Introspeksi

31 25 0
                                    

"Adik, tadi siang di Klinik ayah dan ibu kaget. Ada beberapa pasien yang minta kita jangan jadi keluarga yang banyak tuntutan. Mereka juga bilang kasihan Mas Yangsa udah banyak berusaha untuk adik dan keluarga kita. Maksudnya apa ya? Ada apa sama kalian berdua?", tanya ayah saat kami makan bersama malam itu. Sejenak aku terdiam dan sebenarnya tak ingin terlalu terbuka untuk menjawabnya. Saat itu aku hanya meminta maaf pada ayah dan ibu kalau ada beberapa omongan orang-orang yang mungkin akan membuat mereka merasa bingung bahkan mungkin akan mengganggu. Syukurnya ayah dan ibu tak terlalu mempermasalahkan itu. Seakan bisa mengerti kami sudah cukup dewasa untuk dapat menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Sebagai orangtua mereka hanya sebatas mengingatkan dan juga berusaha selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan terbaik antara aku dan juga Mas Yangsa.

Keesokan harinya, Ting nong, ting nong, ting nong", pagi itu bel rumah tiba-tiba berbunyi. Kebetulan saat itu aku sedang di rumah sendiri dikarenakan ayah dan ibu dan kak Miraj sudah berangkat sebelum fajar karena ada urusan pekerjaan. Aku yang belum mandi dan baru saja menyelesaikan sarapan tanpa pikir panjang langsung ke depan pintu untuk menyambut siapa yang sekiranya akan bertamu. Ternyata dia Mas Yangsa, tanpa bicara atau memberi kabar sebelumnya dia tiba-tiba datang ke rumah pagi itu. Sejujurnya aku masih merasa kesal kepadanya. Sebab dia mendadak menghilang saat pemberitaan dan hujatan bertubi-tubi mengarah kepadaku beberapa hari sebelumnya. "Mau ngapain?", tanyaku jutek kepada Mas Yangsa. Seketika dia meminta maaf kepadaku. Dengan menunjukkan wajah lelah dan perasaan bersalah, dia juga terkesan dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Boleh aku masuk? Aku butuh kamu buat dengerin semuanya", pinta Mas Yangsa padaku pelan. "Gak bisa, di rumah gak ada siapa-siapa. Kita bicara di sini aja. Silahkan", jawabku menolak permintaan Mas Yangsa karena kondisinya tak memungkinkan untuk dia dapat masuk ke dalam rumah. Saat itu pun kami akhirnya memutuskan untuk sepakat bicara dan mengobrol di teras saja. Awalnya Mas Yangsa mengungkapkan alasan mengapa dia kemarin sampai menghilang dan tak mengabariku bahkan tak membalas pesan. Dia berdalih hal itu bukan karena disengaja tapi ada satu permasalahan di keluarganya yang tak bisa dia ceritakan secara gamblang kepadaku. Mendengar dia setengah-setengah dalam mengungkapkan alasan, saat itu aku pun makin merasa tak nyaman. Hingga akhirnya aku ungkapkan semua yang kurasakan. "Kamu berubah, gak seperti Mas Yangsa bijak dan dewasa yang aku kenal. Jujur aku gak tahan. Udahlah lebih baik kita udahan!", ucapku dengan penuh emosi padanya. Mendengarku bilang begitu sontak Mas Yangsa langsung memohon kepadaku. "Kamu kan janji gak akan pernah tinggalin aku. Maafin aku!". Beberapa kali dia terlihat memelas dan kemudian menangis. Melihatnya begitu sejujurnya aku merasa tak tega. Namun, emosi tinggi yang juga kurasakan saat itu seakan jadi menutupi segalanya dan membuatku merasa tak ingin lagi peduli.

"Benar kata kamu, aku mungkin udah berubah. Aku terlalu dengerin apa kata orang. Aku cuma senang dapat perhatian dan pujian. Tapi aku gak siap untuk dihujat dengan kejam atau dipandang orang dengan sebelah mata", ucap Mas Yangsa sembari terisak dan menangis. Mendengarnya aku hanya terdiam dan terus memandangi wajahnya dengan tatapan serius. Tahu aku marah dan enggan menggubrisnya, berkali-kali Mas Yangsa memohon agar aku dapat mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Mendengarnya memohon dan mengatakan itu aku kembali jadi emosi tingkat tinggi. "Aku kurang ngerti apa sama kamu? Aku turutin semua yang kamu mau. Ngumbar-ngumbar ke seluruh dunia kalau kamu bukan pria matrealistis. Bahkan nahan malu untuk pamer-pamer semua barang pemberian kamu. Demi apa? Demi nama kamu bersih dan kembali dapat pujian dari banyak orang. Tapi kenapa ujungnya malah aku yang dibikin sakit hati? Apa maksudnya keluarga kamu terutama si Megan itu yang mendadak koar-koar nyudutin aku dengan segala pemikiran mereka yang sok tahu? Jadi masih mau minta pengertian dari aku?", ucapku ngegas sambil emosi. Seketika Mas Yangsa terdiam. Seakan tertampar sesaat mendengar aku meledakkan semua unek-unek yang saat itu tak dapat lagi kupendam.

"Aku gak mau kita pisah, aku gak bisa tanpa kamu Kasih. Maafin aku. Aku salah. Aku egois cuma mikirin diri aku sendiri. Aku cuma punya kamu yang bisa ngertiin aku. Kamu tau kan gimana keluarga aku. Kehidupannya, gimana aku berjuang untuk mereka. Belum lagi ngadepin ulah Megan yang selalu nantangin, sengaja bikin onar dan buat berbagai masalah yang bikin semuanya semakin runyam. Maafin aku, jangan tinggalin aku!", ucap Mas Yangsa kembali memohon dan tak hentinya memelas. Pelan-pelan situasi pun tak lagi memanas. Aku berusaha untuk kembali tenang dan berpikir tak ada gunanya untukku apabila terus larut dalam emosi. "Oke, aku mau kita stop semuanya sekarang. Gak usah lagi pusing mikirin apa kata orang. Kita jalanin aja dengan produktif. Kalau emang rejeki kita ditakdirkan dari hasil bikin-bikin konten video yaudah kita lakuin semuanya dengan niat positif. Gak usah pengen selalu dipuji, kita tunjukin aja dengan konten bermanfaat atau yang bisa menginspirasi", ucapku panjang kali lebar pada Mas Yangsa. Saat itu Mas Yangsa pun terlihat mengangguk tanda setuju. Tak ingin lagi berdebat atau ribut-ribut denganku dia kembali meminta maaf dan berharap hubungan kami tetap bersama selamanya.

Semenjak pembicaraan hari itu aku dan Mas Yangsa kembali memulai semuanya dengan berusaha lebih baik dan lebih menjaga. Tak ingin lagi dikenal dengan kontroversi kami berusaha untuk dapat memberikan konten-konten dengan muatan berisi hal-hal bermanfaat dan menginspirasi. Kami kembali mulai dengan beberapa konten belajar bersama. Keseharian kami yang sederhana dan berbagai hal-hal produktif lainnya. Hari demi hari kami lalui, pemberitaan dan hujatan tak menyenangkan yang tertuju pada kami pun pelan-pelan mulai memudar dan sedikit berganti dengan tanggapan positif. Nyatanya tak perlu berusaha keras untuk terlihat baik di mata banyak orang. Seakan melakukan hobi yang dibayar dengan cukup menunjukkan hal-hal ringan namun dapat memberi kesan yang menyenangkan. Meskipun tak dapat dipungkiri masih ada beberapa omongan julid nan nyinyir yang masih menghiasi kolom komentar media sosial kami seperti, "Gak capek apa pacaran aja? Gak takut dosa? Kasian ceweknya cuma diajak main-main terus. Yakin, gak mau melangkah ke hubungan yang lebih serius?". Seakan belajar dari kesalahan sebelumnya, terlihat Mas Yangsa menanggapinya hanya dengan tertawa dan menganggap itu semua sebagai komentar lucu semata. Beberapa kali bahkan Mas Yangsa secara terang-terangan mengungkapkan hal demikian tak perlu terlalu dipikirkan. Namun, tak dapat kupungkiri saat sedang merasa lelah, aku jadi mudah terbawa perasaan dan kemudian jadi terpikirkan dengan susah payah yang sudah kami lakukan. Nyatanya sebagai perempuan aku pun butuh kepastian. Melihat Mas Yangsa seakan santai dengan berbagai pertanyaan yang menjurus membuatku ingin mendapat suatu jawaban yang serius.

"Awi, boleh aku tanya satu hal? Kira-kira sampai kapan ya kita terus (pacaran) begini? Apa kamu gak ada target dan tujuan pasti?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang