39. Tiga Puluh Sembilan

17.8K 1.2K 0
                                    

Selamat membaca🤗

______

Namanya hubungan, ada saja pasang surutnya. Kemarin baik, hari ini belum tentu. Lio mendiamkan, mengacuhkan, dan menjauhiku. Bukti bahwa ia berada di tahap marah besar.

"Tapi Lio bisa sakit perut kalo gak sarapan." Cegahku menghentikan kepergiannya bersama Marissa.

"Ayok Ma, sarapan di kantin aja." Tarik Lio pada tangan Marissa.

Aku percaya keburukan bisa timbul berkat kebiasaan yang lalai kita tunaikan. Seseorang yang biasa menyempatkan sarapan, lambungnya mungkin akan kaget ketika tidak lagi mendapat suplai seperti biasanya.

Bukan cari perhatian, ini murni karena aku peduli padanya. Lio sama halnya seperti Bara, sudah seperti adikku dan keluargaku sendiri. Maka dari itu buru-buru kukemas beberapa sandwich, buah, dan sekotak susu UHT.

"Waktunya mepet takut gak keburu ke kantin. Makan ini aja di mobil buat pengganjal." Sodorku menyusul kepergian mereka.

"Mama, ayok deh!" Lio masuk segera ke mobil sementara Marissa diam saja.

Entah apa yang membuatnya berubah dalam semalam. Maksudku raut judes, puas,  merasa senang diatas pendiritaan orangnya lenyap. Namun tidak serta merta jadi ramah juga. Diam membisu begitu datarnya.

Ia melewatkan sodoran paper bag-ku, berjalan menuju mobil dengan langkah pelan menahan sakit. Mungkin akibat luka di paha dalamnya yang sempat Cakra tiup itu.

"Gak mau dia." Keluhku pada Cakra yang sudah berdiri di sampingku.

"Kita kasih waktu. Biarin dia tenang dulu. Masalah sarapan biar nanti aku pastiin lewat Marissa." Cakra tersenyum menenangkan. "Kamu fokus aja sama interviewnya. Semoga gak berhasil ya."

"Apa?" Spontanku menanggapi doa janggalnya.

Cakra tertawa kecil "Semoga gak berhasil alias gagal interviewnya."

"Kok gitu?" Tak habis pikirku merongrongnya tajam.

Mungkin tatapanku jauh berbeda dari harimau yang hendak memangsa makanya Cakra alih-alih takut justru ia makin tergelak.

Nyatanya aku yang dimangsanya, sudah ia rapatkan jarak sehingga tubuh kami berdekatan bahkan tangannya ia biarkan bertengger di pingangku, seolah-olah sebagai pengunci.

Cakra mengecup singkat bibirku sebelum rautnya berubah serius. "Jujur Na, cukup menikah denganku, maka kamu gak perlu capek-capek lagi kerja."

"Terimakasih tuan duda kaya raya. Tapi aku punya Bara. Plis ...," Aku letakkan telunjuk di bibirnya saat akan menyerobot jatahku bicara. "Jangan ambil alih tanggung jawabku atas Bara. Kamu menikahi aku, cukup nafkahi aku saja. Lahir dan batin."

"Halah, sok-sokan bahas nafkah lahir batin. Diajak menunaikan kewajibannya aja ogah-ogahan." Rujuk Cakra seraya menyindir.

"Eh, mohon maaf ya selagi belum ada cincin melingkar sama buku nikah yang diterima. Kewajiban itu gak harus aku tunaiin. Menolaknya gak dosa."

"Ya, makanya ayok. Besok aku cuti buat lamar kamu kalo perlu."

Segampang itu seolah-olah nihil permasalahan yang harus diluruskan terlebih dahulu. Jika memang aku kena sindrom cinta buta mungkin ide kawin lari tanpa restu orangtua bisa aku pertimbangkan. Tapi rasanya tidak jika berkaitan dengan anak.

Aku pernah merasakan hidup tanpa ayah bagaimana berat bebannya, jadi rasanya aku mana tega membuat Lio hidup seversi denganku andai Cakra tetap memaksa kawin lari.

"Kok bengong? Aku serius loh, Na." Tegas Cakra.

"Kita fokus urus Lio dulu ya."

Walau mendesah lelah kepalanya mengangguk setuju. "Masalah kerja ini juga aku serius loh Na. Aku bisa handle administrasi kuliah Bara. Kamu gak harus pergi wawancara terlebih ke tempat si kampret Gara."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang