"Okay fine, now we re breaking up!"
Kujadikan status di sosial media sambil berusaha santai mendengarkan beberapa lagu galau. Saat itu sejujurnya aku begitu merasa kacau, tapi aku sadar diri bahwa usiaku sudah tak ABG lagi. Menurutku sudah bukan jamannya untukku merasa gundah gulana, meratapi nasib dengan mengurung diri sembari menangis bombai. "Aku kuat, aku hebat, aku bisa! Tapi pada faktanya aku tak dapat berhenti memikirkan Mas Yangsa". Dan aku pun gagal berusaha untuk menguatkan diriku sendiri. Apalah daya aku tak kuasa menahan derasnya air mata. Sudah begitu banyak yang kami lalui. Masa iya hubungan ini harus berakhir begitu saja.Pagi itu kuaktifkan kembali ponsel yang sengaja dari semalam kumatikan. Berharap ada balasan pesan atau panggilan langsung dari Mas Yangsa. Namun, sudah kuduga seakan tak ada itikad dan usaha darinya untuk sekedar memperbaiki hubungan. Baiklah, kalau itu memang yang Mas Yangsa inginkan. Kuhapus air mata yang sudah banjir di wajahku. Kubereskan pakaian dan kubuka lebar pintu kamarku. Seketika aku melangkah keluar dari zona nyamanku saat itu. Kutemui ayah dan ibu untuk pamit ke luar kota dengan tujuan sebenarnya hanya untuk mencari ketenangan dan menjernihkan pikiranku. "Adik, izin mau ke rumah oma ya. Sudah lama adik gak ketemu oma, rasanya udah kangen banget", pintaku pada ayah dan ibu dengan memasang wajah memelas. Terlihat mereka kaget dengan keinginanku yang mendadak ingin pergi. Seakan tak bisa menyembunyikan perasaan khawatir, ayah dan ibu memandangku bagai putri kecil dan lupa bahwa aku sudah terbiasa hidup mandiri di luar negeri. Pelan-pelan aku berusaha meyakinkan semuanya akan aman terkendali dan pada akhirnya mereka pun memberi izin lalu mengantarku ke Stasiun untuk bergegas pergi. Setelah pamit, kulambaikan tanganku pada ayah ibu sembari berlalu memasuki kereta yang akan segera berangkat. "Goodbye stress and ready for my best!", saat itu, berulang kali aku menguatkan hatiku sendiri.
Lebih kurang 7 jam perjalanan, aku pun tiba di kota tujuan yakni Yogyakarta. Dengan mengendarai becak dan berbekal kertas yang bertuliskan alamat rumah oma, aku pun pelan-pelan menyelusuri jalanan yang ada. Sudah begitu lama dari terakhir kali aku ke sana, mungkin saat itu aku masih TK. Jadi wajar rasanya kalau aku tak ingat di mana letak persisnya. "Sudah sampai, kayaknya ini ya rumahnya", ucap mamang tukang becak mengarahkanku saat itu. Tak lama aku pun turun dan langsung berjalan memasuki pekarangan rumah itu. Kuucapkan salam dan berharap benar oma yang akan menyambutku. Namun, berungkali aku memanggil sembari menekan bel, pintu rumah itu tak juga terbuka untukku. Waktu sudah menunjukkan sore hari, seharusnya oma sedang duduk di teras sambil menikmati afternoon tea.
Tak lama seseorang datang menghampiriku. "Kamu ke sini juga?", ucapnya pelan kepadaku. Saat aku menoleh ternyata Mas Yangsa berdiri tepat di belakangku. Aku tertunduk diam tak menjawabnya. Sejenak Mas Yangsa juga terdiam dan kemudian berusaha menggenggam tanganku. "Ayo kita bicara!", ucap Mas Yangsa. Kutepis tangannya sembari mempersilahkan dia untuk jalan duluan. Saat itu di sebuah kedai kopi, akhirnya kami pun duduk bersama. "Kenapa kamu pulang ke Indonesia diam-diam saja?", tanyanya memulai obrolan. Aku terdiam tak mau menjawabnya. "Minum dulu es kopinya, kalau sudah dingin baru kita bicara!", ucap Mas Yangsa dengan sedikit kesal. Kuturuti permintaannya, kebetulan memang aku juga merasa haus saat itu. Kuseruput es kopi sampai habis tak bersisa. Mas Yangsa tersenyum ke arahku dan tahu bahwa sesungguhnya aku sedang tidak baik-baik saja. Pelan-pelan dia pun mulai mengajakku untuk kembali bicara. Entah mungkin karena kekuatan es kopi yang dia berikan kepadaku saat itu. Akhirnya aku terpancing untuk menyampaikan apa yang aku rasa. Dengan panjang kali lebar kukatakan padanya aku sengaja datang jauh-jauh hanya untuk bisa bertemu dan memberi kejutan langsung di hari ulang tahunnya. Namun, bukan kebahagiaan yang aku dapatkan malah patah hati yang teramat sakit karena kudapati dia sedang bersama orang lain. Mas Yangsa terlihat amat terkejut mendengar apa yang kukatakan. Seakan ingin menampik yang aku sampaikan, dia pun kemudian menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan.
"Dulce, maaf tapi faktanya kamu udah salah paham. Mungkin perempuan yang kamu liat berdua sama aku malam itu ya adekku", ucap Mas Yangsa berusaha meyakinkanku. Seketika aku tersenyum sinis mendengar ucapannya itu. "Adekmu? Kristal? Yang umurnya masih 10 tahun? Kamu bercanda? Siapa aja juga pasti bisa bedain yang mana anak SD dan yang mana gadis ABG??? Jadi adek yang mana yang kamu maksud? Adek ketemu gede???", jawabku kesal pada Mas Yangsa. Sejenak dia terdiam seakan tak bisa berkata-kata. Melihat gelagatnya aku pun jadi emosi. "Gak bisa jawab kan? Udah ketauan duluan soalnya. Malu kan pasti, udahlah!!!". Saat itu aku benar-benar marah besar. Rasanya begitu tak termaafkan saat dia terlihat begitu tega menyakitiku. Kupandangi dia saat itu sembari meyakinkan diriku bahwa hari itu akan menjadi kali terakhir untuk kami dapat bertemu. Kuucapkan terimakasih atas semua yang sudah dia lakukan untukku. Tak ingin berlama-lama aku pun segera beranjak pergi meninggalkan Mas Yangsa dengan perasaan amat sangat muak dan begitu sesak di dada.
"Kasih tunggu!!!"
"Ok, aku bisa ceritain semuanya! Tapi, janji ya kamu gak akan pernah pergi tinggalin aku dan bisa terima segala aib yang aku punya"
"Apa kamu bisa?"(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Romance"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...