Kapan Nikah?

32 25 0
                                    

"Hahaha, kok tiba-tiba kamu nanya kayak gitu juga sih? Hayo, kepikiran ya? Kan kamu sendiri yang bilang jangan kebawa perasaan sama omongan-omongan netizen di luaran sana", ucap Mas Yangsa sembari tertawa dan meledekku. Seketika aku jadi terdiam pada waktu itu. Entah benar atau salah aku pun tak mengerti mengapa aku bisa begitu terbawa perasaan dan tak bisa berhenti memikirkan pertanyaan-pertanyaan menjurus itu. "Sudah ya bapernya, sekarang kita mulai bikin video kontennya", ajak Mas Yangsa sembari menyemangatiku. Kuingat sekali hari itu memang jadwalnya kami untuk membuat konten video bersama. Seakan tak kehabisan banyak ide, muatan video konten hari itu bertema "Truth or Dare".  Sejujurnya saat itu aku sedang tak mood dan tak enak hati. Namun seakan sudah terbiasa dan dituntut untuk selalu terlihat happy, di depan kamera aku dan Mas Yangsa benar-benar harus bisa menunjukkan ekspresi yang bahagia dan ceria meskipun yang terjadi di dunia sebenarnya aku sedang merasa galau gundah gulana. "Giliran kamu, Truth or Dare", tanya Mas Yangsa kepadaku. Dengan berusaha menunjukkan ekspresi yang selalu ceria aku pun memilih Truth atau menyampaikan suatu kejujuran. Dan untuk pertanyaan yang harus kujawab saat itu berasal dari berbagai komentar netizen yang dipilih secara acak.

"Apa kamu yakin sama Mas Yangsa? Kira-kira tujuan masa depan kalian apa?", ucap Mas Yangsa mewakili pertanyaan netizen yang ada. Aku yang sebelumnya terlihat bahagia dan berusaha untuk ceria mendadak jadi salah tingkah dan seakan tak bisa menyembunyikan perasaan tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang demikian. "Gak jadi deh, aku mau Dare aja", jawabku dengan nada datar. Seketika Mas Yangsa langsung mengomeliku saat itu juga. Suasana yang awalnya seru-seruan mendadak berubah menjadi momen adu argumen karena perbedaannya pandangan antara aku dan Mas Yangsa. Hal itu bermula dari dia yang terlihat tidak senang saat aku tak ingin menjawab pertanyaan itu. Setelah mendesak untuk aku dapat menjawabnya, sesaat kemudian Mas Yangsa malah terlihat tidak setuju dengan isi pemikiranku. Kukatakan secara gamblang aku kurang yakin dengan Mas Yangsa dan masa depan kami berdua. Hal itu berdasar dari gelagatnya yang tak pernah menunjukkan sikap serius kepadaku. "Kok bisa kamu bilang begitu? Masa kamu gak yakin sama masa depan kita? Aku serius kok. Tapi emang belum saatnya kita bahas itu sekarang-sekarang. Makanya aku keliatan santai tapi bukan berarti aku gak punya tujuan!", ucap Mas Yangsa dengan nada kesal. Aku hanya tersenyum kecut, seketika aku jadi merasa malas dan tidak mood untuk melanjutkan kegiatan hari itu.

"Kamu kenapa sih? Aneh banget. Gak asyik kayak biasanya, lagi pms bukan?", celetuk Mas Yangsa kepadaku sesaat kami menyelesaikan pembuatan konten video. Aku hanya menggeleng dan malas menjawabnya. Melihatku yang seakan sulit dimengerti Mas Yangsa pun sontak terlihat tak kuat menahan emosi. "Apaan sih? Ditanya baik-baik malah diam aja. Aku ada salah apa? Coba cerita, jangan dipendem bisa?", tanya Mas Yangsa kembali mencoba untuk mengajakku bicara. "Gak kenapa-kenapa kok. Aku baik-baik aja. Udah selesai kan? Bisa kita pulang sekarang?", ucapku dengan nada datar. Terlihat Mas Yangsa mulai geram dengan sikapku yang begitu. Tak ingin terjadi keributan, dia pun berusaha untuk tetap bersabar menghadapi pola tingkahku yang tidak karuan. "Kita makan dulu ya? Kamu mau makan apa?", tanya Mas Yangsa mencoba membujukku pelan. "Terserah!", jawabku datar. Seketika Mas Yangsa beberapa kali menarik nafas. "Mohon bersabar, ini ujian, mohon bersabar, ini ujian", terdengar berulang kali Mas Yangsa mengatakan kalimat demikian. Awalnya aku berusaha untuk tak mengindahkannya. Namun, mendengarnya terus mengatakan kalimat itu aku pun jadi tak kuat untuk menahan tawa. "Nahhh, akhirnyaaa. Bisa ketawa juga! Sampai sport jantung aku dibuatnya", celetuk Mas Yangsa kembali sesaat melihat aku tergelak menertawakannya.

Setelah berusaha untuk aktif membuat suasana hatiku kembali kondusif, Mas Yangsa pun terlihat terus berupaya untuk menyenangkanku dengan tiba-tiba mengajak makan di restoran cepat saji favoritku. Tak perlu waktu lama, aku pun langsung mengiyakannya dan tersenyum sumringah menyambut ajakannya itu. Rasanya sudah begitu lama tak pergi berdua ke tempat keramaian yang ada. Alasannya karena seringkali kami dibuat tak nyaman saat bertemu dengan banyak orang. Namun seakan hari itu jadi pengecualian, tanpa pikir panjang aku dan Mas Yangsa pun benar-benar pergi ke Restoran Cepat Saji yang dulu biasa kami kunjungi. Setibanya di sana kami pun memesan makanan dan minuman favorit kami dan menikmati suasana sembari teringat masa-masa pacaran jaman dulu. Selayaknya pasangan yang tengah bucin, kami pun asyik mengobrol dan bercanda sembari suap-suapan es krim. Namun, momen manis itu tak berlangsung lama. Sampai akhirnya meja makan kami didatangi beberapa orang yang ternyata sudah lama memperhatikan juga merekam kami secara diam-diam. "Hai Kasih, hallo Mas Yangsa. Kita boleh minta foto sama-sama ya?", tanya salah satu perempuan yang mewakili segerombolan orang yang menghampiri kami saat itu. Tak dapat menolaknya kami pun hanya mengangguk sembari berusaha untuk tersenyum. Dengan bergantian beberapa kali kami pun meladeni permintaan foto mereka semua. Sampai akhirnya ada seorang "emak-emak" mencubitku dan seakan iseng menanyakan sesuatu seraya menggoda. "Kapan nikah? Jangan lama-lama berduaan terus ya. Pacaran kan dosa!". Mendengarnya saat itu seketika Mas Yangsa hanya tertawa dan mengangguk-angguk saja. Entah mengapa berbeda denganku yang jadi seakan gemas dan kembali uring-uringan terbawa pertanyaan juga suasana ramai yang ada. "Doain aja ya. Kita memang lagi ngantur rencana. Semoga jadi lancar ya semuanya", jawabku tanpa terduga. *Jleb, seketika Mas Yangsa menatapku seakan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. Terlihat beberapa kali dia mengerutkan dahinya kemudian memperlihatkan wajah bingung juga bertanya-bertanya.

"Dulce, kok tadi tiba-tiba kamu bilang begitu?", tanya Mas Yangsa pelan sesaat kami sedang berjalan pulang. Aku hanya tersenyum tipis menatapnya waktu itu. Kupikir Mas Yangsa akan peka dengan ucapanku. Namun, nyatanya saat itu dia seakan tak juga mengerti dan bahkan sengaja bertanya dengan polosnya kepadaku. Tak ingin suasana kembali jadi ribut. Aku pun berusaha menjawabnya dengan santai. "Gak apa-apa kan? Aku cuma capek ditanya ~Kapan Nikah?~ atau pertanyaan sejenis yang menjurus ke arah sana. Jadi supaya gak terus-terusan ditanya demikian. Apa salahnya aku minta mereka untuk mendoakan?". Sejenak Mas Yangsa terdiam mendengar jawaban yang kuutarakan. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Namun kemudian dia berhenti melangkah dan tiba-tiba menatap dalam ke arahku. Sesaat kemudian dia mencoba untuk meraih tanganku dan langsung menggenggamnya. Lalu kemudian Mas Yangsa pun bertanya.

"Dulce, kamu mau gak nikah sama aku?"

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang