27. Melegalkan Bibir

25.1K 1.4K 4
                                    

Vote yaaaa

Kembali up hari Senin, selamat membaca dan happy weekend🤗

____

Apapun kisahnya, mau itu perasaan suka maupun duka jika berkenaan dengan orangtua, air mataku rentan sekali mengucur. Padahal ibu sebatas say hai alakadarnya, sebatas bertanya basa-basi tapi entah mataku jadi memerah penuh kaca-kaca.

Melihat wajah ibu penuh kerut, batinku berperang spontan. Ada yang bilang musuh terbesar anak-anak seusia kami adalah umur orangtua. Baik ibu dan aku terus menua, tapi sukses bahkan belum kugenggam.

Alih-alih sukses, aku malah mengalami kemunduran, entah ah pusing. Tak henti-hentinya ibu mengucap terimakasih dan maaf yang teramat beruntun. Seperti diriku yang merasa belum cukup baik menjadi anak, ibu juga demikian.

"Maaf ya Ina jadi kamu yang harus menanggung semuanya. Ibu selaku orang tertua di rumah gak bisa handle semua masalah yang datang. Makasih banyak, sehat-sehat Ina, lancar rezeki, bahagia selalu ya."

Kaca-kaca di mataku ujungnya berbulir dan jatuh. "Amin Ibu, Ibu di sana sehat-sehat juga."

"Untuk masalah utang Amara yang kamu tanggung semoga cepet ke ganti ya, Na. Kata Amara kamu gak mau ngungkit soal utang lagi, udah ikhlas tanpa minta diganti mbakmu itu, makanya ibu gak pernah ungkit selama ini. Karena kamu yang ungkit duluan, hari ini Ibu gak henti-hentinya berterimakasih."

Berpikir sejenak menelaah kata per kata ibu, apa aku benar pernah mengatakan mengikhlaskan sampai Amara tak perlu mengganti uang pesangonku yang kupakai untuk menutupi utangnya?

Makin hari kepercayaanku padanya makin menipis. Dia mengakui bahwa sebenarnya selama ini ia punya sisa tabungan makanya saat si komplotan plontos datang ke rumah, ia merelakan uang tabungan persembunyiannya tersebut.

Karena nominalnya tak cukup, si debt collector tersebut membebankan padaku pakai acara kalau tak mampu bayar, tebus dengan pelayananku. Gila memang!

"Ina!" Suara seseorang nyaring berbarengan dengan ketukan di pintu.

"Siapa?" Ibu yang bertanya. Panik sendiri aku melihat knop pintu bergerak. Tolong jangan masuk sekarang, mohonku dalam hati.

"Kurir kayaknya Bu." Ceplosku asal. "Udah dulu ya nanti Ina hubungin lagi."

"Kurir kok tahu nam ...,"

"Dadah ibu!" Tutupku yang langsung meletot arah Cakra.

Hampir mengomel namun tertahan akibat suara khas nyaring dari loudspeaker ponsel Cakra, dia memanggilku girang. Saat kulihat ia tengah jingkrak-jingkrak melambai.

Kesalku lebur sudah, ikut melambai tak kalah girang. "Hai Lio!"

"Aku kangen Tanteeee!"

Lalu dengan semangatnya ia bercerita bagaimana perjalanannya menuju Sanghai, betapa serunya berkunjung ke beberapa tempat dan betapa menyenangkan bertemu dengan ibunya.

Lio berangkat dua hari lalu dengan tampang super bete gara-gara aku batal ikut dengannya, tapi hari ini kesalnya tampak mereda. Aku timpali setiap ceritanya dengan nada super excited, ikut senang untuknya.

"Lio baru ke beberapa tempat yang deket aja, Tante. Nanti Lio ceritain semuanya kalo udah Lio jelajah semua. See you Tante, nanti  Lio telpon lagi."

Langsung menutup tanpa say bye terlebih dahulu pada papanya. Saat kuserahkan ponsel pada sang pemilik, ada sentak lumayan hebat sampai ponselnya hanpir terlepas. Kaget saja mendapati Cakra tengah anteng menatapku dengan senyum berbinarnya.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang