"Barusan telepon dari pamanku. Katanya di rumah Megan berulah. Dia bentak-bentak bapak minta dibelikan motor baru. Kondisi bapak jadi drop di rumah. Aku harus pulang sekarang", ucap Mas Yangsa dengan wajah gelisah. "Ok, aku ikut kamu. Kita pulang sama-sama ya", jawabku pelan berusaha menenangkan Mas Yangsa. Tak lama aku pun bicara dengan ayah, ibu dan oma. Seakan bisa mengerti keadaan yang mendesak saat itu. Mereka pun memberikanku izin untuk bisa pulang dan menemani Mas Yangsa. Sementara ayah dan ibu yang masih ada keperluan pekerjaan tak bisa ikut mendampingi dan hanya mengantarkan kami ke bandara. Setelah mendapatkan tiket pesawat dengan keberangkatan tercepat aku dan Mas Yangsa pun segera pamit pada ayah, ibu dan oma. Setengah tak percaya, hari itu seakan jadi momen pertama juga aku pergi berdua saja dengan Mas Yangsa. "Sabar ya Awi. Tenang, kita lalui semuanya sama-sama ya", ucapku berusaha untuk terus menenangkan Mas Yangsa.
Setelah melalui proses check in dan sedikit menunggu, akhirnya waktu boarding pesawat pun tiba. Terlihat dengan jelas raut gelisah di wajah Mas Yangsa. Selain memikirkan kondisi bapaknya di rumah, penerbangan hari itu adalah pengalaman pertama Mas Yangsa sehingga wajar bila dia terlihat tak nyaman rasanya. Beberapa kali aku berusaha menenangkannya dan berharap semua akan tetap baik-baik saja. Saat itu tiba-tiba terjadi guncangan kecil di pesawat, Mas Yangsa yang kaget reflek tiba-tiba memegang tanganku. Aku tersenyum ke padanya memberi isyarat bahwa situasi itu normal dan tidak terjadi apa-apa. Mas Yangsa pun berbisik pelan ke arahku meminta izin untuk dapat terus menggenggam tanganku dan tak melepaskannya saat itu. Aku hanya mengangguk tanda setuju namun seketika juga aku jadi tersipu malu. Kurasakan tiba-tiba jantungku berdegup kencang, mungkin karena itu adalah kali pertama aku berpegangan tangan dengan Mas Yangsa. Kami memang sudah lumayan lama bersama dan resmi dikatakan berpacaran. Namun bisa dibilang itulah momen pertama kami melakukan physical touch atau mengekspresikan cinta dalam bentuk sentuhan. Kulihat Mas Yangsa juga beberapa kali tersenyum dan terlihat sudah lebih tenang. Mungkinkah dia juga merasakan yang aku rasakan. Entahlah, yang pasti aku begitu merasa nyaman di dekat Mas Yangsa. Saat dia menggenggam tanganku dan ketika aku berusaha untuk terus mendampinginya semua begitu terasa sempurna.
Tanpa terasa selama kurang lebih 1 jam 10 menit waktu penerbangan. Akhirnya aku dan Mas Yangsa pun tiba di Bandara tujuan. Dengan terus bergandengan tangan, kami pun melangkah untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Dengan menggunakan kendaraan taxi kami pergi menuju rumah Mas Yangsa. Saat itu situasi lalu lintas lumayan padat karena bertepatan dengan waktunya pengendara pulang kerja. Tak ingin melihat Mas Yangsa kembali merasa cemas dan gelisah aku pun berusaha untuk terus mengalihkannya dengan mengajaknya bicara. "Megan kenapa mau motor baru? Bukannya sudah ada ya. Waktu itu kamu jemput dia pakai motor kan?", tanyaku random pada Mas Yangsa. Dia pun akhirnya terpancing untuk bicara dan mengatakan bahwa adik tirinya itu agak berbeda. Mungkin karena Megan tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian orang tua yang akhirnya membuat sikapnya sulit sekali untuk diatur. Apapun yang dia inginkan harus dapat terpenuhi tanpa mau tahu kondisi dan situasi. Mas Yangsa juga bercerita Megan selalu terobsesi menjadi seorang penyanyi. Teringat di malam saat Mas Yangsa menjemputnya, itu karena Megan sudah mengacau di restoran tempat paman Mas Yangsa bekerja. Seketika aku tahu persis kejadian itu, karena aku menyaksikannya secara langsung. Tak kusangka perempuan yang saat itu kukira sedang tidak baik-baik saja adalah benar adik tirinya Mas Yangsa. Dunia begitu sempit. Baru kuingat juga pria bertubuh besar yang menarik Megan untuk menepi saat itu ternyata pamannya yang juga bekerja di sana. Aku pun langsung meminta maaf pada Mas Yangsa. Kalau saja aku tahu kejadian hari itu yang sebenarnya. Mungkin aku tidak akan sampai berpikiran negatif dengannya. Mas Yangsa kembali memegang tanganku. Dia juga meminta maaf karena tak langsung berterus terang saat itu kepadaku. Yang lalu biarlah berlalu dan menjadi pelajaran terbaik untuk kami ke depannya.
Sesaat kemudian Mas Yangsa juga memintaku untuk dapat menerimanya. Bukan cuma dia namun juga keluarganya. Dia pun memberitahuku saat itu, kondisi dan situasi keluarganya sangat bertolak belakang jauh dengan keluargaku. Mungkin saja aku akan kaget saat bertemu dan menghadapinya secara langsung. Mas Yangsa pun memintaku untuk tak pernah menyerah atau meninggalkannya. Dia berharap hubungan kami bisa selamanya bahkan sampai menikah dan hidup bersama. Aku tersenyum memandangi Mas Yangsa. Tak ada keraguan di hatiku saat itu. Dengan penuh keyakinan. Aku mencintai Mas Yangsa dan akan berusaha juga untuk mencintai keluarganya. Selayaknya dia berusaha untuk berjuang mendapatkan hati keluargaku. Rasanya tak adil kalau aku juga tak berusaha untuk melakukan hal yang sama. Aku dan Mas Yangsa pun saling pandang sambil terus berpegangan tangan. Tanpa sadar supir taxi memberitahu kalau tujuan kami sudah sampai.
Sesaat turun dari taxi, aku sedikit terkejut melihat lingkungan sekeliling. Rumah yang dulu pernah aku datangi saat SD ketika ibu Mas Yangsa meninggal ternyata sudah lama dijual. Dan kemudian di ujung lorong yang sempit juga gelap di situlah Mas Yangsa saat itu tinggal. Ya, Tuhan. Baru saja saat itu aku meyakinkan hatiku untuk bisa menerima kondisi situasi keluarga Mas Yangsa. Namun, mendadak keyakinan itu seakan tergoyahkan. Dalam hati pun aku jadi bertanya-tanya.
Sanggupkah kiranya aku menerimanya?
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Любовные романы"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...