55. Lima puluh lima

20.5K 1.2K 9
                                    

Hari ini aku double up, tapi kalo double up kayak gini part pertama yang diunggah tuh suka lupa divote. Sebelum baca, ketuk bintangnya dulu yaa.

Selamat membaca, dan terimakasih ya untuk support2nya manteman 🤍🤍🤍

_____

Ada yang bilang drama dalam hidup bak garam dalam sayur, tanpanya pasti hambar. Cakra bilang begitulah caranya hidup, menyelingi dengan drama, jangan terlalu serius. Aku sempat termakan dramanya, caranya menyampaikan kabar dalam rahimku telah tumbuh benihnya sangat amat meyakinkan. Tahunya semua itu sebatas lelucon yang sayangnya gagal menghadirkan gelak tawa.

Beberapa hari ini tak kusangka aku dalam perangkap dramanya lagi. Aku telah menjatuhkan harga diri dengan memohon agar Cakra kembali, agar Cakra mempertimbangkan hubungannya dengan Nania-Nania tersebut. Bukan mau merusak hubungan orang, aku hanya sedang menyelamatkan perasaan Nania.

"Maaf, Na, gak bisa. Aku tetap pada keputusanku." Selalu begitu jawabannya.

Seolah seorang pejuang yang tiada matinya aku tak pedulikan penolakannya. Terus membeberkan bahwa Cakra belum kelar dengan masa lalunya, bahwa dengan melanjutkan hanya akan menyakiti perasaan seperti yang Praja gaumkan kemarin di acaraku, bahwa Cakra harus memilihku dibanding memilih Nania yang tidak ia cintainya.

Sayang, seratus kali aku memohon, jawabannya tetap TIDAK. Ia bilang perkara menyebutku calon ibu tiri kemarin-kemarin hanya sebagai opsi kalau-kalau aku ikhlas dimadu.

"Nah, kali ini buat tante Nara." Lio meraih tanganku, bulatan logam perak yang sialnya terlihat bernilai mahal menyusup di jari telunjukku. Persis serupa dengan milik Cakra. "Lio hoki banget gak sih Tan? Dapat cincin lagi disaat temen-temen yang lain selalu zonk snaknya?"

Betul sekali teman-teman. Cincin yang melingkar di jari manis Cakra, yang kukira cincin pertunangannya ternyata hanya cincin mainan. Ah, sial zaman sekarang masih saja ada teknik marketing begitu. Pakai cincin bagus lagi, apa tidak bengkak biaya promosinya?

Cakra tersenyum lebar kala kutatap tajam. Bisa-bisanya ia mengelabuhiku dan yang paling bodoh, mengapa aku harus tertipu skenario drama sinetronnya?

"Saat lampu ijo dari Lio nyala masa mau nyerah gitu aja sih. Ya gak mungkin dong!" Cakra merangkulku. "Ini pelajaran aja buat nona gila dikejar. Biar ngerasain gimana rasanya jadi aku yang mati-matian ngejar kamu."

Awalnya aku hendak mengomel, namun ingat ada sesuatu yang perlu kupastikan. "Lampu ijo?"

"Gerah nih! Papa mandi dulu ya. Minta bantuan tante Inara aja tugas prakaryanya!" Alih Cakra seolah apa yang kutanyakan sebatas lirihan kecil.

Sekepergian Cakra, aku menyisikan sisa snak berhadiah tersebut sebelum ikut membantu Lio menempelkan pernak-pernik ke gambar bunganya. Bagaimana bisa aku menanyakan lampu hijau secara langsung padanya? Selama ini hubungan kami kembali normal, Lio mau menerimaku. Sayangnya Lio tak pernah terang-terangan mengizinkan hubunganku dengan Cakra.

Ia tidak gamblang mengutarakan bahwa dirinya sudah berlapang dada menerimaku sebagai ibu tirinya.

"Lio minta maaf." Hanya itu dan selalu itu. Kali inipun ia melakukannya lagi. "Lio minta maaf atas kelakuan Lio kemarin-kemarin."

"Kan Tante udah maafin. Minta maaf mulu deh." Jawabku masih cermat menempelkan satu payat batang di bagian tangkainya. "Bunganya mau warna apa nih?"

"Lio udah buat tante sama papa sama-sama sakit dan nangis. Maaf ya tante, mama baru cerita kalau granma di Sanghai tahunya ibu tiri buat mama." Ceritanya buatku menarik tangan dari prakarya tersebut. Bahkan aku tidak tahu informasinya. "Sebelum pindah ke Sanghai, grandma lumayan sering nengokin Lio. Baiknya gak kalah sama nenek Iren. Lio kaget dong kok bisa grandma yang baik gitu jadi ibu tiri."

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang