Selamat membaca🤗
______
"Jadi utang yang kemarin belum tuntas?" Tanya ibu sekepergiannya tante Marla dan keluarga.
"Ini semua salah Amara, Bu. Salahin Amara aja." Aku Amara tertunduk lemah.
"Ya memang!" Ibu membenarkan dengan nada tingginya. "Bisa-bisanya ngegadain rumah diam-diam begitu, pake acara ngorbanin adik kamu segala!"
Ibu lalu menyerepet arahku. Kukira karena kalimat sebelumnya seperti mengasihaniku, ia akan meminta maaf atas kelakuan anak tertuanya. "Kamu juga, Inara! Kenapa gak jujur soal perasaan kamu ke ibu? Kenapa mau-mau aja sama Praja? Kamu udah cukup dewasa buat ngerti kalo ngebangun rumah tangga gak bisa sembarangan begitu. Bukan buat main-main, Inara!"
Ibu secepat kilat beralih pada seseorang di sampingku. "Kamu juga, Bara! Kamu tahu semuanya tapi lebih memilih merahasiakannya!"
"Maaf, Bu." Kompak kami spontan.
Tentu saja tak membuat ibu meluruhkan emosinya, ia masih setia mengoceh. "Kalian sebenarnya masih butuh figur ibu gak sih? Kalian berdiri masing-masing seolah keberadaan ibu di sisi kalian tuh gak ada artinya!"
"Gak gitu, bu. Kami cuma khawatir soal kesehatan ibu aja kalo tahu kerumitan yang kami hadapi." Wakil Amara membuatku dan Bara mengangguk bersamaan.
"Sekarang ceritain semua kerumitan yang kalian maksud dan belum ibu ketahui!"
Berulang kali ibu mengelus dada diiringi dengan istigfar tiada henti saat Amara menceritakan bagaimana utangnya sempat menyeretku berhubungan dengan Roni. Tapi reaksi ibu tiga kali lebih terkejut mendengar pengakuanku kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, dan tabungan sampai harus ditampung Cakra.
Semua reaksi terhenyaknya seperti api kena cipratan bensin, makin berkobar-kobar menggelegar seiring bertambahnya waktu. Bahkan ibu sampai menampar pipiku berkat kejujuran yang baru kuakui. Bahwa aku telah menyerahkan keperawanan pada Cakra.
"Ibu denger mama Cakra gak memperlakukan kamu dengan baik saat kalian berada di satu kesempatan pertemuan yang sama. Ternyata bukan di satu pertemuan aja kan? Bu Iren sering melakukannya selama kamu tinggal di rumah Cakra?" Tebak ibu dengan yakinnya. "Lagian kenapa sih kamu mau-mau aja tinggal di sana? Kamu bisa pulang ke sini, Inara!"
"Ibu gak habis pikir juga hubungan kalian udah sejauh ini sampe berani ngelakuin hal-hal menyimpang!" Murka ibu marah padam wajahnya.
"Maaf Bu, kalo boleh jujur, Inara sama Cakra saling sayang. Kami sempat merencanakan masa depan bersama sebelum akhirnya Praja datang."
"Ya, kalo kalian saling sayang kayak yang dibilang tadi harusnya kamu tolak Praja dibanding menyerah begitu aja!" Ibu menyelakku tegas.
"Ibu sendiri yang gak restuin kami. Ibu bilang menikah itu tentang menyatukan dua keluarga, ya kalo ibu gak izinin gimana Inara mau mempertahanin, Bu?"
Ibu mengatur napas seraya memejamkan mata cepat. "Ibu bilang begitu karena bu Iren sendiri yang gak restuin. Ibu gak mungkin halangin keinginan dan kemauan kalau itu yang buat kalian bahagia. Silakan sama Cakra tapi ibu maunya kamu diterima dulu dengan baik di keluarganya."
"Kamu dibesarkan sama ibu ayah dengan kasih sayang yang luar biasa masa sama orang luar diperlakukan buruk begitu!" Lanjut ibu meneruskan beberapa wejangan untuk kami resapi tentang bagaimana kami seharusnya berhubungan, berkomunikasi, dan saling berbagi.
Tepat saat adzan maghrib berkemundang ibu mengakhiri sesi pembicaraan ini, beliau berlalu ke kamarnya yang kemudian disusul satu-persatu oleh kami. Teman-temanku tengah jalan-jalan ke kota, katanya sekedar jalan-jalan sembari mencari oleh-oleh yang mungin bisa dibeli.
Aku menatap langit-langi kamar, memikirkan langkah selanjutnya. Sedikit menggigit bibir bawah, aku bertanya sendiri apakah terlalu egois meminta Cakra kembali? Seperti yang Marissa bilang, kali ini Cakra berbeda. Untuk pertama kalinya Cakra mengiyakan permintaan putusku setelah sebelum-sebelumnya selalu menolak atau memilih tak menanggapi.
"Cincin?" Terhenyak sendiri melihat story Cakra. Refleks bangkit dari rebahan, berjalan mondar-mandir dengan resahnya. Mungkin ini yang dibicarakan Marissa tadi? Cakra sudah pasrah mengikuti rencana perjodohan mamanya?
***
Saat matahari mulai merangkak naik, malu-malu menyemburkan sinar kuningnya, dan saat jalanan Jakarta super sibuk mengantar pengguna kendaraan ke berbagai tujuannya masing-masing, kami baru menapaki Jakarta. Harusnya bisa tiba lebih awal bila tidak ada kendala kecelakaan yang sempat menyumbat jalanan.
Ujungnya aku menjadi karyawan baru kurang teladan, terhitung sudah dua hari aku bolos bekerja. Jelas saja ini menjadi faktor penggagal masa probation untuk perpanjang kontrak. Berhubung saat ini selain sudah telat, aku harus menemui Cakra sesegera mungkin, kuabaikan nasib kontrakku ke depannya bagaimana.
Sudah kuputuskan akan merendah, memohon, dan menebalkan muka agar Cakra kembali padaku, tak peduli jika ia sudah mengikat tali pertunangan dengan wanita lain sekalipun.
"Pak Cakranya belum datang, Bu." Sopan si resepsionis.
Aku melirik jam di pergelangan tangan, padahal sudah lima belas menit telat dari jam biasa Cakra datang. "Tapi hari ini beliau masuk kerja kan?"
"Wah, saya kurang tahu, Bu. Kalau memang Ibu sudah ada janji hari ini pasti ke kantor."
Aku menunggu seperti yang disarankan mbak-mbaknya. Meski terselimuti desah napas frustasi di setiap penantianku, tak terasa jam telah bergulir selama dua jam lamanya. Tak sedikit yang melirikku diam-diam bahkan terang-terang, disertai pula dengan bisikan-bisikan yang samar kudengar.
Beberapa mungkin mengomentari bagaimana penampilanku. Dress lusuh selutut dengan rambut dicepol asal, alas kakiku hanya sandal jepit rumahan, dan saking buru-burunya aku kelupaan membawa dompet. Bayar taxi dari rumah nenek Kanaya saja pakai dana elektronik.
Aku benar-benar langsung meluncur seusai Geri mendrop kami, ia tak bisa mengantar rumah ke rumah karena pekerjaannya. Ia seorang aktor tanah air yang menjungjung tinggi soal citra baik, tak bisa membatalkan atau telat pada acara yang telah ia sanggupi kedatangannya. Jadilah begini penampilanku, seadanya tanpa bersih-bersih dan rapi-rapi dahulu.
"Bu, bagaimana kalau ibu hubungi pak Cakra secara personal? Takutnya memang berhalangan hadir mengingat sudah hampir masuk jam makan siang belum datang." Saran si resepsionis, mungkin merasa kasihan.
Aku sudah melakukannya dan selalu berujung tak diangkat. Aku bahkan menghubungi sekertarisnya, Rio, sampai Ria. Kalau boleh berburuk sangka, kiranya Cakra telah melarang pegawainya berhubungan denganku. Entah sekarang aku harus bagaimana?
Pergi menuju rumahnya belum tentu Cakra ada di rumah. Alih-alih bertemu Cakra nanti apesnya malah bertemu tante Iren. Moodku terlanjur berantakan, malas makin terobrak-abrik bila bertemu tante Iren dengan sikapnya, ah belum soal Lio. Penolakan darinya pasti masih berlanjut.
"Mbak, boleh minta tolong sesuatu gak ya?" Pintaku padanya. "Boleh pinjam telpon kantornya buat menghubungi Cakra?"
Wanita berpakaian modis dengan tampilan paripurna, 360 derajat berbeda dariku terlihat mengernyit kurang mengerti. Aku segera memberinya penjelasan lebih lanjut. "Ponsel saya mati, jadi gak bisa hubungin Cakra."
"Oh, begitu." Responnya mengangguk namun sedetik kemudian ragunya terlukis di sana. "Tapi, gimana ya. Boleh melalui saya,Bu? Maksud saya, biar sesuai prosedur, saya yang terlebih dulu telpon dan meminta izin pada pak Cakra. Ibu belum bisa menelpon langsung."
Aku hanya mengangguk pasrah. Ia sempat meminta maaf merasa tak enak, mungkin ia paham hubunganku dengan Cakra tapi mau bagaimana, ia harus mengikuti prosedur yang berlaku.
Saat langkahku mengikuti tubuhnya menuju meja resepsionis, ada sedikit pukulan ringan di bola mataku buat sedikit berkunang. Ah, aku rasa nyeri tersebut timbul dari reaksi lambungku. Wajar saja sedari tadi belum terisi apa-apa. Sepanjang perjalanan boro-boro nafsu makan.
Kunang-kunang yang merambat menjadi cengkraman kuat di belakang kepalaku membuat pelan-pelan yang terlihat kabur menjadi kelabu dan ujung gelap menggulita. Aku tak ingat lagi setelah terakhir kali mendengar resepsionis berbincang dengan Cakra di telpon sana, menginformasikan kehadiranku dan meminta izin berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
RomantiekUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...