56. Lima Puluh Enam

21.2K 1.1K 7
                                    


Tidak sedikit dari populasi manusia menyebut kaumku matre. Katanya didekati lelaki gendut atm langsung melipir, diajak menikah lelaki tinggi pangkat tanpa pikir panjang mau saja. Di sisi lain ada juga yang menyebut kami sebagai kaum pandang fisik. Maunya dengan mereka si pria berwajah tampan.

Hidung mancung, rahang tegas, bibir pink alami, alis tebal, bulu mata lentik, putih bersih, tinggi, dan modis. Siapa bisa menolak?

Jawabannya Nania. Faktanya tidak semua wanita gila materi, kekuasaan, dan tampilan. Dari segala aspek, ujung-ujungnya kenyamanan yang diutamakan.

"Mama Iren mulai khawatir pesona anaknya pudar." Terpingkal Marissa. Pertama kalinya aku melihatnya selepas ini. "Setelah gak mempan lagi di gue, eh sama Nania juga ditolak. Lo perlu totok kayaknya Cak, siapa tahu aura lo terbuka lagi."

"Enak aja! Pesona gue tetep terang ya, mata lo sama Nania kali yang perlu dicuci biar bisa liat jelas." Bela Cakra.

"Tapi Inara juga mutusin lo tuh sebelumnya. Terbukti kalo roda itu berputar. Gak selamanya lo cakep terus, gak selamanya lo nolak terus." Timpal Marissa menjilat sendokan es krim. "Sekarang gimana rasanya ditolak cewek? Sakit kan? Gitu tuh yang gue rasain selama ini."

Tidak seserius biasanya, terselip sindiran tanda ia sedang bercanda. Sedetik kemudian ia mengerling arahku. "Asal lo tahu, Nar, gue suka banget bagian kalian putus. Bukan karena kesempatan gue sama Cakra terbuka lebar, tapi seneng aja liat Cakra kegilaan karena itu."

"Dia nangis sepanjang malam, mogok makan sampe demam cuma gara-gara putus sama lo. Lucunya pas dia sok sokan mutusin lo di sekolah itu, dia gak keluar kamar seharian. Dia yang mutusin, dia yang menderita."

"Berisik lo! Kalo seneng liat gue menderita kenapa diem-diem ke kampung batalin acara tunangan itu hah?" Tanya Cakra. Hubungan mereka tampaknya mengalami perubahan signifikan. Adu mulutnya beda vibes seperti yang pernah kusaksikan. "Tapi bagaimanapun gue berterimakasih sama lo, Ca. Untuk pertama kalinya lo berguna juga."

"Sialan!" Marissa melempar sendok es krimnya. "Gue ngelakuin itu bukan karena lo kali! Gue kasian sama Lio, sering ngelamunin Inara. Gak ngerti deh pelet apa yang digunain Inara sampe anak kecil aja tergila-gila."

"Ah, calon mertua gue aja bahkan ngebet banget jadiin Inara mantunya." Lanjutnya mengedikan bahu sok sedih.

Sebatas menanggapi dengan senyum kecil, tak terlalu peduli pada perkara pelet. Aku merasa niatnya bukan untuk memperkeruh suasana. Pertemuan ini diadakan untuk menciptakan perdamaian. Saling meminta maaf dan memaafkan, tak luput berterimakasih.

Aku percaya telah tersimpan alasan besar dibalik tindakan Marissa di acara tersebut. Bukan karena Lio atau Cakra saja, aku yakin ia merahasiakan sesuatu.

Saat Cakra membahas hubungan keduanya, menanyakan keseriusan rencana Praja meminang jandanya, Praja mengangguk mantap. Seakan sedang membantu Praja, wanita tersebut membeberkan banyak kalimat yang membuat Cakra berhenti meragukan.

"Gue sempet benci lo, tapi bukan berarti mendarah daging. Lima puluh, lima puluh lah. Kita sama-sama bersalah dan berdosa." Ungkap Cakra. "Kita udah sepakat saling memaafkan. Lupain hal-hal nyakitin di masa lalu. Gue harap lo bahagia, Ca. Cukup gue sama Ardi aja yang brengsek."

"Semoga Mas Praja beda. Tolong jaga baik Marissa, jangan sakitin dia. Bagaimanapun Marissa tetep ibu dari anak gue, jadi udah sewajarnya kalo Mas Praja macem-macem urusannya sama gue."

Gelombang cemburuku tidak sedang pada posisi on, aku masih sibuk meneliti ekspresi keduanya. Mereka mengaku cinta tapi dari matanya nihil menyiratkan hal serupa. Aku tidak merasakan kemistri. Betul, aku bukan peramal cinta. Namun setiap wanita dianugerahi insting kuat, aku rasa kali ini aku benar.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang