Struggle

169 71 2
                                    

"Iya, kamu lanjutkan kuliah di negeri Kanguru!", ucap ayah mempertegas kembali keputusannya. Aku menangis seketika mendengarnya. Hariku yang baru saja terasa menyenangkan mendadak harus kembali suram karena kudapati permintaan sepihak dari ayah dan ibu. Seakan merasakan apa yang kurasa, Mas Yangsa terdiam menatapku saat itu. "Kalau kamu memang benar-benar mencintai Kasih, tunggu dia sampai selesai pendidikan. Tidak perlu lama langsung saja kalian melangsungkan pernikahan!", ucap ayah seakan menantang Mas Yangsa pada malam itu di ruang makan. Mendadak semua terdiam mendengar pernyataan mengejutkan dari ayah. Penafsiran kami bisa saja berbeda. Tapi, yang kutahu memang ayah selalu to the point dan tidak mau bertele-tele saat mengambil suatu keputusan. Kudapati oma tersenyum kepadaku dan Mas Yangsa, seakan yakin kalau semua akan baik-baik saja. "Dengar oma, jalani saja! Waktunya tidak akan terasa kok. Buktikan cinta kalian luar biasa!", ucap oma seakan memberikan afirmasi positif. Sesaat kemudian, Mas Yangsa tersenyum menatapku lalu meminta izin pada ayah untuk juga menyampaikan sesuatu. "Terimakasih om, saya akan buktikan semua akan sesuai dengan apa yang om dan tante harapkan. Saya akan menunggu Kasih sampai dia selesai pendidikan. Selain itu, saya juga akan berusaha untuk memantaskan diri saya agar bisa mendampingi Kasih di masa depan nanti", tegas Mas Yangsa berusaha meyakinkan kami semua. Terlihat Oma kembali tersenyum sembari mengacungkan kedua jempolnya. Sedangkan ayah dan ibu hanya mengangguk seakan setuju dengan ucapan Mas Yangsa. Lantas aku masih terdiam tak bersuara, karena sesungguhnya aku masih belum siap dengan keputusan terbaik yang harus kulalui sebagaimana mestinya. Tapi, melihat kesungguhan hati Mas Yangsa saat itu, aku sedikit tegar karena seakan memiliki harapan indah bersamanya di masa depan.

"Dua minggu lagi adik berangkat ya. Semuanya sudah dipersiapkan.", ucap ayah saat sarapan pagi. Artinya hanya hitungan hari, waktu yang benar-benar tersisa untuk aku berada di dekat Mas Yangsa. Setelahnya mungkin akan terasa lama untuk kami dapat kembali berjumpa. Kukirimkan langsung pesan sendu pada Mas Yangsa. Kukatakan saat itu aku merindukannya dan hatiku masih belum bisa menerima kenyataan yang harus sama-sama kami jalani selanjutnya. Apa hubunganku dan Mas Yangsa akan baik-baik saja. Apa Mas Yangsa akan benar-benar menungguku sampai aku wisuda. Adakah jaminan "Pasti" dari itu semua? Aku lagi-lagi galau dan tak enak rasa. Perasaan cemas berlebihanku pun kembali melanda. Kupikir bertemu Mas Yangsa mungkin adalah obatnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menelponnya saat itu juga dan memintanya untuk segera menemuiku. Kami pun janjian di Toko Buku tempat kami biasa bertemu. Tak lagi kucing-kucingan aku pun memberitahu ayah dan ibu. Aku meminta mereka untuk setidaknya bisa mengerti perasaanku yang akan segera pergi jauh. Akhirnya dengan penuh pertimbangan ayah dan ibu pun mengizinkanku dengan syarat aku diantar jemput oleh mereka. Tak ingin ambil pusing, aku pun langsung mengiyakannya saat itu juga. Sesampai di Toko Buku, ayah dan ibu memintaku untuk lekas pulang dan tak lupa untuk mengabari dengan segera. Aku pun mengangguk setuju dan bergegas pamit untuk menemui Mas Yangsa.

Di Toko Buku itu akhirnya aku kembali bertemu dengan dia. Kami saling pandang dari kejauhan. Aku tak kuasa menahan rasa sedihku. Mengapa cerita cintaku ini begitu rumit bahkan untuk sekedar bertemu dan bersama-sama dengannya pun terasa begitu sulit. Mas Yangsa kemudian menghampiriku dengan berusaha memberikan senyum tegar di wajahnya. "Jangan nangis terus, dasar cengeng!", ucap Mas Yangsa lembut sembari meledekku. Seketika aku berusaha untuk tersenyum juga kepadanya meskipun dengan air mata yang sudah banjir membasahi pipiku. Tak ingin aku terus merasa sedih, Mas Yangsa tiba-tiba memberiku sebuah buku harian dengan cover depannya berupa gambar bunga mawar putih. Saat kubuka halaman pertama ternyata ada tulisan tangan Mas Yangsa di dalamnya. Kubaca baik-baik isinya yang selalu kuingat sampai saat ini.

"Kasih, kamu itu seperti mawar putih. Meskipun berduri tajam tapi terlihat cantik dan suci. Mungkin siapa saja bisa mengagumi kamu, tapi tidak semua orang bisa menggapai dan menggenggammu dengan semudah itu. Karena kamu itu spesial dan yakin kamu akan selalu terjaga dengan baik, kapan pun dan di manapun kamu berada. Mari sama-sama kita berjuang meraih impian kita untuk bersama dan ingat selalu motivasi dari oma untuk membuktikan cinta kita luar biasa. Aku mencintaimu Kasih.".

Ternyata selain pintar Matematika, Mas Yangsa juga pintar merangkai kata-kata indah yang akhirnya memiliki makna penting di hidupku, karena lewat tulisannya itu Mas Yangsa bisa memberiku keyakinan bahwa tujuan kami sama yakni bersama untuk selamanya. Kupeluk erat buku harian yang dia berikan kepadaku itu. Tak lama kemudian Mas Yangsa mengajakku menuliskan harapan dan keinginan yang harus kami wujudkan. Sambil saling melemparkan senyum kami pun merangkai impian indah kami bersama dalam bentuk tulisan. "Pertama, lulus kuliah dan sukses bersama meraih cita-cita. Ke dua menikah, Ke tiga punya rumah yang bisa kita tempati bersama, Ke empat liburan ke Afrika", ucap Mas Yangsa sambil cengar-cengir. "Kok ke Afrika sih?", protesku padanya. "Yaudah, kita keliling Indonesia aja ya. Biar gak jauh-jauh", seloroh Mas Yangsa yang memang senang mengisengiku. Sesaat kemudian kami pun tertawa bersama.

Beberapa hari pun berlalu. Dengan lebih tegar, kuhadapi hari di mana waktunya aku untuk berpisah sementara dengan Mas Yangsa. Saat itu aku sudah lebih yakin, jarak yang jauh dan waktu yang mungkin tak sebentar tidak akan menjadi halangan untuk kami tetap bersama. Hari itu di Bandara jadi tempat aku dan Mas Yangsa terakhir bertemu untuk kemudian berpisah sementara waktu. Kami saling pandang dan saling menguatkan. "Tetap berkabar ya. Jangan menghilang!", bisikku pelan pada Mas Yangsa saat itu. Kulihat dia hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku. Oma yang juga ikut mengantarku, terlihat menepuk-nepuk bahu Mas Yangsa seakan menyemangati kami saat itu. Beberapa kali aku berusaha menyeka air mataku. Sesaat kemudian, ayah dan ibu menghampiri dan mengatakan semua sudah siap dan sudah waktunya aku pergi. Lambaian tangan oma dan Mas Yangsa akhirnya mengiringi keberangkatanku. Tuhan, tolong jaga Mas Yangsa untukku, jangan biarkan cinta kami lekang oleh waktu. Harapanku di dalam hati saat itu.

Setelah memakan waktu kurang lebih 7 jam perjalanan. Akhirnya aku pun tiba di negeri Kanguru. Begitu sampai aku langsung mengaktifkan ponselku untuk mengabari Mas Yangsa saat itu. Ternyata ada beberapa pesan darinya yang belum aku baca, sambil tersenyum aku buka pesan itu namun kemudian aku terperanjat dan seketika dibuat menangis saat kulihat isi pesan darinya, "Kasih, aku mau kita putus! Jangan hubungi aku lagi".

Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba Mas Yangsa ingin mengakhiri hubungan kami begitu saja?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang