Cinta Pertama

745 76 11
                                    

"Eh, ada anak Pak Samat mau lewat. Ha ha ha, Pak Samat jualan tomat yang beli harus hormat". Terdengar menyebalkan anak laki-laki itu tak hentinya mengejekku. Iya, dia adalah Mas Yangsa Wicaksana. Si anak usil, teman sekelasku di SD Kebanggaan Bangsa Jakarta. Salah satu hobinya memang meledek nama orangtua.

Teringat hari itu, sepulang sekolah Bu Guru menugaskan aku dan Mas Yangsa untuk jadwal piket kelas. Sesungguhnya aku langsung merasa malas dan jadi harap-harap cemas. Alih-alih bisa bekerjasama dan membantu sudah pasti Mas Yangsa hanya akan mengusikku. "Eh, kamu kok diam aja, sariawan? Ngobrol dong!", celetuk Mas Yangsa kepadaku. "Iya.." jawabku singkat sembari mau mengangkat bangku. Tiba-tiba dia seperti mencegahku. "Eh, mau ngapain? Sini sama aku aja. Jangan angkat yang berat-berat!", seru Mas Yangsa sambil memberiku sebuah sapu. Melihatnya melakukan itu aku tak menyangka si anak usil ini ternyata bisa bersikap manis juga. Mungkin istilah jaman now, seperti punya love language yang act of service.

Mas Yangsa memang usil tetapi dia adalah murid yang paling cerdas. Masih teringat jelas hari itu di pelajaran Matematika tiba-tiba Bu Guru menyuruhku mengerjakan soal di depan kelas. Aku pun maju tapi kemudian terdiam dengan wajah memelas. Selain karena nervous, sejujurnya aku memang tidak menyukai angka dan matematika. Sampai agak nada tinggi Bu Guru berulang kali menyuruhku menjawab soal itu dengan segera. Bahkan beliau terlihat cukup emosi sembari menepak-nepak penggaris kayu berukuran besar ke atas meja. Sontak saja saat itu aku begitu merasa takut dan seketika menangis karena bingung harus bagaimana. Tiba-tiba tanpa terduga Mas Yangsa maju dan mendekati aku. Lalu dia menyuruhku menulis jawaban dari pertanyaan soal itu. Pelan-pelan dia seperti mengarahkan dan mengajariku untuk bisa menjawab dengan benar. Ya Tuhan, tiba-tiba jantungku berdebar. Apa yang dia lakukan? Mengapa dia seakan melindungiku?

"Kring kringg kringg", lonceng tanda pulang sekolah pun berbunyi. "Selesai, beri salam. Assalamualaikum, warahmatullahi wabarakatuh". Terdengar suara seluruh murid memberikan salam tanda kelas sudah usai. Aku pun langsung bergegas untuk segera pulang. Tapi, mendadak langkahku terhenti karena mendengar seseorang memanggilku. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Mas Yangsa terlihat berlari mengejarku seperti mau menyampaikan sesuatu. "Hey, anak Pak Samat tunggu!". Sambil sedikit terengah-engah dia menyerahkan sebuah buku catatan kepadaku. "Nih, baca dan hapalin. Jangan sampai hilang bukunya. Jangan lupa kembaliin kalau kamu udah pintar matematika!". Lalu dia pergi sambil melambaikan tangan seakan meledekku. Namun, tiba-tiba berhenti dan kembali menghampiriku sambil mengeluarkan sesuatu. "Oh, iya nih hampir lupa. Jangan nangis kaya tadi, cengeng!". Mas Yangsa pun benar-benar beranjak pergi setelah menyerahkan sebuah coklat kemasan pink yang super viral di jaman dulu. "Coklat Romeo & Juliet?". Seketika aku ngefreeze tak menyangka lagi-lagi Mas Yangsa membuatku deg-deg an dan saat itu juga diikuti rasa penasaran. Mengapa dia terus bersikap baik kepadaku?

Semenjak hari itu, aku jadi senang memperhatikan apapun yang Mas Yangsa lakukan. Menurutku dia itu sebenarnya anak yang lucu dan beberapa kali tingkahnya malah membuatku senyum sendiri. Seperti saat dia memekik girang ketika menang balapan umang-umang. Saat dia kepedasan makan mie gaul sambil terus asyik bermain tamagotchi atau juga saat wajahnya yang terlihat begitu polos berbinar memandangi kepingan tazos yang dia koleksi. Kurasa diam-diam aku mulai menyukai Mas Yangsa.

Dan waktu pun terus berlalu, tanpa terasa tibalah di hari kelulusan akhir Sekolah Dasar. Pada hari itu, 06 Juni 2006 semua murid kelas 6 berkumpul di Aula. Tapi sampai akhir acara tak terlihat juga kehadiran Mas Yangsa. Ke mana dia? Mengapa tidak datang? Tanyaku dalam hati. Sampai akhirnya Kepala Sekolah mengumumkan murid yang menjadi juara umum adalah Mas Yangsa Wicaksana. Semua yang ada di Aula pun bersorak dan bertepuk tangan. Namun, tiba-tiba Kepala Sekolah juga memberitahukan bahwa Mas Yangsa tidak bisa datang karena kabar yang tidak menyenangkan. Ternyata Ibu kandung Mas Yangsa meninggal dunia di hari itu. Suasana yang tadinya bising seketika berubah menjadi hening. Terbayang saat itu bagaimana sedihnya perasaan Mas Yangsa. Rasanya aku ingin segera menemuinya.

Setelah acara kelulusan hari itu selesai, beberapa perwakilan guru dan murid yang termasuk aku bergegas pergi ke rumah Mas Yangsa untuk menyampaikan ungkapan duka cita. Sesampai di sana kami pun langsung menemui dia yang saat itu sedang ditemani pamannya. Dengan sesenggukan, Mas Yangsa bercerita ibunya tak bisa diselamatkan dan meninggal saat melahirkan adik perempuannya. Sambil terus menangis dia juga mengatakan kemungkinan akan segera pindah untuk melanjutkan kehidupannya di luar kota bersama Ayah dan adik bayinya. Ya Tuhan, seketika aku begitu merasa sedih saat itu. Terbayang jauh mungkin akan sulit untuk aku dan Mas Yangsa bisa kembali bertemu.

Akhirnya aku pun menyadari, mungkinkah aku merasakan cinta pertamaku?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang