Vote yages ya🤗 Happy reading, update lagi hari Senin. Thankyuu🙏
_____
Khas rumah-rumah mewah di drama. Laju mobil yang kutumpangi berderap pelan ketika gerbang menjulangnya terbuka. Ada air mancur menyambut, pilar besar, dan fasad megah. Entah gaya apa rumahnya, aku bukan arsitek ataupun design interior/eksterior, yang kutahu mungkin angka perkiraan dari biaya pemeliharaannya.
Biaya air, listrik bulanannya pasti jauh beda dengan yang sering kukeluarkan untuk apartemen. Akan jompang lebih-lebih kalau mau bawa kos-kosan-ku ke sini. Ibaratnya kalau BPJS, kos-kosan menduduki kelas 3, apartemen kelas 2, dan rumah di depanku kelas 1.
Pintu jati terkuak menebarkan pewangi ruangan super segar, embus AC dengan sigapnya menetralisir cuaca- adem seketika.
"Mbak Nara mau minum apa?" Tawar bu Narti, asisten rumah di sini. "Jus alpukat aja mau? Kebetulan ada di kulkas."
"Aku mau, aku mau!" Lio yang menyahut.
"Kalau mau yang lain juga gak papa, nanti saya buatin." Lanjut bu Narti.
"Gak usah repot Bu."
Sejatinya akupun di sini pegawai, mana pantas diperlakukan selayak tamu oleh senior, katakanlah begitu. Tapi bu Narti tampak tak peduli, ia tetap dengan niatnya.
Lio seketika menarik tanganku, asyik memamerkan koleksi robotnya di nakas. Tanpa henti berceloteh riang tentang sejarah dan identitas robot. Bagi Emelio apa segampang itu membangun bonding dengan orang baru?
Aku merasa sikapnya padaku seperti kami sudah berteman lama saja. Akrab, lepas, dan tanpa canggung. Jelas sikap positif tersebut bukan Cakra banget. Barangkali itu warisan genetik dari wanita yang tengah kulihat potretnya dekat pajangan motor-motoran sana.
"Itu mama Lio, Tante. Gak kalah cantik dari tante kan?" Tanya Lio tersenyum seraya mengelus foto figura keluarganya.
Senyumku juga mengembang, dulu aku selalu bertanya pada Caca dan Yaya, seberapa cantik aku jika dibanding Marissa. Tentunya karena mereka teman dekatku jawabannya sudah tahulah bagaimana.
Jelas cantikan Inara, fifty fifty terlalu keliru. Lo 90 persen, dia 10 persen.
Begitu yang mereka katakan, namun hari ini saat kulihat dengan jelas, rasa-rasanya persenan tersebut tertukar. Marissa cantik, putih dan sipit. Spesies cici-cici yang sering keliaran di beranda tiktokku.
Makanya ketika Tuhan mempertemukan Marissa dengan Cakra, lahirlah bibit unggul seperti Emelio. Paras-paras yang membuat melting. Mari tunggu Lio remaja, aku yakin gelar 'the most wanted' akan disandangnya.
"Iya, cantik." Jawabku jujur.
"Lio kangen mama, Tante. Udah lama Lio gak didongengin, gak dimasakin, gak ditemenin tidur, gak dianter jemput sekolah. Temen-temen yang lain mama papanya kompak, cuma Lio yang enggak."
Padahal Lio mengatakannya dengan biasa. Tidak ada air mata mengikuti tapi entah mengapa hatiku tercubit sakit. Kuelus punggungnya kecil. Mungkin karena akupun familiar dengan perasaan tersebut.
Orang bilang, anak yang kehilangan figur orangtuanya karena perceraian masih mending dibanding dengan anak yang kehilangan orangtua karena maut memisahkan. Tapi soal rasa sakit, banyak atau sedikit, kukira sensasi nyerinya sama saja.
Elusanku pindah ke pipinya. "Lio berdoa aja ya semoga suatu saat nanti mama Lio bisa sama-sama Lio lagi."
Kusentuh sebentar hidung bangirnya. "Sementara nunggu mama Lio kembali, gimana kalau tante yang lakuin itu semua?"
Toh aku sudah memutuskan mengambil pekerjaan yang disarankan Cakra. Daftar keinginan tadi merupakan bagian jobdeskku, sudah sewajibnya aku lakukan tanpa dimintai.
Agak tersentak, Lio tanpa aba-aba menyasar leherku, tubuhnya mendekat memelukku. Selain Cakra, Caca, Kanaya dan keluarga intiku, aku tidak terbiasa dengan kedekatan macam ini. Apalagi Lio merupakan orang baru, seminggupun belum genap kami berkenalan.
"Hore! Jadi bener fix kan tante Nara mau jagain Lio? Tante Nara gak nganggep Lio nakal kayak yang dibilang papa kan?"
Aku mengangkat bahu. "Ya, kalo ke depannya Lio nakal, tante pasti pergi. Makanya Lio nurut ya kalo dibilangin. Terutama kalau dibilangin orangtua."
"Tapi Lio suka sebel sama papa. Papa tuh jarang mau dongengin aku, selalu mbak Mita terus. Katanya udah ada mbak Mita, jadi papa gak usahlah, gitu katanya."
Aku mencubit pipinya gemas, gantian kali ini aku memeluknya lebih dulu. Tentunya kulakukan sebagai upaya membiasakan dan mengakrabkan diri. Kerjasama yang baik diawali dengan hubungan yang baik juga. Semoga tidak sulit menjalankan keputusan ini.
Sedikit miring ke arah kanan, aku baru menyadari ada sesosok mengagetkan tengah anteng memperhatikan, di tangannya ada ponsel dengan kamera menghadapku dan Lio.
Kami seperti pelaku industri film dengan bu Narti sebagai sutradara dan kami sebagai wayang-wayangan dramanya.
"Ini papa, ayok say hai dulu." Berita bu Narti buat mataku refleks membundar.
Jadi bukan sedang merekam, bu Narti sedang tersambung video call dengan Cakra. Bingung, harus bersikap apa aku ya? Bukankah terlampau malu menunjukan wajah padanya? Kemarin saja sok sokan menolak dengan drama ngambek, eh sekarang malah sudah mengantarkan diri suka-suka ke rumahnya.
Aku pura-pura sibuk saja membuka sepatu Lio, untungnya sedari tadi Lio lupa diri saat mengenalkan koleksi-koleksinya. Setelah itu karena memang tak mungkin membantu Lio mengganti seragam di tengah percakapannya, aku menjauhi kamera. Duduk menikmati jus alpukat.
Kadang-kadang Lio menyebalkan. Mengapa harus duduk mendekatiku sih? Padahal di dekatnya tersedia kursi juga. Duh, terpaksa deh aku melambai pada Cakra yang tengah tersenyum.
"Udahan ngambeknya?" Begitu tanya Cakra.
"Lio kayaknya kita harus ganti baju terus makan siang deh, yuk." Alihku pada anak kecil ini.
Tidak hanya Lio yang kadang-kadang menyebalkan, bu Nartipun makin kelihatan belangnya. Dia yang mengambil alih tujuanku. Ia tuntun Lio menjauh seolah sengaja memberiku ruang berbincang dengan Cakra.
"Kamu emang belum berubah, Na. Hobi banget ngambek daripada duduk tenang nyelesain masalah."
Aku tahu itu dan tak perlu diingatkan. "Kamu pasti sibuk. Udahan ya bb ...,"
"Nah, selain hobi ngambek, kamu juga hobi ngilang, hobi menghindar." Potongnya cepat. "Inara memang gak berubah."
"Yang berubah emang cuma kamu." Ceplosku santai.
"Enggak. Siapa bilang?" Timpalnya menatapku serius. "Terutama bagian perasaan. Gak geser sedikitpun."
Aku bersyukur jantungku normal. Riskan masuk rumah sakit jika bermasalah, pasalnya belakangan ini banyak sekali yang menyentak alat vital tersebut. Mulai dari masalah keluarga intiku sendiri dan kehadiran Cakra.
Hari ini saja sudah beberapa kali dipertemukan dengan kekagetan. Belum sepenuhnya pulih akan kalimatnya, jantungku kembali dibuat tersentak hebat. Kali ini lebih dari sekedar tersentak, ada debar tak normal terus menerus membersamai. Kelenjar keringatku sampai memproduksi cukup banyak, menetes deras sampai basah.
"Loh?" Reaksi kompak kami ketika saling berserobok pandang.
Andai alasan kami pisah sebatas melibatkan aku dan Cakra saja, mungkin detik ini aku akan memeluk wanita di perbatasan ruang tamu dan keluarga tersebut.
Tante Iren bukan orang asing, kami cukup dekat. Mendekapnya tentu saja sebuah kewajaran. Tapi lagi-lagi itu hanya sebuah pengandaian bila saat itu tante Iren tidak ikut campur hubungan kami.
"Cakranya masih di Batam kan?" Tebaknya sekedar untuk mengusir hening.
Aku mengangguk. Delapan tahun telah berlalu, alih-alih menanyakan kabar, beliau malah bersikap seolah aku orang lain. Harus aku yang mengalah dan merendah untuk berbasa-basi menanyakan kabar?
Tapi bagaimana dengan hutangnya? Apakah tante Iren tak berniat memohon ampun atas kesalahannya terdahulu?
![](https://img.wattpad.com/cover/342373226-288-k790196.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
DragosteUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...