38. Tiga Puluh Delapan

18.5K 1.2K 3
                                    

Selamat membaca🤗

_______

Niat seseorang siapa bisa mengartikan, datangnya dari hati masing-masing, sulit ditebak. Bisa saja mengenakan baju tidur super terbuka dengan belahan dada kemana-mana, paha diumbar-umbar bagian dari kebiasaan Marissa.

Sejauh ini masih kupantau pergerakannya, ia menahan Cakra saat baru kembali dari kantor. Entah ah, atau mungkin sengaja menunggunya demi pamer keseksiannya berharap Cakra dapat terperangkap.

Mendesah kecewa melihat Cakra duduk mengambil umpan yang dilempar Marissa. Keduanya kini duduk bersisian, sayang sekali volume suara mereka kecil sehingga sebatas samar-samar yang terdengar.

Satu-satunya yang jelas adalah pergerakan keduanya karena mereka dalam sorotan sinar lampu cukup terang.

Sementara aku berada dalam suasana yang temaram. Meski memeloti mereka dari atas pagar lantai atas ini, sedikit kemungkinannya mereka sadar karena satu tanda penghuni atas sudah tidur adalah dengan matinya lampu.

“Cakra apa-apaan sih? Dikira gak ada yang liatin apa.” Gerutuku pelan memperhatikan Cakra yang tengah meraih tangan Marissa. Ia usap-usap lembut, seusainya ia olesi salep.

Baiklah mari selimuti pikiran dengan kepositifan. Aku mencoba tenang, mungkin Cakra sedang berbaik hati menolongnya merawat luka siraman tersebut. Toh, tak harus punya alasan untuk membantu seseorang kan?

Harusnya Cakra menghargai kepositifan akalku bukan malah kini membuka paha Marissa tanpa ragu.

Aku tahu keduanya sempat bersama tapi apa boleh sebebas itu saat tak lagi bersama?

Setelah membuka lebih lebar, Cakra jongkok di depannya seraya menelusuri paha terbuka Marissa.

“Mimpi kali ini ya? Kok bisa Cakra begitu?” Heranku mengucek mata demi memastikan.

Bahkan kini aku bingung harus melakukan apa? Menangkapnya langsung atau membiarkannya bermain. Penasaran juga, sejauh mana Cakra berani bertindak.

Memang makin berani, ia mendekatkan bibir ke pahanya. Ya Tuhan dari atas sini semuanya tampak jelas, jarak mereka merekat.

Aku yang tengah memijat pelipis berkat kelimpungan sendiri pada kelakuan Cakra tak sengaja tertangkap mata oleh Marissa. Senyumnya mengembang, ada ekspresi puas ditunjukannya. Tahu sedang aku tonton, Marissa makin mencipratkan bensin pada api yang menyala dari balik bola mataku.

Ia semakin lebar membuka pahanya, mengangkang tak tak tahu malu. Ia bawa tangan Cakra menyusuri paha yang kemudian diarahkan pada mahkotanya. Memang perempuan gila! Lebih lagi jika Cakra menurutinya sukarela.

“Apa-apaan lo!” Bentakkan itu membuat napasku berembus lega. “Dikasih hati malah minta jantung! Ingat ya Marissa, gue baik bukan berarti lo bisa seenaknya.”

Terdengar embus lelah cukup keras darinya. “Tolong, kita kan udah sepakat. Gue udah biarin lo ketemu Lio, malah sekarang ngizinin lo tinggal di sini. Lo udah janji buat fokus pada hidup masing-masing, kenapa sekarang malah balik lagi gila?”

“Gue udah putus sama Ardi.” Katanya lirih.

“Ya, itu bagus. Memang seharusnya lo putus sama dia yang kasar.”

“Karena gue putus, tentunya lo juga harus putus sama Inara si pelakor itu.” Teriak Marissa murka.

“Lo udah setuju buat fokus sama hidup masing-masing. Lo putus ya itu urusan lo, gue gak berkewajiban menyamai status lo. Dan tolong ya, lo sama mama stop kasih harapan sama Lio tentang rujuk. Sampai kapan pun gue gak akan rujuk sama lo.”

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang