Backstreet

282 72 4
                                    

"Baiknya panggil kamu apa ya? Kalau Sayang, Cinta kayanya udah biasa". Tanya Mas Yangsa dengan manja. Sejenak aku berpikir. "Hmm, kayanya aku mau panggil kamu Awi aja ya. Singkatan Ayang Wicaksana". Jawabku santai dan ceplas-ceplos. "Hahaha, dasar alay, yaudah aku panggil kamu Dulce ya, kaya telenovela kesukaan kamu dulu. Tapi, artinya bisa juga Duluan Cengeng. Abis kamu nangis melulu!", kelakar Mas Yangsa sambil meledekku seperti biasanya. Kurang lebih begitulah asal muasal panggilan sayang antara aku dan Mas Yangsa. Hore, akhirnya aku resmi punya pacar dan harapan yang kupanjatkan di umur 17 tahun itu benar-benar menjadi kenyataan. Aku bersyukur karena bagiku Mas Yangsa seperti pacar idaman. Dia baik, penuh kasih sayang dan perhatian. Yang terpenting Mas Yangsa itu sangat bucin kepadaku. Aku begitu merasa beruntung karena dia rela melakukan apa pun untuk sekedar menjaga dan melindungiku.

"Jadi kapan aku boleh ke rumahmu? Kenalan sama ayah dan ibu?", tanya Mas Yangsa kepadaku. Aku terdiam sejenak karena pada akhirnya mendengar juga pertanyaan itu. "Nanti ya Awi, tunggu waktu yang tepat. Aku pasti kenalin kamu sama ayah ibu", jawabku pelan saat itu. Untungnya dia bisa mengerti dengan segala kondisi dan situasi. Dan mulai hari itu, aku berpacaran dengan Mas Yangsa secara sembunyi-sembunyi. Sejujurnya karena aku belum siap mengajaknya untuk kenalan dengan keluargaku, apalagi bertemu mereka dengan membawa label Mas Yangsa adalah pacarku. Rasanya tak akan mungkin ayah dan ibu setuju.

Di pagi hari itu, ponselku yang silent mode, bergetar menunjukkan panggilan telepon dari Mas Yangsa. Aku melihat dulu ke sekeliling rumah. Setelah dirasa aman, kututup pelan-pelan pintu kamarku, lalu aku angkat panggilan itu sembari bersembunyi di dalam selimut. "Iya Awi, ada apa?", tanyaku dengan sedikit berbisik. Mas Yangsa lalu tertawa dan sempat-sempatnya meledekku. "Jangan sok imut, ayo ketemu di depan komplek sekarang. Aku mau kasih kamu sesuatu", seru Mas Yangsa kepadaku dan langsung menutup panggilan telepon itu. Entah karena pulsa dia yang habis atau sengaja membuatku penasaran. Aku yang belum mandi saat itu langsung panik tidak karuan. Bagaimana ini, aku mau bertemu pacar tapi penampilanku begitu berantakan. Seketika aku langsung mandi koboi, mengganti baju yang sedikit rapi, dan berdandan tipis ala barbie. Tanpa aku sadar sudah sekitar 2 jam aku baru siap dan selesai. Seketika aku berlari menuju ke depan komplek. Kulihat dari jauh, Mas Yangsa ternyata masih sabar menungguku meskipun sangat memakan waktu. Kuhampiri Mas Yangsa yang saat itu masih bisa tertawa geli karena melihatku panik sendiri. Seperti biasa dia memberiku kejutan, kali ini benar-benar sesuatu yang di luar dugaan."Nih, aku bawain kamu ini, dirawat ya. Kaya kamu sayang sama aku", ucap Mas Yangsa menggodaku. Kulihat kotak yang dia beri kepadaku. "Apa ini, hamster gembul yang begitu lucu", aku begitu senang dengan kejutan manis di pagi itu. Kubawa pulang hamster lucu yang sepakat kami beri nama Bulbul itu, aku berjanji akan merawatnya dengan sepenuh jiwaku. Mas Yangsa memang dari dulu selalu juara menyenangkan hatiku. Kelakuannya yang out of the box seringkali membuatku tersipu malu dan merasa bahagia sepanjang waktu. Kalaupun aku sedang ngambek Mas Yangsa paling bisa membuat moodku kembali ceria. Sikapnya yang begitu manis nan romantis membuatku selalu merasa tak bisa hidup tanpanya.

Ada kisah yang tak akan pernah aku dan Mas Yangsa lupa, malah seringkali itu menjadi canda tawa saat sesekali kami mengingatnya. Satu waktu, Mas Yangsa tiba-tiba tak datang menjemputku padahal kita sudah berjanji untuk bertemu di Toko Buku. Kulihat layar ponselku saat itu, tak ada kabar dari Mas Yangsa. Beberapa kali kucoba meneleponnya malah ponselnya tidak bisa dihubungi seperti biasanya. Hampir 2 jam aku menunggunya di sana. Tak ada kepastian dan tanda-tanda dia akan datang juga. Akhirnya kuputuskan saja untuk pulang sendiri dan berharap bisa berpapasan dengan Mas Yangsa. Dengan menahan rasa kecewa, aku memutuskan untuk segera pergi. Tapi, tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar suara klason motor yang berbunyi. Ternyata itu Mas Yangsa yang datang dengan mengendarai motor entah punya siapa. Mas Yangsa lalu menghampiriku dan langsung meminta maaf saat itu juga. Dia bilang kalau ponselnya hilang dan raib entah ke mana, lalu dia panik sendiri mencari-cari ponselnya dan baru sadar kalau dia juga sudah ada janji denganku. Akhirnya dia meminjam motor temannya untuk bisa segera menjemputku saat itu.

Sejenak aku terdiam, berusaha mencerna alasan yang dijelaskan Mas Yangsa. Pantas saja ponselnya tidak aktif. Mungkin memang benar yang dia katakan dan sudah seharusnya aku percaya. Kulihat Mas Yangsa yang masih keringat dingin, sejujurnya aku begitu merasa kasihan padanya. "Kamu sudah makan? Kita makan dulu ya.", pintaku pada Mas Yangsa. Tak lama kami pun makan di restoran cepat saji yang letaknya tak jauh dari Toko Buku. Terlihat Mas Yangsa makan dengan tubuh gemetar, entah karena dia lapar atau memang khawatir memikirkan ponselnya yang hilang. Pelan-pelan aku berusaha untuk menenangkannya sesekali juga mengajaknya bercanda untuk sekedar menghiburnya. "Gak apa-apa ponsel hilang masih banyak gantinya. Tapi kalau cinta kita yang hilang, kamu nanti bagaimana?", ucapku pelan untuk mencairkan suasana. "Gak mau, makanya aku buru-buru jemput kamu. Takut kamu ikutan hilang juga", jawab Mas Yangsa yang sudah bisa kembali tertawa .

Asyik bertemu dengan Mas Yangsa, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan hampir malam. Seketika suasana kembali menjadi panik, karena sudah seharusnya aku di rumah menyambut ayah dan ibu. "Bagaimana ini Awi, aku harus segera pulang". Berusaha untuk tetap tenang, Mas Yangsa kemudian bergantian menenangkanku. Kami pun langsung bergegas untuk pulang saat itu. Sampai di parkiran depan, Mas Yangsa mengajakku naik ke motor untuk segera pulang bersamanya. Aku jadi panik dan bingung sendiri. Apa tidak apa-apa kalau aku boncengan motor dengan Mas Yangsa. Selama ini dia memang sering mengantarku dan menjemputku, tapi hanya dengan angkutan umum dan tak pernah selain itu. Kupikir situasinya saat itu berbeda, akhirnya aku setuju untuk pulang bersamanya, kami pun berkendara motor dengan terburu-buru.

Sepanjang jalan aku cemas dan gemetaran. Takut kalau ketahuan ayah dan ibu saat naik motor berduaan. Tak kusadari Mas Yangsa yang mungkin juga panik, malah mengantarku benar-benar sampai di depan rumah bukan di depan komplek seperti biasanya. Aku turun dari motor dengan penuh was-was. Dengan berbisik kuucapkan terimakasih pada Mas Yangsa. Kuberi aba-aba lambaian tangan agar dia segera pulang saat itu juga. Tapi, sialnya motor yang dikendarai itu tiba-tiba mogok dan berhenti tepat di depan rumah. Beberapa kali Mas Yangsa berusaha menstarter kembali motornya. Tapi, seakan tak bisa diajak kerjasama motor itu tetap tidak mau menyala.

"ADIK??? KAMU BARU PULANG??? DENGAN SIAPA???", terdengar suara ayah datang menghampiri aku dan Mas Yangsa.

Ya, Tuhan tolong. Aku harus bagaimana?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang