Happy reading🤗
____
Denial? Apa memang aku melakukannya? Ah, sial! Nyut-nyutan sekali kepalaku gara-gara bantal sofa tersebut. Kulirik dia yang tengah nyengir tanpa dosa.
"Biar otak lo kebuka dikit pikirannya." Alasannya menyerangku dengan bantal tadi. "Ya, lagian lo udah ciuman dua kali masih bilang gak cinta?"
"Apa sih? Ciuman bukan simbolis lo cinta atau enggak. Banyak tuh orang yang ciuman tanpa libatin cinta di dalamnya. Lo pikir yang tukar liur di club tiap malam tuh saling cinta?" Jabarku pada Kanaya yang ngakunya sakit tapi tenaganya perkasa kali pemirsa.
"Sayangnya anda bukan salah satu diantara mereka, ya! Gue ngerti banget karakter lo. Boro-boro bisa ciuman sama sembarang orang, lo dirangkul orang gak terlalu deket aja seringnya nolak."
"Jojo contohnya. Lo gak pernah santai dirangkul dia, nolak mulu. Padahal dia temen loh. Harusnya pas sama Cakra juga kalo lo gak punya rasa, lo tolak. Gak bisa asal terima."
"Gue tolak kok Yaya sayang cuma dasarnya memang tenaga dia lebih kuat dari gue, saat itu gue cuma pasrah." Belaku sendiri.
Kanaya memutar matanya malas. "Tapi setelahnya Cakra berhasil mukbang bibir lo, lo sama sekali gak meledak maki-maki dia kan?"
Aku diam, coba ingat-ingat sikapku setelah insiden sosor bibir terjadi. Menghindar mungkin iya, tapi untuk maki-maki seperti yang dikatakan Kanaya, aku melewatkannya. Ya, mana mungkin aku marah-marah pada bosku sendiri. Apalagi aku sedang mengincar uang gajian darinya.
Caca sekarang yang mengambil alih perhatin. "Kayaknya gue tahu penyebab kenapa Inara bodoh soal perasaannya."
Mendengus kesal aku mendengarnya, ada rasa tak terima dikatai bodoh. Mau protes, sayang Kanaya terlampau antusias, ia bertanya cepat. "Apa tuh?"
"Inara gak punya ancaman makanya dia gak bisa kenalin perasaannya sendiri." Singkat Caca.
"Maksud lo?" Kanaya bertanya bingung.
"Seperti yang kita tahu kalo Cakra tuh cinta mati sama sahabat kita satu ini. Doi gak segan nunjukin keseriusannya, berulang kali ngajak nikah, berulang kali bilang sayang. Bagi Cakra, Inara satu-satunya cewek yang ada di hidupnya."
"Nah, karena itulah Inara merasa gak punya ancaman Cakra diambil orang. Nara mikirnya Cakra udah bertekuk lutut banget, jadi ya Nara tenag-tenang aja. Nara selalu ngerasa kalau Cakra gak mungkin berpaling."
"Coba deh ada satu aja hadir cewek yang deketin Cakra, nempelin Cakra dan Cakra mulai bagi perhatiannya buat tuh cewek. Gue rasa lo bakal panas sih, bakal cemburu."
"Sayangnya selama ini gak ada alur kayak gitu, jadi Inara makin bodoh ngenalin perasaannya sendiri."
"Ah, iya juga! Cakra terlalu kenceng ngejar Inara, dia terlalu kuat nonjolin diri kalo cuma Inara yang dia mau." Kanaya menambahkan. "Tapi harusnya sih menurut gue dengan Nara ngerasa masih takut kehilangan Cakra, itu udah lebih dari cukup buat validasiin perasaan lo gimana ke Cakra."
"Berisik banget sih kalian! Nyesel gue dateng ke sini jadinya!" Jawabku ketus seraya menutup telinga kuat-kuat.
Di rumah gedong Cakra tersisa aku sendiri makanya aku memutuskan untuk bergabung pada perkumpulan ini. Caca bilang ingin menjenguk Kanaya yang tengah izin masuk kantor karena sakit. Tapi mana ada orang sakit terlihat bugar seperti Kanaya ini. Mulutnya saja lancar menceramahiku, tidak ada tampang lemas ala orang sakit.
Dan orang-orang rumah memiliki kesibukannya masing-masing, kecuali aku. Bu Narti izin pulkam karena adiknya masuk rumah sakit, pengangkatan tumor jinak. Ah, aku jadi ingat ibu, belakangan orang kampung tidak berkabar sedikitpun. Sehat kah mereka? Benar kah kelakuan Amara di sana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Berhenti di Kamu
Lãng mạnUang memang penguasa dunia. Dan dunia itu durjana. Bagaimana tidak, aku mengalami kesialan bertubi di waktu bersamaan terutama dalam perekonomian. Miskin dalam semalam. Kelaparan, kebingungan, luntang-lantung, sampai hampir jadi ani-ani. Penghujung...