaranku, atau memang sebenarnya bu Dila itu mamanya Sere?

Kepalanya menggeleng buatku makin bingung. "Mbak Sere di Senopati. Tapi sering main ke rumah bu Dila main sama mbak Alma. Nah, mbak Sere suka banget sama tape ketan dari kampung halaman saya Mbak makanya saya bawain."

Ah, iya betul juga malam tadi kan sudah ada informasi tentang silsilah kecil keluarga Alma yang di dalamnya ada Sere. Sekilas kulirik bu Narti, beliau mengaku sudah ikut tante Iren lama. Padaku yang sesekali main ke rumah Gading sana saja bu Narti kenal, jelas pada Sere dan Alma yang sejak kecil sudah sering keliaran juga kenal.

"Mereka sering main bareng ya, Bu, dulunya?" Korekku pelan-pelan. Ganjalan hubungan Cakra-Sere masih mengendap. "Maksudku Cakra, Alma, sama Sere."

"Mas Jojo, mas Gara, sama mas Raka juga. Berenam-enam itu dari kecil udah deket banget." Cerita bu Narti menerawang jauh seraya mengembangkan senyum. "Dulu saya sering repot sendiri. Mereka berisik, bandel-bandel banget deh."

"Tapi semenjak mas Cakra pindah ke Semarang. Saya kehilangan banget keberisikan mereka. Gak tahu deh pada kemana, mungkin pada sibuk sama kesibukannya masing-masing."

Sebenarnya bukan bagian itu yang penasaran kudengar. Aku tertarik mengulik spesifikasi hubungan Sere, Cakra saja. Tapi ya sudah kudengarkan lagi bu Narti bernostalgia.

"Sampe mas Cakra pindah lagi ke Jakarta. Mereka jarang kumpul kecuali mas Jojo, itupun cuma setahun sekali kayaknya. Mbak Alma yang tetanggan dulu lebih sering tinggal di tempat kakeknya, mas Raka di Surabya, mas Gara masih di Jakarta sih tapi gak tahu deh gak pernah main."

"Sere?" Tanyaku datar, menimbun rasa penasaranku agar tak terlalu kentara kepo.

"Mbak Sere sakit jadi jarang main, di rumah terus."

"Sakit?" Ulangku menemukan informasi baru. Mungkinkah Cakra sepeduli kemarin ada kaitannya dengan sakitnya Sere?

"Iya, tapi gak tahu sakit apa. Mas Cakra sama Jojo aja gak dibolehin jenguk sama mbak Alma. Gak tahu deh saya pusing sama masalah anak-anak zaman sekarang. Percintaannya rumit." Bu Narti memijat pelipisnya pusing. "Gak kayak zaman saya yang gak banyak drama. Lulus SD langsung dijodohin, nikah, udah deh langgeng sampe banyak anak."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang