Selamat membaca🤗
_____
“Mama kan udah bilang, kamu bebas ngelakuin hal apa saja. Kamu boleh menikah sama siapa aja, tapi sama yang lain bukan masa lalu kamu!” Keras tante Iren tak lagi ragu mengutarakan di hadapanku.
“Ma, mama kenapa sih? Mama ud …,”
“Kamu yang kenapa?” Tante Iren membalap kesal. “Orang-orang hidup liat ke depan, Cak! Gak kayak kamu yang kejebak di masa lalu. Ayoklah, di depan masih banyak yang indah. Kamu lepas masa lalu kamu itu!”
“Maaf Ma, bagi Cakra Ina itu selamanya. Mama ngerti selamanya kan? Selamanya itu merangkum masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Ini hidup Cakra, please biarin Cakra tentuin hidup Cakra sendiri.” Cakra berdiri mengajakku berdiri dan pergi. “Pokoknya Cakra bakal tetep nikahin Ina. Gak peduli mama sama papa mau setuju atau enggak.”
“Cakra!” Teriakan menguar di seluruh penjuru ruang.
Tepat pukul sepuluh malam ini aku menjadi saksi pemberontakan anak dan ibu yang dulunya begitu akur. Tante Iren sudah meluruh di kursi lengkap dengan isak tangisnya sementara aku dan om Anwar nampaknya selaras bingung harus berbuat apa.
“Tolong sadar, Cak! Mama ini orangtuamu, satu-satunya yang gak mungkin ada gantinya. Kamu harus ingat gak ada yang namanya mantan ibu, adanya mantan istri. Dari sana kamu ngerti kan kedudukan siapa yang paling tinggi?”
Cakra terpancing, niatnya membawaku kabur terhenti. Ia meladeni berapi-api. “Mama kenapa suka banget sih nempatin Cakra di posisi kayak gini? Kenapa mama selalu buat Cakra berdiri di tengah, seolah berkewajiban memilih mama atau Ina?”
“Asal mama tahu, kalian sama-sama berharga buat Cakra. Mama memangnya gak bisa terima Ina di samping mama? Memangnya gak bisa akur kayak dulu?”
Sayangnya pakar ekspresi pun aku ragu bisa menyelami isi terdalam hati manusia, hanya bisa menebak-nebak dan menafsirkan gerak-gerik, hipotesa semata. Jadi, aku yang bukan siapa-siapa sulit menerka tante Iren.
Beliau kian tenggelam dalam tangis, tersedu-sedu begitu nyerinya seakan duri dalam dagingnya terus menusuk tajam. Entah karena sedang ingat hubungan kami dulu atau mungkin tengah berduka atas sikap berani anaknya yang terkesan durhaka.
“Keputusan Cakra udah bulat, gak bisa diganggu gugat.” Cakra melirik papanya yang tengah pasrah mengelus punggung tante Iren. “Cakra pulang dulu.”
Langkah kami belum genap terbilang empat langkah saat tante Iren menginterupsi. Bukan ditujukan untuk Cakra, melainkan untukku. “Sepertinya selama ini saya salah bersikap. Tolong jangan salah paham, sikap baik saya bukan menandakan lampu hijau ya!”
“Maksud mama?” Bingung Cakra.
“Kamu gak tiba-tiba terima Cakra hanya karena saya baikin kamu kan? Tentang Roni contohnya.” Jelas tante Iren penuh sarkas. “Kemana perginya sikap tangguh kamu yang selama ini nolak Cakra?”
“MAMA!” Bentak Cakra meledak.
Lagi-lagi aku iri pada Cakra bisa selepas itu menyampaikan ekspresi dan pikirannya. Disela Cakra menggiringku pergi, aku sebatas diam menahan gejolak dalam dada. Mungkin bisa saja aku membalas perkataan tante Iren hanya saja sensasi sesak kadung menyeruak masuk, hentikan keinginan melemparkan balasan.
Nyerinya lebih karena betapa sadar kami telah berjarak begitu jauh. Kata ganti 'saya' dan 'kamu' terdengar kasar meski sebenarnya tidak. Ini kali perdana tante Iren melakukannya, maksudku komunikasi terakhir kami terbilang kurang baik namun tante Iren masih memanggilku Ina dan dirinya 'tante'.
"Tante minta tolong, Ina mengerti ya buat lepas Cakra. Kasian Marissa, memangnya Ina tega liat Marissa ngebesarin perutnya tanpa suami? Ina juga sama perumpuan kan? Tolong ya Na, lepasin Cakra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
RomansaUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...