32. Bau-bau bucin

22.3K 1.3K 1
                                    

Selamat membaca🥰

Vote yagesyaaa🤗

______

Katanya semakin bertambahnya gradien barometris, semakin cepat pula angin bertiup. Seperti itulah kisah perubahan arah hatiku padanya. Tekanan takut kehilangannya bertambah, buatku tanpa pikir panjang berlari kencang menujunya.

Sudah kuputuskan akan tetap bersamanya, hidup bersisian, dan menolak perpisahan meskipun beberapa halangan pasti ada. Seperti nasihat umum gemborkan, jangan menyerah, usaha itu mutlak dicoba.

Sebenarnya sebelum memerangi orang luar seperti tante Iren dan Lio, aku mesti lebih dulu membereskan diri sendiri. Aku harus meyakini diri dari banyak ragu. Benar, aku akui betapa dulu bodoh memahami diri. Aku tidak mengenali perasanku sendiri, buta arah maunya hati bagaimana.

Nah, detik ini semuanya sudah jelas, sudah yakin maunya hati seperti apa. Aku telah siap berlayar lengkap dengan persiapan APD-nya.

Selayak sedia payung sebelum hujan, aku harus sudah punya cara untuk meyakinkan Lio dan tante Iren.

"Mikirin apa sih?" Cakra meregangkan badannya, tubuhnya menyusul bersandar di kepala ranjang.

Membicarakan anak dan ibunya di saat keadaan nyawanya masih dalam proses pengumpulan rasanya bukan hal yang tepat. Meskipun beberapa menit ke depan pasti kesadaran Cakra menormal, aku tak yakin membahasnya.

Lebih enak nanti saat badannya sudah segar, tidak dengan rambut acak-acakan dan sedikit belek di salah satu sudut matanya seperti ini. Perut lapar juga bukan kondisi bagus untuk fokus, aku berencana mendiskusikan seusai perut kami terisi.

"Kamu mandi, aku ke dapur. Mau makan apa?" Bu Narti besok baru bisa pulang sehingga tugasnya mengurus rumah masih harus kuhandle.

"Gak mandi bareng aja?" Polosnya sembari mengucek mata. Bahkan ia mengabaikan pertanyaan soal makanan.

"Ih apa sih!" Responku membola malas.

"Kenapa sih kan cum mandi biasa aja?"

"Gak ada mandi biasa! Masih pake baju lengkap aja tangan kamu kemana-mana gimana kalo polos banget, habis udah aku!"

Cakra tertawa jenaka. "Cakjunnya gampang bangun sih kalo sama kamu."

"Mandi sana!" Dorongku padanya yang mulai mendekat. "Mau ngantor juga kan?"

Cakra sempat meraup bibirku sebelum bangkit ke kamar mandi. Tentu minus adegan dimana ia berkeliaran tanpa busana, ia bercelana meski setengah badannya terpampang di depan mata.

Kami tidak melakukan tugas suami istri semalam tadi. Aku yang menolak, bukan karena ragu akan perasaanku tapi belum siap saja. Toh mengaku cinta bukan berarti harus dibuktikan dengan bercinta kan?

"Jadi mau makan apa?" Tanyaku sebelum ia hilang ditelan pintu kamar mandi.

"Apa aja. Apapun yang kamu masak, aku makan."

Untungnya Cakra mengerti, penolakan bercinta dariku yang pasti menyiksa gairahnya tak membuatnya marah. Menggerutu sedikit-sedikit sih wajar. Cakra bilang bercinta itu penting banget, hal yang paling ia inginkan. Tapi kekuatannya tak bisa menandingi keinginannya bersamaku. Tak ada yang lebih penting dari bersamaku lebih dulu.

Bagaimana, apakah sudah tercium bau-bau bucinnya?

Lima belas menit kuhabiskan bersama bahan-bahan seadanya. Ternyata aku belum belanja, isi kulkasnya belum berpenghuni baru lagi. Karena Cakra bilang apa saja, aku sulap sisa nasi malam tadi jadi lebih layak makan. Kugoreng dengan isian kornet, bakso, suwir ayam agar spesial sedikit.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang