PMS

64 45 0
                                    

Sepanjang perjalanan panjangku hari itu aku terus kepikiran dengan Mas Yangsa. Aku takut dan khawatir telah terjadi sesuatu padanya. Dalam hati aku terus berdoa berharap dia baik-baik saja dan Tuhan selalu melindunginya. Perasaanku saat itu begitu resah dan gelisah. Sampai kemudian aku benar-benar tiba di tujuanku dan sesaat pesawat telah landing saat itu. Aku langsung buru-buru mengaktifkan ponselku dan langsung ingin menghubungi Mas Yangsa. Begitu ponselku aktif kulihat banyak notifikasi pesan masuk darinya. Dengan gemetaran kubuka semua pesan yang telah dia kirimkan kepadaku sebelumnya. Namun, mendadak mataku terbelalak saat kubaca pesan demi pesan dari Mas Yangsa. "Apa ini maksudnya? Dasar bikin cemas saja", gerutuku dalam hati saat itu. Tak kusangka perasaan khawatirku langsung berubah jadi kesal sesaat kubaca semua pesan yang ada. Isinya kurang lebih hanya permintaan maaf dan penyesalan teramat dalam karena dia tak bisa menepati janjinya. Alasan yang dia berikan cukup klasik. Iya kukatakan klasik dan malah cenderung jadi menyebalkan. "Dulce maaf aku ketiduran. Aku sudah set alarm tapi aku malah lanjut tidur dan gak kebangun. Maaf aku gak bisa anter kamu. Maafin aku!". Iya itu alasannya KETIDURAN. Mohon maaf jadi emosi dan capslock jebol auto keluar lagi. Sebab aku sungguh kesal dan amat sangat dongkol di hati saat kuingat lagi kejadian di hari itu. Kurasa itu kali pertama sikap keteledoran Mas Yangsa yang membuatku gondok dan susah lupa. Bagaimana tidak? Meskipun sebenarnya tak ada yang salah dengan alasan dia yang ketiduran. Aku bisa memakluminya karena itu normal dan manusiawi. Namun, caranya saat itulah yang benar-benar tidak bisa kuterima. Bisa-bisanya dia membuatku khawatir berlebihan dan cemas juga gelisah sepanjang perjalanan. Seakan tega, dia yang sudah berjanji lalu dia yang juga mengingkari.

"Adik butuh tidur. Tolong jangan bangunin adik sampai besok pagi ya!", pintaku dengan wajah memelas pada ayah dan ibu sesaat sampai asrama yang kutempati saat kuliah. Terlihat mereka saling pandang dan mungkin bingung dengan sikapku yang sudah mau tidur sebelum waktunya. Tahu aku begitu karena merasa lelah, ayah dan ibu pun menuruti permintaanku dengan benar-benar tidak menggangguku saat itu. Seakan melampiaskan perasaan stressku selama perjalanan karena khawatir memikirkan Mas Yangsa, aku benar-benar tidur dari sore sampai keesokan harinya. Seperti hibernasi, aku terbangun pun karena tak sengaja mendengar ponselku berdering beberapa kali dan menunjukkan panggilan telepon dari Mas Yangsa. Kali itu seakan dia yang gantian mencemaskanku.
Tanpa kusadari mungkin karena kesal, aku belum sempat membalas pesannya atau mengabarinya saat itu.

"MAAF AKU JUGA KETIDURAN! GAK SEMPET NGABARIN KAMU!". Dengan capslock jebol dan perasaan dongkol kukirimkan pesan itu kepada Mas Yangsa saat itu. Tak butuh waktu lama, dia seakan tahu aku marah dan langsung mengirimiku balasan pesan yang berisi ribuan kata maaf dan jutaan kata penyesalan. Entah mengapa aku merasa tak ingin lagi mendengar apapun alasan yang dia berikan. Suasana hatiku pun jadi seakan berubah, cenderung ingin terus marah dan ingin diberi ruang dan waktu untuk sendiri. Padahal jelas-jelas aku tahu, sebenarnya tak baik untukku berlarut-larut dalam emosi. Namun, lagi-lagi aku kalah dengan suasana hatiku saat itu. Tiba-tiba saja aku merasa begitu marah. Lalu beberapa waktu kemudian saat mendengar lagu galau, aku jadi mudah menangis seketika. Sudah 2 hari aku seakan uring-uringan. Selama itu juga aku terkesan malas berinteraksi dengan orang-orang. Begitu juga kepada Mas Yangsa. Tak seperti biasanya, aku seakan sengaja membiarkan ponselku sampai lowbat dan tak mengaktifkannya. Bahkan aku juga sampai off sosial media tanpa jelas alasannya. Ada apa denganku? Apa aku sudah mulai gila? Seketika aku pun merasa ada yang tak beres denganku saat itu.

Sampai akhirnya di hari itu. Kak Miraj datang menemui aku ayah dan ibu. Setelah sekian lama tak bertemu, kak Miraj yang super sibuk akhirnya bisa kembali berkumpul bersama di tengah-tengah kami saat itu. Aku yang sudah sangat rindu dengan sosok kak Miraj tanpa malu terus menggelendot padanya. Ayah dan ibu tertawa melihat tingkahku. "Senang ya kakak datang. Adik ini dari kemarin agak lain soalnya, keliatan sekali uring-uringannya", ucap ibu mengadu pada kak Miraj sembari menggodaku. "Kenapa adik, ada masalah kah? Banyak pikiran kayanya ya?", tanya kak Miraj tak mau kalah juga menggodaku. "Apasih! Gak tau adik juga kenapa bawaannya pengen marah-marah. Kayanya udah mulai gila kali ya!", jawabku dengan merengek manja. Mendengar jawabanku yang ceplas-ceplos, Kak Miraj langsung memperingatkan sembari mencubit hidungku. "Jangan sembarangan kalau ngomong. Nanti kalau kejadian kamu baru tau!", ucap Kak Miraj dengan wajah gemas kepadaku. Melihat kelakuan anak-anaknya ayah dan ibu tersenyum dan saling pandang. Mungkin suasana seperti itu yang sudah lama mereka rindukan.

Hari itu dengan formasi lengkap ayah, ibu, kak Miraj dan aku makan malam bersama di Restoran taste Indonesia yang ada di negeri Kanguru. Menjadi kebahagiaan tersendiri untukku karena kami bisa kembali merasakan suasana dinner keluarga yang begitu syahdu. Kami pun saling bercerita bagaimana rutinitas kak Miraj dan bagaimana perjalanan liburan musim panasku yang sudah berlalu. Sampai akhirnya sesaat setelah kami selesai makan terlihat seseorang menghampiri meja makan kami saat itu. Ternyata dia merupakan teman sejawatnya kak Miraj. "Ayah, ibu dan adik kenalin ini Alexander Wijaya, panggil saja Alex. Salah satu sahabat baik kakak ini. Dia asli Indonesia juga dan lagi ambil master psikologi di sini", ucap kak Miraj dengan lengkap memperkenalkan temannya. Dan kemudian kami pun saling berkenalan dan berjabat tangan. Mendengar kak Miraj memperkenalkannya sebagai ahli psikologi entah mengapa saat itu membuatku kemudian jadi penasaran dan tiba-tiba ingin menanyakan dengan apa yang sedang aku alami beberapa hari kebelakang. Rasanya ingin ngobrol panjang mungkin bisa dibilang ingin konsul dadakan dengan apa yang kurasakan. Seakan mengerti kak Miraj pun langsung memberikan nomor kontakku kepada kak Alex saat itu. Dia memintanya untuk dapat menghubungiku dan berharap bisa juga menjadi teman yang baik untukku. Sejujurnya tak ada niat lain saat itu. Selain hanya ingin bertanya dan sekedar sharing tentang apa yang kurasa. Semua berawal dari pemikiranku yang tiba-tiba sering berubah, kukira aku mulai gila. Sampai akhirnya kak Alex dengan tenang mengatakan aku baik-baik saja dan yang kualami tak lebih dari Premenstrual Syndrome (PMS) sehingga mempengaruhi mood dan perubahan suasana hati.

Sedikit lebih tenang dan tak lagi berpikir yang bukan-bukan. Aku pun berusaha untuk bisa berpikir lebih positif. Saat itu aku pun langsung teringat dengan Mas Yangsa. Rasanya sudah salah beberapa waktu lalu aku sudah begitu galak kepadanya. Pasti dia bingung sendiri menghadapi sikapku yang jadi sulit dimengerti. Kukirimkan pesan singkat kepada Mas Yangsa. "Awi apa kabar? Aku kangen", berharap dia segera membalas pesanku. Namun, entah mengapa mungkin karena dia marah padaku atau malas menghadapi mood swingku. Dia seakan acuh tak acuh bahkan terkesan tak memedulikan. Saat aku mengiriminya pesan di pagi hari dia malah terkesan sengaja membalasnya di malam hari. Seharian dia bisa menghilang dengan alasan sibuk melakukan rutinitas dan beberapa pekerjaan. Terkadang dia juga membalas pesanku dengan jawaban singkat. "Ok", "Iya", "Sip" atau semanis-manisnya hanya dibalas dengan emote hati. Sejujurnya yang aku inginkan hanya perhatian darinya. Itu saja sudah cukup untuk membuatku merasa bahagia. Menghadapi sikap Mas Yangsa saat itu akhirnya membuatku kembali menjadi uring-uringan dan kemudian jadi bertanya-tanya.

Apa yang salah? Apa perasaan Mas Yangsa padaku sudah mulai memudar?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang