Katakan Cinta

288 71 1
                                    

"Aku anter jemput kamu lagi ya mulai besok. Biar pas kamu takut petir, ada aku yang bisa jagain", ucap Mas Yangsa sembari berseloroh diiringi tawa kami bersama. Dan mulai hari itu benar saja, Mas Yangsa selalu datang untuk mengantar dan menjemputku yang masih pergi ke tempat bimbel untuk persiapan UMPTN (*Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Bahkan saat aku bimbel dia sengaja menungguku di luar sampai aku benar-benar selesai. Beberapa kali aku memintanya untuk tidak memaksakan diri karena kutahu jarak rumahnya yang jauh pasti akan membuatnya merasa lelah sekali. Sejujurnya aku merasa tak tega melihatnya. Tapi, Mas Yangsa tetap bersikeras untuk menjaga dan melindungiku sebagai alasannya.

Suatu hari Mas Yangsa terlihat lesu dan kurang enak badan. Tapi, seperti biasa dia tetap memaksakan diri untuk mengantarku bimbel sampai selesai. Sedikit agak mengomel aku memintanya untuk pulang saja, karena aku ingin dia istirahat dan khawatir melihat kondisi fisiknya yang kelelahan. Tapi Mas Yangsa bagai batu yang tak mau mendengarkanku. Sampai di tempat Bimbel saat itu dia memintaku segera masuk dan membiarkannya menunggu di luar seperti biasa. Beberapa kali kami terlihat saling kontra dan tanpa sadar Mas Yangsa seperti membentakku tak sengaja. Seketika aku terkejut dan menangis karena takut. Dengan segera Mas Yangsa berusaha menenangkanku. Sedikit memaksa dia memintaku untuk terus mendengarkannya saat itu. Tapi, aku malah menolak dan memintanya segera pergi. Lalu tiba-tiba Brili datang mendekati kami. "Eh, ada apa ini? Lu ngapain?", tanya Brili sedikit sewot pada Mas Yangsa. Melihatnya datang tanpa diundang Mas Yangsa seperti semakin gahar dan terkesan ingin melampiaskan dendam karena sudah lama kesal dengan sosok Brili. "Apa lu mau ikut campur, mau gelut sama gua?", tantang Mas Yangsa geram. Suasana pun semakin panas, karena bukannya berhenti Mas Yangsa dan Brili malah makin terlihat sama-sama emosi. Aku berusaha untuk melerai mereka namun tak didengar dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Tak lama Brili menyusulku dan kulihat Mas Yangsa tetap mempertahankan posisi. "Aku tunggu kamu di sini ya sampai kamu pulang!", ucap Mas Yangsa kepadaku seakan berjanji.

Di dalam kelas Bimbel, sesungguhnya aku merasa sangat gelisah dan khawatir apa Mas Yangsa masih tetap menungguku di depan sana. Berkali-kali aku melihat jam di tanganku. Tak sabar menunggu waktu pulang untuk segera menemuinya saat itu.
"Kasih, shh shh!", Terdengar Brili yang duduk di sampingku berkali-kali berbisik seperti mau menyampaikan sesuatu. Tapi, aku pura-pura tak mendengarnya. "Kasih, baca ini!", pinta Brili sembari menyerahkan sebuah kertas bertuliskan "Semua baik-baik saja. Orang aneh itu pasti sudah pergi". Setelah membaca pesan di kertas itu, aku langsung melirik jutek ke arah Brili. "Dasar sok tahu!", aku bergumam kesal dalam hati.

Dan, akhirnya kelas bimbel pun selesai. Aku lalu buru-buru keluar untuk memastikan apa Mas Yangsa masih menungguku. Ternyata benar, kulihat Mas Yangsa masih duduk terdiam di bawah pohon jambu. Setengah berlari lalu aku menghampirinya dan Mas Yangsa tersenyum menyambutku. Seketika aku kembali menangis tapi karena menyesal dan merasa bersalah sudah pergi begitu saja meninggalkan Mas Yangsa. Dengan perlahan dia berusaha meyakinkanku kalau semua baik-baik saja. Namun, tiba-tiba Brili datang lagi menghampiri aku dan Mas Yangsa. "Kok lu masih di sini? Kan lu udah diminta pergi. Jangan ganggu Kasih lagi, paham?!", ucap Brili emosi. Dengan sedikit sempoyongan Mas Yangsa berusaha untuk berdiri menghadapi Brili. "Jangan sok tau ya. Lebih baik lu pulang sekarang!", jawab Mas Yangsa dengan geregetan. Brili dan Mas Yangsa pun kembali adu kuat. Aku berusaha untuk terus melerai karena khawatir melihat wajah Mas Yangsa yang semakin pucat. Tapi Brili terus mengajaknya ribut seperti tidak mengerti.

"Lu siapa memangnya? Pacarnya Kasih? Bukan kan? Jadi lu yang pulang sekarang!". Tanpa rasa bersalah Brili juga mulai main fisik dengan mendorong Mas Yangsa, untungnya seketika aku menahannya. Saat itu, Brili benar-benar membuatku emosi tingkat tinggi. "Udah cukup ya, Brili kamu udah keterlaluan! Iya, Mas Yangsa itu pacarku. Kamu puas? Sekarang kamu pergi!". Brili dan Mas Yangsa terdiam menatapku bersamaan. Aku pun tersadar. Ya, Tuhan apa yang sudah kukatakan? Saat itu juga aku begitu merasa malu karena terkesan halu mengaku pacaran dengan Mas Yangsa. Selama ini, kami memang dekat tapi mungkin hanya sebatas hubungan tanpa status yang jelas. Aku pikir aku sudah melakukan kesalahan. Aku tertunduk malu berniat untuk segera pergi saat itu. Tapi, tiba-tiba Mas Yangsa menghentikanku dan tegas ingin mengatakan sesuatu juga kepada Brili, "Iya, gua pacarnya Kasih dari mulai hari ini. Jadi, stop caper sama dia, ngerti?!". Dengan penuh keyakinan hari itu, 17 Agustus 2012. Mas Yangsa malah seakan ingin memperjelas juga status hubungannya denganku. "Kasih, kamu inget pas aku ngasih Coklat Romeo & Juliet? Itu karena aku cinta sama kamu dari dulu sampai sekarang. Kamu mau kan jadi pacar aku?", tanya Mas Yangsa yang mendadak menyatakan cinta. Sejenak aku terdiam tak percaya. Apa ini benar nyata. "Iya, aku juga cinta kamu Mas Yangsa. Dari dulu, dari kamu bantuin aku ngerjain soal Matematika". Kami pun saling memandang dengan mata berkaca-kaca. Perasaan senang yang luar biasa. Tak akan pernah terlupakan, karena rasanya hari itu begitu membahagiakan. Saat kami saling "katakan cinta" dunia terasa begitu sempurna.

"Cut cut cut! Apa ini, drama masa kini? Aku gak bisa terima semua ini ya Kasih. Waktu aku nembak kamu, jelas-jelas kamu bilang gak boleh pacaran sampe s2? Apa ini maksudnya?", ucap Brili seakan mau memulai keributan lagi.

Seketika aku jadi tersadar.
Apa ini benar?
Bagaimana kalau ayah dan ibu tahu bahwa akhirnya,
aku punya pacar?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang