Liburan

109 71 1
                                    

"Kejutan", ucap ayah dan ibu berbarengan. Mendadak aku tersenyum kaku menyambut mereka saat itu. Sesaat kemudian ayah dan ibu pun memelukku dan mengatakan mereka sengaja datang karena ingin bersama-sama liburan denganku saat itu. Seketika aku terdiam, bingung memikirkan bagaimana nasibku saat ayah dan ibu tahu kalau ada Mas Yangsa sedang bersamaku juga di rumah oma. "Loh, adik kenapa? Kok seperti tak senang ayah ibu datang? Oma sedang apa?", ucap ibu sembari berjalan masuk dengan ayah ke dalam rumah. Aku terdiam tak berani mengatakan yang sebenarnya dan sesaat kemudian hanya bisa pasrah melangkah.

"Selamat pagi oma, loh? Ada kamu di sini juga?", ucap ayah saat mendapati Mas Yangsa sedang sarapan bersama oma. "Selamat pagi om, tante", jawab Mas Yangsa sembari menyambut ayah dan ibu dengan mencium tangan mereka". Aku memejamkan mataku tak ingin melihat langsung ekspresi ayah dan ibu yang sudah pasti tak senang dengan keberadaan Mas Yangsa. "Apa kabar kamu? Sehat ya! Sampai dingin tangan dia loh bu", ucap ayah tertawa tiba-tiba dengan ibu. "Baik, om tante terimakasih", jawab Mas Yangsa tersipu malu. Aku terperanjat dengan apa yang kulihat. Seakan terasa begitu berbeda saat kudapati ayah dan ibu benar-benar terlihat ramah saat kembali bertemu Mas Yangsa. Terlihat oma senyum-senyum menatapku saat itu. Kupikir mungkin ada peran oma dibalik suasana damai yang ada. Kenyataannya bukan, sesaat setelah aku tahu dari ayah dan ibu sebuah fakta mengejutkan yang tak pernah Mas Yangsa katakan kepadaku sebelumnya. Bahwa ketika aku kuliah nan jauh di sana, ternyata dia kerap datang ke rumah hanya untuk mengunjungi ayah dan ibu atau bahkan tak segan untuk membantu mereka seperti layaknya dia bersikap manis pada oma.

Aku begitu tak menyangka. Meskipun kutahu Mas Yangsa memang selalu paling bisa memenangkan hati siapa saja. Namun, saat itu berlaku juga untuk ayah dan ibu rasanya begitu bangga luar biasa. Apalagi kenyataannya tanpa koar-koar dia sengaja tak memberitahuku segalanya. Benar-benar aku memang tak salah pilih. Dia memang kekasih terbaik yang selalu bisa membuatku bahagia dan merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia ini. "Terimakasih", ucapku berbisik pelan pada Mas Yangsa ketika aku saling pandang dengannya. Terlihat dia hanya mengangguk sembari memancarkan senyum bahagia di wajahnya.

"Hari ini kita jalan-jalan ya. Ajak ayah dan ibu kepadaku, oma dan Mas Yangsa. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku pun menyambut dengan antusias ajakan tersebut. Kami pun berkeliling di kota kekuasaan oma. Mengunjungi beberapa destinasi wisata juga tempat kulinernya dan berakhir ke pusat perbelanjaan surganya para wanita. "Pengumuman-pengumuman hari ini adik mau teraktir ya. Masing-masing bebas boleh belanja 1 item apa aja", ucapku iseng menawari ayah, ibu, oma dan Mas Yangsa. "Wah, emang adik sudah gajian?", tanya ayah gemas meledekku. Aku hanya mengangguk sembari tertawa saat itu. Iya, bukan bermaksud untuk sombong. Namun, lebih kepada ungkapan kebahagiaanku saat itu bisa berkumpul bersama keluarga juga Mas Yangsa. Lagipula kalau dihitung-hitung pundi-pundi tabunganku dari hasil bekerja paruh waktu saat kuliah masih bisa dikatakan cukup bahkan masih lumayan banyak. Dengan bersemangat terlihat ayah memilah-milih baju sambil mengajak Mas Yangsa untuk juga mengambil item yang sama. Sedangkan ibu dan oma sibuk memilah-milih sepatu mencari mana yang pas dan sesuai dengan selera mereka. Terimakasih Tuhan. Pemandangan saat itu membuatku begitu merasa bahagia. Meskipun yang aku tawarkan pada mereka saat itu tak bernilai besar. Namun semua terbayar dan terasa tak sia-sia dengan jerih payahku membagi waktu bekerja juga kuliah.

"Terimakasih ya adik, semoga rejekinya semakin berkah", ucap ibu sembari memelukku. Terlihat ayah, oma dan Mas Yangsa juga memancarkan wajah yang gembira seakan menghargai yang kuberikan meskipun nilainya tak seberapa. "Eh, tapi you gak beli sesuatu juga? Belilah biar sama-sama menikmati hasil gaji", ucap oma seakan memintaku untuk memberi hadiah untuk diriku sendiri saat itu. Aku hanya tersenyum bingung karena sesungguhnya aku tidak seperti perempuan pada umumnya yang memiliki hasrat menggebu-gebu untuk belanja. Namun, kupikir mungkin akan pas momennya jika aku mengikuti saran dari oma untuk membeli satu barang sebagai pengingat hasil jerih payahku dan pengingat salah satu hari bahagia saat aku bisa membelinya. Setelah hunting ke beberapa barang, akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah tas yang sebenarnya cukup pricey karena merupakan item terbaru dari brand yang lumayan luxury. Dengan beberapa kali pertimbangan akhirnya aku pun meyakinkan diriku untuk benar-benar membeli tas itu. Tak ingin menyesal aku juga meyakini hatiku bahwa yang kulakukan saat itu hanya untuk self reward semata dan sebagai ungkapan rasa syukurku.

Setelah lelah berjalan-jalan dan diakhiri belanja seharian. Kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Tak henti-hentinya aku mengucapkan terimakasih pada Tuhan. Karena hari itu benar-benar membahagiakan dan seakan menjadi momen yang tak terlupakan. Bagaimana tidak, seperti mimpi untukku bisa menghabiskan waktu bersama ayah, ibu, oma juga Mas Yangsa selama satu hari penuh. Kebahagiaanku juga semakin terasa saat kudapati ayah dan ibu juga seakan sudah memberikan restu untuk hubunganku dengan Mas Yangsa. Begitu juga dengan aura kebahagiaan yang terpancar dari wajah Mas Yangsa. Seakan lupa dengan masalahnya, dia sudah terlihat kembali ceria dan bisa kembali tertawa. Namun, semua kembali berubah sendu dalam satu waktu sesaat setelah Mas Yangsa menerima satu panggilan telepon saat itu. "Kasih, maaf kayanya aku gak bisa terus di sini. Aku harus pulang duluan. Situasinya gawat!", ucap Mas Yangsa yang mendadak lemas.

"Kenapa Awi? Ada apa?"

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang