41. Empat Puluh Satu

17.8K 1.1K 17
                                    

Selamat membaca🤗

______

“Praja?” Tanyaku sambil mengingat-ingat, barangkali pernah berkenalan sebelumnya.

“Iya, Mbak. Praja Bramantyo, anak pemilik yayasan tempat kita SMA. Rumahnya di blok sebelah yang sering kita solawatin itu loh saking bagusnya.”

Kepalaku berdenyut hebat, tiap denyutnya kerap menghantarkan cengkraman nyeri. Amara tak hentinya membuat onar, bisa-bisanya ia menggadai sertifikat rumah untuk kepentingan pribadinya.

Dia selalu berulah, tak masalah jika ia berpegang teguh menyelesaikan masalah yang dibuatnya sendiri. Lagi dan lagi aku yang harus selalu bertanggung jawab. Setelah hendak menjualku pada Roni, kini ia menjual namaku pada seseorang bernama Praja tersebut.

“Terus kenapa gak dianya aja sih yang jadi jaminan?”

“Bu Marla sama pak Satya orang-orang yang menjungjung tinggi reputasi, Mbak. Dia butuh seseorang yang bersih dari masalah.” Jawab Bara hati-hati. “Mbak Mara kan janda, terus yang paling gak bisa diterima mbak Mara berhubungan sama rentenir sampai dikejar-kejar pula.”

Kalau boleh menyalahkan, akar dari masalah yang ternyata belum tuntas ini adalah Zidan, suami Amara. Jadi, uang yang Roni terima sebelum ia menjarah apartemenku- uang 20 juta tersebut adalah hasil dari gadai sertifikat rumah diam-diam. Aku hanya membayar sisa yang belum tertutupi.

Amara berjanji akan melunasi dengan menyicil  dari setengah gajinya bekerja di kampung selama lima tahun, terdengar lumayan baik, namun kini mereka menagih ingin segera dilunasi secara tiba-tiba.

“Kalau perjanjiannya lima tahun, harusnya kan masih bisa disanggah. Dia tanda tangan kontrak di atas hitam putih kan?” tanyaku agak was-was.

“Mbak Amara dulu kalut banget Mbak pas rentenir ke rumah. Ia takut ibu keburu pulang makanya cepet gadaiin sertifikat rumah ke sultan di kompleks kita- Bu Marla."

"Gak sempet mikir kali karena mbak Mara takut rentenir itu ketemu ibu. Mbak Mara khawatir sama kesehatan ibu, tapi ya seburu-burunya mbak Mara tetep terlambat. Ibu ketemu sama si rentenir itu tapi mbak Mara gak cerita soal gadai sertifikat. Ia bilangnya sisa tabungan dia."

Entah, kepalaku kuat tidak menahan hantaman dari setiap sisinya? Sedang mengolesi minyak angin berharap redutnya melemas, ponselku berdenting. Hanya kalimat maaf tertulis di sana, satu kata saja, tidak lebih. Lama-lama aku muak dengan kata tersebut, banyak terucap dari mulutnya.

Bara ikut memijat kepala belakangnya. “Maaf, Mbak. Kita gak tahu kalo keadaan Mbak di sini pun lagi banyak masalah. Bian tadi WA katanya Mbak Ina sama mas Cakra kembali bersama ya?”

“Udahlah, kita pesen makan dulu. Kasian kamu pasti belum makan.” Kataku menolak menjawabnya seraya membuka aplikasi delivery food. “Mau pesan apa?”

“Terus gimana Mbak kalo udah bersama mas Cakra? Apa kita coba minta bantuan mas Cakra aja? Mas Cakra kan banyak uang, kita pinjam buat tebus sertifikat nanti bayarnya kita bisa cicil sama-sama.” Serius Bara mengabaikan soal pesan makanan.

“Mbak Mara udah kerja, meski sedikit juga yang penting ada usahanya, ia juga mulai rajin upload konten affiliate gitu. Mungkin nanti akunnya bisa berkembang dan banyak yang ajak kerjasama. Terus Bara bisa kok kuliah sambil kerja. Part time atau kalau enggak cari freelance, joki tugas. Gak seberapa memang tapi dengan Bara punya uang, beban Mbak Ina ngirim uang ke Bara jadi sedikit berkurang kan?”

Cakra mungkin bisa jadi solusi mengingat soal uang ia selalu siap sedia. Namun rasanya tak enak selalu merepotkannya. “Bilang Bian jangan cerita apa-apa soal masalah ini sama Cakra, kamu juga jangan! Biar Mbak pikirin dulu gimana baiknya.”

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang