3. Datang, kerjakan, lalu lupakan

41.3K 2.8K 63
                                    

Happy reading. Jangan lupa vote-nya ya gess🤗


Jangan pikir bos yang menginginkanku bekerja sama untuk tebus utang itu seperti yang terdeskripsikan di cerita-cerita roman. Muda, bugar, look like Hyun Bin atau oppa-oppa Korea lainnya.

Tidak sedikitpun! Dia pria berumur, perutnya bergelambir, kepalanya lebih plontos dari yang menagih utang kemarin. Kurasa siapapun daun mudanya akan menolak mentah melayaninya.

Lagian kalaupun iya dia satu spek dengan oppa-oppa Korea aku akan pikir dua kali menerima tawarannya. Ngeri membayangkan orang asing menggerayangi tubuhku, dalam satu waktu saja merinding apalagi harus dalam jangka panjang.

"Tolong lagi, Na. Ini diluar prediksi, Mbak janji setelahnya gak akan ngerepotin kamu. Bayarin dulu ya, tiga puluh juta untuk kamu kan sedikit."

"Maksud Mbak, gaji kamu kan lumayan. Ngembaliin uang tiga puluh juta paling cuma butuh tiga bulan kan?"

Kalimat menjengkelkan itu anehnya terus terngiang di kepala. Tak jarang membabat habis mood baikku. Andai reinkernasi itu ada, aku mau meminta terlahir kembali sebagai Inara Lubicia Putri yang tegaan.

Karena rasa tak tega itu, tiga puluh jutaku melayang. Iya, betul, malam kemarin aku berbohong pada si penagih. Tapi hari ini keadaannya jujur, saldo ATM tinggal tiga ratus ribu setelah dikurangi kalkulasi biaya Bara daftar ulang kuliah dan kos-kosannya.

Bagaimana ini? Mana lima hari lagi sudah harus bayar sewa apartemen dan yang terburuk puluhan lamaranku tak berkabar.

Pusing rasanya. Badanku terhempas lelah menuju sandaran kursi seraya menghembus napas yang terasa menyesakkan. Kuangkat lemas getar panjang ponsel. "Iya, kenapa?"

"Udah sore tapi mataharinya stay on terus ya, Sist. Makan yang pedes berkuah jeletot-jeletot gitu enak kali ya? Yuk, sekarang, yuk!" Riang disebrang, aku sampai memastikan ulang nama si penelpon. Benar kok Kanaya.

"Tumben banget lo? Gak lagi dikerangkeng perusahaan?" Heranku, biasanya ia selalu pulang telat. Melewatkan senja dibalik komputer tiap harinya.

"Karena apartemen lo paling deket dari posisi gue sekarang, cus gue otw ke tempat lo, ya." Kanaya menutup telpon.

Yaya, lamat-lamat kuingat sosok wanita muda berambut panjang yang kukenal saat di bandara itu. Selain cantik dan baik, aku mengenalnya sebagai wanita beruntung karena terlahir dari kalangan old money. Apa aku pinjam saja pada Yaya? Setidaknya untuk melunasi sewa apartemen dulu.

Niat itu perdetiknya selalu menguat sampai akhirnya Kanaya datang dengan bungkusan di tangannya, aku sudah sangat yakin akan meminjam uang padanya.

"Lo gak penasaran kenapa gue bisa sehappy ini?" Tanyanya disela suapan ramen panas berkuah.

Aku menggeleng, fokus menghabiskan ramen agar niatku cepat tersampaikan. "Jadian sama Geri?"

Kanaya dengan kulit kuning langsatnya menggeplak, bertumpang tindih dengan kulitku yang putih pucat. "Geri aja terus! Orang-orang tuh hobi banget nyuruh gue pacaran sama dia, heran."

Aku bergidik acuh, dua sendok lagi makananya tandas. "Ya gimana, lo serasa sama dia tapi tetep gantungin dia. Agama juga oke, gak kayak gue sama Jojo. Jadi apalagi yang bikin lo ragu sih?"

Kanaya memutar mata jengah. "Lebih penting dari Geri. Bulan depan gue mulai kuliah dong."

Ketika aku berekspresi sumeringah mengimbanginya dengan tulus tiba-tiba saja muram di wajah Kanaya menyapa. Dia mengembus napas kasar. "Tapi lo tahu kan, dua bulan lalu gue cekcok sama ortu. Mereka maunya gue nikah aja, gak usah ngejar karir sama sekolah terus, jadi ya biayanya gue yang tanggung. Pusing deh, kemarin aja tabungan gue tergilas abis dianterin ke kampus."

"Tapi yaudahlah, demi masa depan cerah. Bayangin dong Na, karena nunggu gajian masih lama dan uang di ATM gue menyentuh angka limit, gue sampe minjem ke Anggara."

Gara yang dimaksud ialah bos besar di circle Yaya yang lainnya. Aku sekedar tahu karena belakangan profilnya sering dimuat di majalah-majalah. Kudorong mangkuk kosongku, ramennya sudah habis tapi rencanaku harus terhenti di sini.

Aku lupa semenjak Kanaya bertengkar hebat dengan orangtuanya, ia kelimpungan membiayai dirinya sendiri. Fasilitas enaknya terenggut dalam sekejap. Opsiku tinggal Natasha meski harapannya kecil karena Caca sendiri posisinya sepertiku malahan lebih-lebih dariku. Ia bekerja untuk membiaya tiga orang adiknya.

"Eh, gimana progress lamaran lo? Ada yang goal gak?" Kanaya mengalihkan topik.

Tak bisa berpura-pura senyum, bibirku mencebib dibarengi gelengan kepala lemah. "Seenggak potensial itu ya gue sampai dipanggil interview-pun enggak? Minimal undang kek, ini satu aja gak ada loh."

"Lo tahu, Cv yang gak diproses itu bukan berarti gak potensial. Justru karena terlalu potensial makanya kita repot nge-hirenya. Sebelum kita launching loker, kita spesifaksiin dulu nih mau yang kayak gimana. Kita punya standar sendiri. Kerendahan ya mohon maaf, yang keunggulan juga sorry to say." Panjang lebar Kanaya. "Dan kasus lo kayaknya terlalu high qualifikasi."

"Ah!" Dia menambah genjotan semangat dalam irama bicaranya. "Gue baru inget. Tadi pak Cakra ada ke kantor loh, dia ketemu Gara. Sedikit curi denger kantor pak Cakra lagi butuh orang buat divisi keuangan. Kenapa gak lo coba? Bentar deh, gue tanyain lebih lanjut dulu ke Gara."

Sementara Kanaya mengetik cepat, aku memprotes tegas. "Gak mau lah! Ngapain juga gue harus berurusan sama Cakra. Lo lupa siapa dia di hidup gue?"

Kanaya membola malas. "Rachel-Okin, Gading-Gisell, mereka contoh mantan pasangan panutan. Mereka bisa berhubungan baik demi anak. Lo juga gue yakin bisa, demi duit, demi bertahan hidup."

"Belakangan gue sering denger semboyan 'datang, kerjakan, lalu lupakan', udah lo anut dah prinsip itu." Lanjutnya mengibas wajah merahnya karena pedas. "Lagian bukannya lo udah move on? Harusnya udah biasa aja dong."

Tenagaku makin lemas, isi kepalaku makin semeraut, dan napas lelahku jadi terbiasa berembus keras. "Justru karena gue udah move on, gue gak mau ketemu dia. Proses ngelupain dia tuh susah pake banget, gue gak mau perjuangan panjang gue sia-sia."

"Lo takut goyah terus jatuh cintrong lagi sama dia?" Tembak jitu Kanaya. "Udahlah Na, takut mati kelaparan lebih mengerikan daripada jatuh cinta sama dia. Lo pernah jatuh suka sama mas Rusli, sama Jojo tapi lo bisa tuh kendaliin perasaan lo."

"Sorry banget ya Na, tapi lo juga masih punya Bara yang perlu lo pikirin bukan? Kata lo dia mau kuliah kedokteran."

Nah, itu masalah utamanya. Aku menjambak rambut cepalku tanpa ampun. Gara-gara guncangan ekonomi ini, aku sampai lupa belum keramas selama seminggu. Apa memang betul seharusnya aku coba saja ya?

Kanaya menumpuk peralatan makan jadi satu. Sebelum beranjak mencucinya, ia mengoprek ponselnya sejenak. "Tuh gue udah kirimin detail lowongannya. Dari segi pendidikan, experience, dan jobdesk, gue yakin kerjaan ini masuk di lo."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang