Vote, Comment, and Follow yaa
Happy reading🤗
_____
Meski baru merangkak sekitar 35 derajatan, pancaran sinarnya lumayan memanggang, sungguh berpengaruh pada suhu. Kuikat rambut tergeraiku agar embus AC cepat terasa efeknya.
Aku baru pulang mengantar Lio sekolah. Apa yang dikatakan Kanaya betul, Cakra punya ART sendiri, urusan beberes dan rumah tangga tak perlu kukerjakan. Detik ini saja semuanya sudah rapi. Lantai super kinclong, mainan Lio tersusun rapi, perabot tak bersisa satupun, pakaian sudah terjemur menguar bau bunga.
Satu-satunya yang bisa kukerjakan hanya membantu masak meski bu Narti melarang terus menerus. Kadang aku heran, memang kenapa sih? Akupun di sini pegawai, sama-sama digaji meskipun kerjasamaku belum menemu surat kontrak. Soal hak dan kewajibannya masih abu-abu, belum terperinci dengan jelas.
"Mbak kan temannya mas Cakra jadi saya gak enak. Udah mending duduk aja tunggu masakannya mateng, Mbak." Jawab bu Narti ngotot.
Aku pun bisa sengotot itu, kubawa sayuran, mencucinya bersih. "Ya gak papa dong. Temen ya temen tapi kalau soal kerjaan gak bisa mandang temen."
"Tugas Mbak cuma jagain Lio, Mbak. Bukan bantuin saya."
Mataku menyipit menatapnya. "Bu Narti juga kemarin bantuin saya ngurus Lio, kemarin yang ke kamar gantiin seragam Lio itu loh. Jadi sekarang gak papa dong saya bantuin bu Narti. Saling membantu aja."
"Kalau mas Cakra marah, tanggungjawab Mbak loh."
Aku mengangguk cepat. Agak kurang masuk akal, atas dasar apa memangnya Cakra harus marah gara-gara aku membantu ARTnya?
Tapi bahasannya mari cukupkan sampai sini. Selain karena gabut, sebenarnya aku ingin mengorek info. Jujur saja masalah surat kecil yang kutemukan di balik sampul plastik album semalam begitu mengganggu.
"Bu, Lio kemarin cerita katanya dia kangen sama mamanya. Pengen didongengin, dianter/jemput, dimasakin. Memang udah lama banget ya gak sama-samanya?" Mulaiku setenang mungkin.
"Mas Cakra pisah setahun yang lalu Mbak. Dalam kurun itu, mbak Ica gak pernah datang, stay di luar negeri" Tutur bu Narti diantara osengan pakcoynya.
"Hah, setahun?"
Wah, harus kuakui lagi betapa dedikasinya teman-temanku, padahal kerjaan kami tiap bertemu ya bergosip, membicarakan orang satu hal paling menarik. Tapi diantara banyak kisah orang yang jadi bahasan, nama Cakra tidak terungkit sama sekali.
Di kantor pun desus kabarnya nihil terundus, Jojo selaku teman tongkrongannya menolak angkat bicara. Entah memang menghargaiku atau karena membicarakan orang bukan gayanya.
"Iya, Mbak. Kehadiran Mita sebagai pengasuh gak sepenuhnya bikin den Lio seneng. Bagaimanapun sosok ibu tak tergantikan kan Mbak?"
"Lio bilang dia gak mau ibu tiri." Kenangku dengan refleks.
Anehnya bu Narti bereaksi panik mendadak. Tangannya melambai tanda mempertegas maksudnya. "Eh, enggak Mbak, maksudku enggak gitu. Tak tergantikan bukan berarti gak bisa menerima pengganti."
Aku bingung sendiri. "Bu Narti kenapa? Saya paham kok maksud bu Narti."
"Mbak Nara santai aja, den Lio cuma kurang pengertian, nanti kalau udah dikasih paham pasti bakal nerima Mbak sebagai mama barunya kok." Ngawurnya buatku spontan menganga. "Den Lio terlanjur kemakan stigma kalau ibu tiri tuh jahat tapi saya bisa liat interaksi Mbak sama den Lio. Mbak keliatan sayang dan tulus, gak akan sulit luluhin hati den Lio."
Loh, aku ke mari bukan untuk meluluhkan hati Lio, tapi untuk meluruhkan kemalaratanku. Kalau mbak Vina Panduwinata jadi ratu jagat semalam, aku justru jadi miskin dalam semalam. Hal itu yang memaksaku ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
RomanceUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...