Serius

34 25 0
                                    

"Hah?", jawabku terperangah. Seketika Mas Yangsa pun tertawa dan kemudian tak hentinya meledekku seperti biasanya. "Cie cie baper nih ye? Sampe gelagapan kayak gitu. Santai Dulce, barusan cuma prank!", ucap Mas Yangsa tertawa sambil terkekeh. "Gak lucu!", teriakku kesal padanya. Saat itu aku benar-benar marah karena merasa bercandanya Mas Yangsa sudah keterlaluan dan tidak menyenangkan. Sadar kembali melakukan kesalahan, Mas Yangsa pun mengejarku yang saat itu berjalan lebih cepat di depannya. "Dulce tunggu, maaf aku cuma bercanda. Gak ada maksud apa-apa", ucap Mas Yangsa kembali memohon maaf kepadaku. Aku hanya terdiam berusaha untuk tak menanggapinya. Lagi dan lagi Mas Yangsa yang iseng kembali membuatku baper dan terbawa emosi. Sebenarnya lelah karena kami bagaikan tom and jerry. Beberapa waktu kami dapat terlihat begitu manis dan romantis yang diiringi canda dan tawa namun sesaat kemudian kami bisa sama-sama mendadak diam dan tak saling bertegur sapa.

"Udah ya ngambeknya", sesaat kami sampai di depan rumahku. Aku masih terdiam tak juga menjawabnya saat itu. Melihat ada mobil ayah dan ibu yang terparkir di depan rumah, Mas Yangsa pun turun dari motornya dan kemudian memintaku untuk mengizinkannya agar dapat turut masuk ke dalam rumah. "Mau ngapain? Gak mau langsung pulang aja?", tanyaku dengan nada jutek pada Mas Yangsa. Terlihat dia hanya tersenyum manis dan memberi isyarat tangan yang mempersilahkan aku untuk jalan duluan. Kupikir Mas Yangsa hanya ingin bertemu lalu pamit dengan orang tuaku. Namun tak disangka sesaat setelah bertemu mereka, Mas Yangsa tiba-tiba meminta waktu untuk mengungkapkan sesuatu kepada ayah dan ibu. "Mohon maaf om dan tante, mungkin kesannya tiba-tiba dan juga mengejutkan. Tapi, saya ke sini datang sendiri, mau minta izin sama om dan tante. Seperti yang semuanya tahu, saya dan Kasih sudah lumayan lama saling mengenal dan bersama-sama. Saya rasa sudah saatnya om dan tante bisa berkenan dan mengizinkan saya mau melangkah ke hubungan yang lebih serius bersama Kasih", ucap Mas Yangsa saat itu dengan penuh keyakinan. Seolah tak menyangka dan mengira dengan apa yang disampaikan Mas Yangsa, ayah ibu dan juga aku pribadi saat itu seakan terperanjat dan sejenak kompak untuk terdiam. Tanpa bilang apa-apa atau bicara denganku sebelumnya aku begitu tak menduga mendadak Mas Yangsa benar-benar menemui ke dua orang tuaku untuk membicarakan hal yang serius.

"Baik, sebagai orang tua tentu kami mau yang terbaik untuk anaknya. Sebenarnya kami tak lagi terkejut bahkan dengan senang hati mengucapkan terimakasih pada Mas Yangsa. Artinya selama ini kalian bersama nyatanya bukan hanya untuk bermain-main semata melainkan ada tujuan untuk melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius nantinya. Itu baik, sangat baik. Kami menyambutnya dengan tangan terbuka. Namun, kamu juga harus tahu. Kasih ini masih punya seorang kakak yang belum juga menikah. Meskipun tidak dilarang untuk mendahului namun di keluarga kami alangkah lebih baik kalau bisa menikah dengan saling berurutan dan tidak saling melangkahi. Coba nanti kita bicarakan kembali ya, terutama dengan kakak yang saat ini masih terlihat sendiri dan mungkin belum mempunyai pasangan", ucap ayah bijak dan berusaha menjelaskan apa adanya. Mendengar jawaban dari ayah itu terlihat Mas Yangsa berusaha tegar untuk menerima. Namun, dia juga seakan lega karena sudah menyampaikan keinginannya, meskipun harus tetap menunggu dengan segala kenyataan dan keputusan yang mungkin harus lebih dulu dilewati.

"Aku pulang ya, terimakasih kamu udah sabar nunggu aku selama ini. Semoga keinginan kita untuk segera bersama dan menikah bisa dipermudah segala-galanya. Aamiin", ucap Mas Yangsa sesaat aku mengantarnya saat hendak pulang setelah menemui ayah dan ibu. Aku hanya tersenyum sembari mengangguk saat itu. Masih merasa tak menyangka dengan kejutan tiba-tiba yang dilakukan Mas Yangsa. Semenjak kutahu dia benar-benar berniat untuk menjalani hubungan serius, aku bertekad untuk tak lagi menuntutnya ini itu atau juga sampai kembali terbawa perasaan dengan banyaknya pertanyaan dari orang-orang. Tak lagi perlu berbagai kata-kata manis nan romantis. Sikap gentleman Mas Yangsa yang langsung menemui ke dua orang tuaku saat itu sudah cukup membuktikan bahwa memang kami saling berjuang untuk melangkah bersama ke masa depan.

"Kring kring kring", pagi itu teleponku berdering menunjukkan panggilan telepon dari Mas Yangsa. Kujawab panggilan itu dengan suara khas baru bangun tidur. Terdengar Mas Yangsa tertawa dan meledekku seketika. "Dulce bangun! Jangan jadi gadis males jam segini masih tidur. Ayo bangun! Biasain dong bangun pagi, biar kalau nanti kita udah nikah kamu gak akan kaget lagi", celetuk Mas Yangsa seraya berusaha membangunkanku. Seketika aku tertawa, seperti ibuku saat itu Mas Yangsa begitu bawel mengomeliku. "Malah ketawa lagi, ayo cepat mandi! Aku jemput kamu pagi ini ya. Kita bakal pergi ke suatu tempat", ucap Mas Yangsa seakan bersemangat. Panggilan itu pun sengaja langsung dia tutup tanpa memberiku kesempatan untuk mengatakan sesuatu atau memberikan sebuah jawaban. Tak ingin mengecewakan Mas Yangsa aku pun mengikuti apa yang dia minta. Dengan segera aku beranjak dari tempat tidurku, lalu bersiap untuk mandi dan kemudian menunggu dia menjemputku. Tak lama Mas Yangsa benar-benar datang dan kami pun langsung berangkat kembali dengan berkendara motor pagi itu. Tanpa menanyakan mau ke mana, aku sebenarnya penasaran dengan kejutan apa lagi yang akan Mas Yangsa berikan. Sampai kami benar-benar tiba di sebuah showroom mobil. Dengan penuh semangat Mas Yangsa menuntunku untuk turut masuk bersamanya.

Saat itu kami disambut beberapa orang yang kemungkinan besar sudah sepakat untuk melakukan janji temu sebelumnya. Hal tersebut terlihat dari mereka yang langsung saja mengarahkan Mas Yangsa untuk melihat ke sebuah mobil tipe sedan keluaran terbaru. "Kamu suka gak yang ini?", tanya Mas Yangsa dengan wajah sumringah kepadaku. Saat itu aku yang masih bingung sendiri, menerka-nerka apa yang sebenarnya akan terjadi. Melihatku bingung Mas Yangsa pun terus terkekeh seakan girang sendiri. Kemudian dia pun berbisik kepadaku, "Tabungan kita udah cukup beli mobil itu. Sekarang kemana-kemana kita gak usah panas-panasan naik motor lagi", ucap Mas Yangsa dengan penuh antusias. Sejenak aku berpikir, kalau ditanya bagaimana perasaanku saat itu, tak bisa dipungkiri memang aku pun merasa senang. Namun, hati kecilku seakan juga bicara. Kalau memang tabungan itu sudah dirasa cukup apa tak sebaiknya bisa dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih utama. Misalnya saja untuk biaya membeli rumah meskipun hanya yang sederhana atau mungkin bisa untuk biaya menikah. Aku berbisik pelan pada Mas Yangsa. Namun, bukannya terima dengan saran yang kuberikan. Mas Yangsa malah terlihat tak senang dengan memasang tampang yang cukup kesal. Aku tersenyum memandangi Mas Yangsa. Andaikan saja itu murni uangnya. Aku pasti tak akan pernah mempermasalahkannya. Namun, mengapa aku mengutarakan apa yang kupikirkan karena sejak awal aku dan Mas Yangsa memang sepakat untuk menabung bersama dari masing-masing penghasilan dan jerih payah kami berdua. Tujuan awal tabungan kami pun untuk membeli rumah dan biaya menikah. Entah mengapa Mas Yangsa tiba-tiba tergoda malah membeli barang yang bukan menjadi tujuan kami sebenarnya. "Iyaudah sih, kamu ikutin aja dulu yang aku mau. Aku capek kita selalu diledek konten kreator receh karena kemana-mana cuma naik motor", pinta Mas Yangsa dengan mengaktifkan mode merengek bagaikan anak kecil. Mendengarnya aku kembali geleng-geleng kepala. Bagaikan tak belajar dari kesalahan yang sama. Mas Yangsa seakan kembali termakan omongan orang-orang dan kembali haus akan pujian. Seakan tak mengerti Mas Yangsa terus saja mendesakku saat itu untuk dapat menuruti keinginannya. Berulang kali dia terus bertanya kepadaku.

"Dulce, jadi gimana? Setuju ya kita beli mobil baru itu?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang