58. Lima Puluh Delapan

48.5K 1.3K 30
                                    

Part terakhir dari kisah Cakra dan Inara, Terimakasih buat teman2 yang sejauh ini sudah mengikuti, buat masukan2, dan supportnya🙏

Sampai jumpa di karya berikutnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan ekspektasi yang tidak terpenuhi dari cerita ini

Byeee!

Selamat membaca🤗

______

Khawatir ditikung sebelum janur kuning melengkung, Cakra tak menggubris maunya keluarga untuk melangsungkan pertunangan dulu seperti lumrahnya zaman sekarang.

Cakra bahkan berani membayar mahal venue dari harga biasanya hanya agar disediakan lahan kosong di dua minggu setelah insiden tante Iren memohon maaf. Ia membayar ekstra juga wedding organizer dan vendor-vendor lainnya.

Caca bilang lu punya uang, lu punya kuasa. Ia ikut memanfaatkan ketebalan dompet Cakra dengan menarif jasa riasnya tiga kali lipat dari harga normal. Meski sempat mencibir sebagai teman perhitungan, Cakra bayar lunas juga.

Jujur aku senang melihat ekspresi Cakra kala mentransfer dana ke rekening Caca. Bukan karena senang uangnya terkuras habis. Aku senang interaksi keduanya semakin dekat.

Selain menyatukan dua keluarga, aku ingin pernikahan ini menyatukan Cakra dengan teman-teman terdekatku.

Berbeda dari make-up tunangan gagal kemarin, Caca menyapukan warna lipstik soft. Warna pink peach dengan ombre merah buah naga di dalamnya, entah apa yang diolesi di akhir hingga tampilannya tampak glossy.

“Berat banget gila. Lo kasih berapa tumpuk sih?” Protesku merasa terbebani.

“Berisik banget nyonya Wiladra! Pengantin dilarang banyak mau nanti hasilnya jelek.” Balas Caca menambal blush on di pipi. “Lagian laki lo udah bayar gue mahal, kalo dandanin biasa aja takut disuruh balikin dana yang udah gue transfer ke sekolah Tara.”

Apa hanya aku yang menikah didandani bridesmaid sendiri?

Caca tak kalah cantik dengan seragam ungu magentanya. Mungkin karena ia sudah menerima banyak uang dari Cakra penyerahan kain seragam mepet tersebut tak membuatnya rewel. Lain hal dengan Kanaya, ia mengomel cukup berisik. Katanya ‘Lu pikir cari tukang jait yang bagus, lowong, dikasih waktu mepet gitu gampang?’.

Apalah daya kesabaran Cakra sudah tipis menyerupai lembaran kertas HVS 70 gsm. Ia enggan menunggu lebih lama. Hal tersebut berimbas pada sesi ijab kabul, melantunkannya ngebut.

Sangat wajar kalau lidahnya terpeleset. Ia atur napasnya, fokus tanpa peduli pada sekitaran yang tengah tertawa menertawainya.

Di kali kedua barulah sahutan sah menggema kompak. Cakra mengecup kening tanda sah telah sukses meminangku. Pria di hadapanku ini bukan lagi mantan pacar atau kekasih, sudah resmi menjadi suamiku. Balas kucium punggung tangannya.

"Selamat ya. Langgeng terus. Cepat dikarunia keturunan." Doa yang paling sering terucap dan selalu kuamini dalam hati.

Dinikahi anak pengusaha yang ibu/bapaknya aktif bersosialisasi buatku tiada henti berdiri menyambut para tamu undangan. Untunglah acaranya tak melulu seperti halal bihalal- banyak salam-salamannya. MC mengarahkanku ganti kostum.

Katanya sudah sesinya berubah jadi modern. Setelah berkebaya lengkap dengan paesan di jidat, sekitar dua puluh menitan Caca mensulapku jadi princes-princes bak kerajaan dongeng.

Dalam acara Kirab kami menyusuri red carpet. Memang betul ya, pengantin merupaka raja dan ratu sehari. Semua mata tertuju menangkap pergerakan kami.

"Ih, kok lo sih!" Teriak khas seorang Kanaya. Ia berhasil menangkap bunga berbarengan dengan seseorang yang kuundang juga.

Aku rasa flash kamera menyala diiringi jepretan gaduh yang mendadak bertambah bukan lagi menyorot padaku.

Baru saja Kanaya dan Geri si artis ibu kota mengambil alih panggungku dan Cakra. Jangan heran bila dua jam kedepan pernikahanku trending di twitter dan platform lainnya.

"Wah, wah, liat dong siapa penangkap bunganya." Takjub MC sedikit kemayu tersebut. "Mbaknya beruntung banget bisa sehati sama mas Geri. Gimana, gimana perasaannya? Kok bisa nangkep barengan gitu?"

"Mbak tahu gak? Ada banyak cewek mau di posisi mbak sekarang." Lanjut antusias si MC. "Selamat ya, semoga jodoh. Kalo udah jodoh, nyusul mbak Inara sama mas Cakranya pake jasa MC saya ya mbak, mas Geri."

Aku dan Caca, dua manusia paling beda dari yang lain. Ketika kebanyakan orang tersipu malu-malu ikut salting, kami justru tertawa geli. Cakra sampai mencubit kecil lengan atasku, mengingatkan untuk sadar.

Rasanya lucu saja melihat ekspresi menahan gedek dari Kanaya. Aku yakin keingannya untuk teriak mengamit-amitkan dan memaki habis-habisan Geri sangat menggebu. Ia masih ingat betapa dirinya tengah direkam banyak kamera. Melakukan keinginannya sama saja seperti membunuh diri.

"Lanjut yuk ke acara berikutnya." Pandu Mc lagi.

Wedding kiss, sesuatu yang lazim di acara pernikahan. Entah mengapa komando untuk melakukan perpagutan yang biasa kami lakukan ini terasa mendebarkan dan canggung. Ada rasa malu terlebih atensi penonton sudah tertuju lagi pada kami.

Terdengar teriakan 'cium-cium!' dari tamu. Dari sekian banyak suara, samar-samar aku merasa mendengar suara khas tante Iren. Benar saja, beliau bagian dari tim sorak tersebut.

Harusnya untuk ukuran yang pernah kepergok calon mama mertua hal ini bukan rintangan lagi. Sialnya, aku malah semakin malu.

"It's oke. It's oke. Anaknya gak mau kalah guys." Interupsi MC kala Lio melebur bersama kami.

Apapun alasannya, aku bersyukur atas kehadirannya. Ujung dari acara wedding kiss ini mencium pipi Lio secara bersamaan. Aku dari kiri, Cakra dari kanan.

Bagaimana ya cara menungkan kata-katanya atas bahagia yang kurengkuh hari ini? Rasanya aku harus bersyukur tiada henti atas karunia-Nya. Setelah sekian lama lalui lika-liku perjalanan bahkan hampir terpisah lagi, akhirnya Tuhan membersamai.

Kakiku melangkah ke kiri dan kanan ikuti irama syahdu musik yang terlantun. Kali ini sesi drama ala-ala dongeng cinderella sebelum adegan ketinggalan sepatu kacanya.

"Terimakasih udah bersedia kembali sama aku, Na. Terimakasih udah melabuhkan hati kamu buat aku. Semoga ini pernikahan yang umurnya panjang sepanjang sisa usia kita, ya." Bisik Cakra kecil. "I love you."

Tiada tandingannya rasa suka cita ini. Meski banyak orang bilang segala sesuatu yang berlebihan itu buruk. Biarakan untuk hari ini bahagia ini melimpah berlebih.

Selain menyaksikan bagaimana akhirnya kami bersama. Aku melihat beberapa sahabatku terlihat mulai berpotensi menyusulku. Caca bersama Jojo, entah bagaimana permulaannya, tapi mereka berdansa dengan akrab dan penuh kemistri.

Lalu ada Kanaya-Geri, walau ribut melulu, di sesi dansa kali ini keduanya tampak melebur santai ikuti irama. Bahkan sesekali kulihat keduanya mengukir senyum, canda, dan tawa.

"Kalo aku mengharapkan bahagia dari Marissa, kamu gak keberatan kan? Maksudku aku mau Marissa bahagia, aku gak bakal absen ngedoain dia dapetin bahagianya. Is it oke for you kan?" Tanya Cakra, rupanya tak hanya aku yang kelayapan mata memperhatikan orang sekitar.

"Tentu saja." Senyumku terukir.

Marissa meski bukan sahabatku, ia menjadi pihak terakhir penerima seragam bridesmaid. Bisa kukatakan ia pembuka jalan hubungan kami. Tanpa bantuannya, aku ragu acara hari ini ada.

Walau perasaanku kurang yakin pada hubungan Marissa dan Praja. Seperti yang Cakra bilang, aku pun sama, bersedia mendoakan Marissa mendapat yang terbaik dan hari-harinya penuh kebahagiaan.

Semoga kecurigaanku sebatas firasat keliru dan ukiran senyum di dansa kali ini beserta porsi keserasian mereka benar-benar nyata bukan permainan semata.

"Ketika berhenti di kamu, setiap dari mereka yang mengetuk itu sia-sia saja, yang mengajak itu tidak ada apa-apanya." Pelan Cakra mengalihkan perhatianku. "Ketika berhenti di kamu, ujungnya hanya padamu aku bisa berlabuh."

"Love you Inara." Ucapnya sungguh sebelum mengecup keningku dalam.


                             _SELESAI_

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang