43. Empat Tiga

17.5K 1.1K 6
                                    

Vote yagess, selamat membaca🤗

____

Mulut ke mulut, banyak yang mengaku betapa ampuh coklat panas diseruput saat kalut. Katanya lebih relaks. Aku mencoba treatment tersebut padanya malam tadi, memesankan coklat panas dengan harapan mampu memadamkan emosinya.

Marissa berterimakasih sebelum akhirnya mengutarakan dengan gambalang bahwa kadar bencinya padaku sudah over dosis. Meski begitu ia menyelipkan kata maaf, ada banyak hal yang membuatnya seperti itu. Pertama, tentu saja soal Cakra. Ia benci denganku yang selalu diprioritaskan olehnya, ditambah lagi dengan Lio yang mulai jatuh hati padaku. Ia merasa tersingkir, dan lagi hari ini aku menyaksikan kemalangannya.

Ia kadung menganggapku musuh. Orang mana yang tidak terusik ketika musuhnya sendiri menyaksikan kesusahan lawannya, ia berpikir aku akan menikmati penderitaannya.

Sebenernya gue iri sama lo, Nara. Betapa bahagianya hidup lo dikelilingi orang yang sayang sama lo. Lo berharga, ada banyak manusia takut kehilangan lo. Cakra, Lio.” Ceritanya tadi malam. “Asal lo tahu, udah dua malam ini Lio kehilangan gairah hidupnya. Dia mungkin ngusir lo, tapi gue percaya otak dan pikirannya masih didominasi lo.”

Sorry kalo selama ini gue selalu berusaha rebut Cakra dari lo. Gue ngelakuin itu semata buat terlihat menang dari lo.” Marissa menyeruput coklat panasnya lagi. “Setelah liat bagaimana Lio ke lo, gue ngerasa makin mustahil sama Cakra. Tapi harga diri gue gak mau terluka lagi, gue gak mau makin terinjak-injak makanya terus usaha deketin Cakra.”

Begitu pengakuannya. Andai aku bisa seterbuka itu, Marissa salah. Aku tidak seberuntung itu, setidaknya cukup bersyukur namun diirikan rasanya kurang pantas. Hidupku terlalu berliku, demi bersama Cakra butuh melewati banyak rintangan. Sebenarnya hidupku dan hidupnya sama, butuh perjuangan. Sejatinya hidup memang begitu, bukan?

"Nar, ada yang nyari tuh." Seseorang membuyarkan lamunanku. Pak Romi rupanya, rekan satu timku.

"Siapa?" Refleksku bertanya.

Pak Romi dengan tubuh gembulnya bergedik tak tahu. "Masih muda. Adek lo kali. Sana temuin dulu. Kerjaannya tinggal aja, bentar lagi istirahat juga kan?"

Penunjuk waktu di layar ponselku memang hampir merangkak tepat pukul dua belas. Sekalian kulihat notifikasi barangkali ada pesan dari Bara mengabari kebatalannya pulang pagi ini, namun nihil. Lalu siapa yang menungguku di lobi?

Sempat kubilang bukan bahwa usia Ria dan Bara itu terlihat sepantaran? Tak heran pak Romi menyangka Ria adalah adikku. Satu pertanyaanku, alasana apa yang membawa gadis belia ini ke mari?

"Mbak Nara maaf ganggu, tapi den Lio udah nunggu di mobil."

Aku menolak menemuinya di mobil, kuajak keduanya ke restoran terdekat sembari makan siang. Lumayan bisa menghabiskan waktu cukup lama lagi bersama Lio.

Sayangnya harapanku terlalu muluk. Lio enggan membuang waktunya percuma, ia utarakan segera perkara yang membuatnya menemuiku di parkiran.

"Tante Nara tahu kan kalo Lio tuh marah banget sama tante? Tante bisa gak jangan nambah Lio makin marah lagi?" Tanyanya serius. "Lio sayang tante, tolong jangan buat rasa sayang itu berubah jadi benci."

Lio menyentuh tanganku, gayanya mirip sekali orang dewasa. "Tante jauhin papa ya. Plis tante, demi Lio. Lio gak mau punya ibu tiri."

"Bukannya Lio udah ngerti kalo ibu tiri gak semuanya jahat?"

"Itu cuma akal-akalan tante sama papa aja biar Lio mau terima tante Nara jadi ibu tiri. Gak mau, Lio gak mau tante Nara begitu." Tolaknya keras. Air matanya mulai turun diiringi sesenggukan. "Lio sayang tante, tolong ya tante berhenti pacaran sama papa. Lio gak mau, pokoknya gak mau!"

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang