Selamat membaca🤗
____
Melihat jam dinding menuding angka sembilan, otakku random mempertanyakan bisakah mereka si nine to five memiliki aset sedemikian bergelimangnya? Karena Cakra pribadi yang terbilang ekonominya di atas rata-rata harus bekerja lebih dari delapan jam perharinya.
Ya, semua butuh usaha lebih jika ingin dapat hasil yang setimpal. Hari ini pun ia belum kembali setelah berangkat lebih awal dari biasanya. Betul bahwa pulang larut menjadi kebiasaanya, namun hari ini aku tersiksa karena kebiasaan tersebut.
Marissa jadi dalang utama, kehadirannya buatku merasa seperti di hutan belantara. Sendiri di antara lolongan binatang buas.
Terlebih sebelum tante Iren memutuskan pulang ke rumah tiga puluh menit yang lalu, keduanya terus mengusikku dengan banyak menyindir bahwa kehadiranku di rumah ini tidak terlalu berguna. Katanya Cakra melakukan pemborosan uang padahal mempekerjakan satu suster sudah cukup.
Semua tugas dan tanggung jawabku mengurus Lio mereka limpahkan pada Ria. Belum cukup, mereka terus menumbuhkan harapan, mengimingi kebahagian tiada tara jika kedua orangtuanya hidup seperti dahulu.
“Ma, dari tadi kan udah sama mbak Ria terus. Lio sekarang mau sama tante Nara!” Lio mendebat tepat di lawang pintu kamarku. “Lagian kasian mbak Ria, biar istirahat dulu.”
“Lio, kamu gak liat tante Nara lagi sibuk?” Marissa melirik laptopku menyala. “Tante Nara mungkin lagi ada kerjaan, Nak. Kalo gak mau sama Mbak Ria, biar mama yang dongengin Lio.”
“Selama Lio di Sanghai kan udah sama mama.” Lio lalu melirikku coba mencari kebenaran apakah aku sibuk seperti yang ibunya informasikan. “Tante Nara udah lepas kacamata, itu artinya pekerjaannya udah mau selesai kan?”
Teliti sekali Lio, dia melihat kacamata anti radiasiku tergeletak persis di samping laptop. Terkadang aku mengenakannya jika memainkan dalam durasi cukup lama.
Kebetulan aku beres menyiapkan portofolio lamaran, Kanaya bilang ada peluang untukku di balik kisruh rumah tangga perusahaannya. Entah, dia bilang ada kasus penggelapan dana oleh salah satu staff. Kekosongan tersebut bisa aku isi.
Lio berlari menujuku. “Tante Nara ayok yuk, udah lama tante Nara gak dongengin Lio loh.”
Sempat kulirik muka masam Marissa sebelum akhirnya mengangguk. “Matiin dulu laptop ya sebentar.”
Pekerja kreatif sering mengaku betapa ide bisa ditangkap kapan saja, di mana saja, dan dari mana saja. Mungkin seperti inilah maksudnya. Saat menatap muramnya Marissa aku jadi teraliri ide untuk mendongengkan tema apa pada Lio.
Jika Marissa bisa mengiming-imingi besaran bahagia yang akan Lio reguk bila kedua orangtuanya rujuk, maka aku tidak jauh berbeda. Aku bisa menawarkan kebahagian serupa, setidaknya sebelum sampai sana bukankah harus terlebih dulu kunetralisirkan stereotif tentang ibu tiri yang terlanjur mengakar di dirinya?
"Suatu hari putri Delima pergi berburu anggrek ungu di sekeliling rumahnya. Keasyikan menelusuri, putri Delima baru sadar bahwa ia telah pergi jauh, ia lupa jalan pulang dan terjebak sampai sore hari di hutan."
"Tepat sebelum langit gelap, ia mendengar segerombol anak manusia mengarah posisinya. Pikir putri Delima itulah kesempatannya untuk meminta bantuan. Alih-alih mendapat pertolongan justru putri Delima dapat marabahaya."
Lio memusatkan fokusnya pada cerita karanganku. Merangkai asal sambil sedikit-sedikit menyisipi drama klise di baliknya, terpenting ada tema ibu tiri berhati peri saja agar pemikirannya sedikit tercerahkan.
"Hah? Terus itu gimana Tante? Asli digorok lehernya sama segerombol pemburu harta karunnya?" Lio bertanya penasaran saat kujeda beberapa detik. "Lagian putri Delima ngapain sih ke hutan pakai perhiasan banyak gitu? Mau jadi toko emas berjalan di antara rimbunan daun atau bagaimana? Konsepnya kayak mau pamer gitu biar dia paling berkilau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
RomantizmUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...