LDR (Lelah Disiksa Rindu)

168 70 2
                                    

"Adik, bangun nak. Kita sudah sampai", dengan lembut ibu membangunkanku saat itu. Aku terbangun dengan keringat dingin lalu kulihat sekeliling, ternyata aku masih berada di dalam pesawat yang baru saja mendarat. Sesaat benar-benar sampai di tujuanku, aku langsung membuka ponsel dan segera mengirimi Mas Yangsa pesan saat itu juga. "Awi, aku sudah sampai, aku rindu kamu. Jangan pernah putusin aku ya. Tolong jaga hatimu di sana". Tak lama Mas Yangsa membalas pesanku, dan mengatakan dia juga merindukanku. Dia pun berjanji akan selalu setia menunggu karena dia begitu mencintaiku. Aku tersenyum lega dengan balasan pesan dari Mas Yangsa itu. Syukurlah ternyata pesan putus yang amat menyakitkan darinya itu hanya ada di dalam mimpi burukku. Berharap itu tak akan pernah terjadi di dunia nyata karena semoga cinta kami akan bersama selamanya.

Hampir 3 tahun aku dan Mas Yangsa menjalani hubungan jarak jauh. Tapi, sesuai janji yang sudah kami sepakati. Perbedaan zona waktu yang lebih cepat 3 jam antara waktuku dan Mas Yangsa tak pernah jadi halangan bagi kami untuk saling berbagi kabar dan meluangkan waktu untuk sekedar bercerita. Kami juga terkadang sharing ilmu yang dipelajari sebagai mahasiswa, tak jarang Mas Yangsa yang berkuliah jurusan Matematika dengan beasiswa banyak membantu dan mengajariku yang menjalani kuliah jurusan Kedokteran Gigi sebab jalur terpaksa akibat keinginan orang tua. Mas Yangsa juga kerap menghiburku dari jauh, saat aku mendadak merasakan homesick atau rindu rumah. Dia juga selalu menyemangatiku bahkan mendukungku dengan penuh saat aku melakukan kerja part time demi mengisi waktu luangku terutama saat liburan panjang musim panas di masa kuliah.

"Dulce, aku selalu bangga sama kamu. Padahal kamu gak dalam kondisi kekurangan, sebenarnya bisa aja kamu minta apapun atau bermanja sama orangtua. Tapi, kamu lebih milih untuk mandiri dan gak malu untuk produktif melakukan hal-hal positif untuk diri kamu sendiri. Kamu hebat!", ucap Mas Yangsa saat melakukan panggilan video denganku. Mendengarnya aku hanya tersipu malu. Sejujurnya semangat dan dukungan penuh dari Mas Yangsa lah yang membuatku kuat dan bertahan saat itu. Seakan tak ingin menyerah, begitu banyak hal yang dapat kulakukan. Aku tetap berusaha belajar dengan baik dengan menjalani kuliahku sembari bekerja paruh waktu. Tujuannya tak hanya untuk dapat mengisi pundi-pundi tabunganku, tapi aku juga bisa mendapat pengalaman luar biasa yang akhirnya menjadi kepuasan tersendiri untukku saat itu. Kuingat selalu kata-kata super dari Mas Yangsa. "Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasilnya. Jalani segala sesuatu dengan penuh rasa kasih, yakinlah kesuksesan dan kebahagiaan akan selalu mudah untuk diraih".

Tanpa terasa hari-hari kujalani. Aku bersyukur kuliahku tetap berjalan lancar. Hubungan jarak jauhku dengan Mas Yangsa juga tak terpisahkan. Susah payah yang kurasa sudah pasti tak bisa kuhindari, tetapi semuanya terbayarkan dengan apa yang sudah kudapatkan. Namun, tiba di tahun terakhir waktu kuliah, aku merasa tak bisa lagi untuk menahannya. Perasaan itu, rasa yang begitu lelah disiksa rindu kepada Mas Yangsa. Kupikir mungkin sudah waktunya kami untuk bisa kembali berjumpa. Kulihat pundi-pundi tabungan yang sudah kukumpulkan sembari kuhitung dan kulingkari tanggal untuk menandai hari penting di kalenderku. Iya, momen ulang tahun Mas Yangsa yang ke 22 tahun akan bertepatan dengan liburan panjang musim panas terakhir di masa kuliahku. Saat itu aku begitu bersemangat, mungkin waktunya tepat untuk aku bisa pulang dan segera berjumpa dengan Mas Yangsa. Kuatur rencana untuk memberinya surprise dan berharap bisa menjadi momen istimewa yang tak terlupakan sepanjang masa. Aku sengaja mengumpulkan 22 buah kado yang jumlahnya sama dengan usia ulang tahun Mas Yangsa saat itu. Isinya beragam, ada topi, kacamata, baju, jaket, celana, kaos kaki, sampai peralatan mandi seperti sabun, sampo dan masih banyak lagi. Aku juga membeli boneka koala serta biskuit coklat Tinn Tann asli negeri Kanguru yang diproduksi langsung dari negara asalnya. Meskipun kutahu biskuit coklat itu ada di Indonesia, tapi aku sengaja membawanya spesial karena itu adalah salah satu cemilan favorit Mas Yangsa.

Dan akhirnya, aku kembali pulang ke Indonesia. Aku sengaja mengambil penerbangan malam dan tiba di pagi hari agar Mas Yangsa tak curiga dengan keberadaanku. Aku juga sengaja tak langsung pulang ke rumah karena ceritanya akan beda kalau aku sudah bertemu dengan ayah dan ibu. Setibanya di Bandara saat itu, kuputuskan untuk langsung menemui Mas Yangsa di kampusnya. Sambil berdiri memegangi koper dan ransel kutunggu Mas Yangsa di dekat gerbang depan agar bisa menyambutnya datang, meskipun saat itu aku merasa malu sebab menjadi pusat perhatian beberapa orang. Namun, demi bertemu Mas Yangsa saat itu, aku seakan tak peduli dengan penampilanku yang berantakan setelah menempuh perjalanan panjang.

Aku menunggu Mas Yangsa lumayan lama, sampai kurasa matahari bersinar dengan sangat terik di kepala. Beberapa kali kulihat jam di tanganku. Waktu menunjukkan hampir tengah hari, tapi Mas Yangsa yang kutunggu-tunggu saat itu tak datang juga. Dia pun belum mengabariku dengan mengirimkan pesan seperti biasanya. Tak tahan lagi menunggu lama, aku pun meneleponnya untuk menanyakan di mana keberadaannya.

"Halo?", tiba-tiba terdengar suara perempuan mengangkat panggilan ponsel milik Mas Yangsa.
Aku terkejut. Siapa dia?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang