Aku terkejut bukan kepalang, hampir saja plastik roti yang kupegang terjatuh dari genggaman. Apa ini mimpi? Atau memang kenyataan? Di hadapanku ada Mas Yangsa sedang duduk santai sembari bermain catur dengan oma.
"Sudah beli rotinya? Cepat sajikan sekarang, sudah waktunya afternoon tea!", perintah oma kepadaku sambil terus fokus bermain catur dan mengatur strategi. Aku pun bergegas untuk menyiapkan minuman teh dan roti untuk oma sambil terus menerka-nerka bagaimana bisa Mas Yangsa datang dan diterima."Skakmat lagi oma mohon maaf!", terdengar suara Mas Yangsa diiringi tawa isengnya yang khas. Sesaat kemudian terdengar oma ikut tertawa lepas seakan menikmati permainan meskipun sudah dinyatakan kalah. Kuhampiri mereka sambil menyajikan teh dan roti. Sesungguhnya saat itu aku sungguh bingung dengan apa yang terjadi. Kulihat Mas Yangsa yang tersenyum lebar ke arahku. "Ternyata ini cucu oma yang paling cantik yang sering oma ceritakan itu", ucap Mas Yangsa meledekku. "Iya paling cantik karena kan cucu perempuan oma cuma satu", jawab oma santai sambil menunjuk tangannya ke arahku. Aku terperanjat penuh keheranan, apa maksudnya semua ini. "Aww, sakit!". Benar saja, ini nyata dan aku tidak sedang bermimpi. Sontak oma dan Mas Yangsa kompak tertawa bersama saat melihat aku mencubit pipiku sendiri.
Tak ingin aku terus penasaran, Mas Yangsa pun akhirnya menjelaskan. Dia dan oma memang sudah lama kenal. Dunia terasa sempit. Mas Yangsa yang dulu pernah pindah ke luar kota ternyata tinggal bersebelahan rumah alias bertetangga dekat dengan oma di kota Yogyakarta. Sesungguhnya hari itu dia nekat datang lagi ke rumah dengan niat untuk menemuiku. Tapi saat melihat oma yang membuka pintu, akhirnya Mas Yangsa pun baru tahu kalau cucu oma adalah aku. Panjang kali lebar Mas Yangsa dengan sumringah menjelaskan kedekatannya dengan oma. Dia pun seakan mendeklarasi kalau sudah menganggap oma seperti keluarganya sendiri. Mendengar penjelasan dari Mas Yangsa seharusnya aku merasa bahagia karena ada secercah harapan untuk status hubunganku dengannya. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Melihat oma yang begitu baik pada Mas Yangsa dan jauh berbeda sikapnya kepadaku membuat aku merasa envy. Mengapa oma seakan diskriminasi? Meskipun aku paham, wajar saja bila semuanya menyukai dan nyaman dengan Mas Yangsa, karena dia anak yang supel, pengertian dan yang terpenting paling bisa mengambil hati siapa saja. Sedangkan aku, tak lebih dari manusia yang kaku dan tak mudah bersikap manis sebagaimana mestinya. Sebenarnya bisa saja aku protes langsung kepada oma, tapi aku sadar diri, aku tak kuasa untuk bicara dan cenderung takut mengutarakan apa yang aku rasa.
Semenjak momen di hari itu, hubunganku dan Mas Yangsa bisa dikatakan kembali bersama. Hariku kembali terasa menyenangkan dan bukan cuma untukku tapi juga oma. Karena tak jarang Mas Yangsa datang ke rumah bukan untuk menemuiku tapi untuk sekedar menemani oma. Kuingat sekali, di suatu hari Mas Yangsa tidak datang ke rumah seperti biasanya. Sejujurnya aku merasa resah menunggunya karena ingin selalu bertemu dengannya. Dan faktanya bukan cuma aku yang bertanya-tanya. Kulihat dengan jelas gelagat oma juga menunggu kedatangan Mas Yangsa yang sudah hampir sore hari tak juga terlihat batang hidungnya. "Hari ini, Mas Yangsa tidak datang ya? Apa You sudah coba hubungi dia?", tanya oma padaku saat aku menyajikan minuman teh untuknya. "Belum, oma. Kebetulan ponsel Mas Yangsa hilang dan belum ada gantinya. Jadi, aku gak bisa hubungi dia". Mendengar jawabanku, terlihat oma langsung berdiri dan menyuruhku menghubungi taksi saat itu juga. Kemudian oma memintaku menemaninya tanpa menjelaskan mau pergi kemana. Kuturuti perintah oma saat itu, karena aku khawatir kalau membiarkannya pergi sendiri begitu saja. Ternyata saat itu oma mengajakku pergi ke store handphone dan berniat membeli ponsel baru untuk Mas Yangsa. Seketika aku terharu dan tak menyangka. Sampai sebegitunya oma memikirkan dan menyayangi Mas Yangsa. Melihat mataku yang berkaca-kaca oma tiba-tiba menatapku, "Jangan cemburu ya! You kan sudah dapat duluan, itu sudah dipakai juga kan ponsel hadiah kelulusan?", ucap oma dengan santai. Aku kembali terperangah dan sesaat kemudian baru sadar. Hadiah kelulusan yang aku terima saat itu ternyata juga merupakan pemberian dari oma. Aku tersenyum menatap oma. Selama ini oma terlihat garang kepadaku, tapi sebenarnya dia juga menyayangiku. Seharusnya aku bisa merasakan itu. Tapi, rasa takutku padanya malah membuatku kikuk dan tak bisa bersikap sebagaimana mestinya.
Keesokan hari nya, pagi itu seperti biasa aku menemani oma menyirami tanaman di pekarangan depan rumah. Tiba-tiba terdengar suara khas dari Mas Yangsa yang datang sambil mengucapkan salam pada aku dan oma. Tanpa menunggu lama, aku langsung membuka pagar dan terlihat oma begitu bersemangat menyambut kedatangan Mas Yangsa.
"You, kemarin ke mana? Mengapa tidak datang kemari?", tanya oma saat Mas Yangsa mencium tangannya. Dengan cengar-cengir Mas Yangsa mengatakan kemarin dia absen karena ada kerja bakti di rumahnya. Mas Yangsa juga meminta maaf karena tidak bisa mengabari sebelumnya. Kemudian tanpa diperintah Mas Yangsa langsung membantu oma menyirami tanaman dan merapihkan pekarangan rumah. Terpancar senyum di wajah oma saat melihat perlakuan manis dari Mas Yangsa. Wajar saja rasanya bila oma begitu menyukai dan menyayanginya. Seakan menjadi teladan, seharusnya aku pun mulai belajar untuk bisa bersikap manis dan menyenangkan hati seperti layaknya Mas Yangsa."Ini buat You, jangan menghilang tanpa kabar lagi ya!", ucap oma pada Mas Yangsa sembari memberikan ponsel yang baru kemarin dibeli. Sejenak Mas Yangsa terdiam dan mungkin merasa bingung sendiri. "Tidak usah Oma, terimakasih", jawab Mas Yangsa yang mungkin merasa tidak enak dengan pemberian cuma-cuma dari oma. "You pakai ini sekarang. Kembalikan nanti kalau sudah sukses dan jadi orang", ucap oma yang tak ingin pemberiannya ditolak lagi. Mas Yangsa lalu menatapku. Dengan tersenyum aku pun mengangguk seakan memberi isyarat agar Mas Yangsa setuju dan mau menerima pemberian itu. "Baiklah, terima kasih ya oma", ucap Mas Yangsa dengan wajah terharu menahan air mata. Kami pun kembali melakukan aktifitas bersama seperti biasanya. Di sore hari setelah kembali mengalahkan oma bermain catur, Mas Yangsa pamit pulang ke rumahnya dengan tak henti mengucapkan terimakasih. Oma hanya tertawa dan mengingatkan Mas Yangsa untuk datang lagi esok hari. "Siap oma, saya pamit ya. Sampai ketemu besok oma!", ucap Mas Yangsa melambaikan tangan dan kemudian beranjak pergi.
Di malam harinya, aku pergi ke kamar oma untuk memanggilnya makan malam. Tapi, beberapa kali kuketuk pintu oma tak juga menjawabnya. Akhirnya kuberanikan diri untuk masuk ke kamarnya. Kulihat oma sedang tersandar di kursi. Kupanggil beberapa kali, oma yang biasanya bawel dan terkesan berisik mendadak diam seribu bahasa. "Oma, kenapa?", tanyaku khawatir padanya. Saat aku memegang tangan oma, aku terkejut. Suhu badannya terasa panas luar biasa. Ya, Tuhan. Oma mungkin sedang tidak baik-baik saja. Aku berlari ke kamarku mengambil ponsel. Secara spontan langsung kulakukan panggilan telepon kepada Mas Yangsa.
"Awi, tolong!!! Ini oma kenapa???"
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Romance"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...