Red Flag

107 47 1
                                    

"Wah, mamas datang. Bapak, sini cepat! Itu mamas sudah pulang", terdengar suara adik kecil Mas Yangsa begitu sumringah menyambut kedatangan kami saat itu. Dengan setengah berlari Mas Yangsa menghampiri lalu memeluknya. "Mamas ini siapa? Rambutnya lucu kaya kartun Dara The Explorer ya", tanya adik kecil itu polos kepadaku. Dengan senyum  lebar di wajahnya kemudian Mas Yangsa memperkenalkanku pada bapak dan Kristal si adik kecilnya yang begitu lucu itu. "Oh iya, kenalin ini Rasakasih Kamelia atau sering disapa Kasih. Dia pacarku", ucap Mas Yangsa dengan bangga. Seketika aku terkejut tak menyangka. Tanpa aba-aba Mas Yangsa seakan begitu bar-bar langsung memperkenalkanku sebagai pacarnya. Berbeda dengan bayanganku, saat itu bapak dan adik kecil Mas Yangsa langsung menyambutku dengan hangat. Sesaat kemudian mempersilahkan aku untuk masuk ke rumahnya dan memperlakukanku seakan kami sudah lama kenal dan sudah sering bertemu.

"Beginilah adanya nona, berantakan ya rumahnya. Mohon maaf kalau kamu kaget dan tidak terbiasa", ucap bapak Mas Yangsa merendah sembari mempersilahkan aku untuk duduk. "Oh iya, makasih pak. Gak kok, sama aja di rumah Kasih juga sama", jawabku pelan pada bapak Mas Yangsa. "Sama apa? Sama berantakan apa sama miskinnya?", tiba-tiba terdengar suara perempuan setengah berteriak terlihat datang dari dalam kamar. Ternyata dia Megan, si adik tiri Mas Yangsa. "Jaga omongan lu! Dateng-dateng langsung bicara gak sopan!", ucap Mas Yangsa dengan nada kesal. Megan datang menghampiri kami saat itu dengan memasang wajah tak bersahabat. Dia juga terlihat memandangiku dengan sengaja dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seketika suasana menjadi akward. Bapak Mas Yangsa yang sebelumnya terlihat hangat menyambutku, seketika hanya bisa terdiam sambil mengelus-elus dadanya.

"Tasnya bagus. Beli dimana?", tanya Megan sambil memegang tas yang kupegang. Aku hanya tersenyum kaku, sengaja tak ingin menjawabnya saat itu. Namun tiba-tiba Mas Yangsa terlihat mengambil peranan dan malah seakan terpancing untuk meladeni pertanyaan Megan. "Baguslah, kenapa emangnya ada masalah?". Mendengar ucapan Mas Yangsa itu, sontak Megan langsung bertolak pinggang dan kembali bicara dengan penuh percaya diri. "Ohhh, lu yang beliin? Hebat banget. Buat orang lain aja lu bela-belain. Giliran saudara sendiri, boro-boro lu utamain!", ucap Megan dengan emosi. Seketika aku terkejut mendengar ucapan adik tiri Mas Yangsa itu. Sejujurnya aku langsung merasa kesal pada dia yang sungguh tak sopan bicara seenaknya. Jelas-jelas tas itu kubeli dengan jerih payahku sendiri. Ingin rasanya aku mengatakan dan mematahkan omongannya saat itu. Namun, lidahku mendadak kelu seakan tak bisa berkata-kata. Padahal kenyataannya selama pacaran dengan Mas Yangsa aku selalu berusaha untuk tidak menjadi beban. Bahkan saat pergi bersama untuk sekedar makan dan jalan kami terbiasa untuk bayar masing-masing sendiri malah mungkin bisa dibilang lebih sering aku juga yang membayari.

"Bukan gitu. Dasar sok tau lu!", jawab Mas Yangsa kembali mengambil peranan untuk menjawab ocehan Megan. Terlihat situasinya mulai panas. Mas Yangsa dan Megan terlihat beberapa kali saling adu mulut. "Gua gak mau tau. Pokoknya gua mau motor baru!", ucap Megan dengan melotot menatap Mas Yangsa. Tidak ingin ikut terpancing emosi dan akhirnya membuat keributan yang tidak berarti. Saat itu aku pun lebih memilih untuk diam, sembari berbisik beberapa kali menenangkan Mas Yangsa yang terlihat sudah sangat geram dan gahar sendiri dengan kelakuan adik tirinya itu."Sudah Awi, sabar. Jangan marah-marah lagi". Sesaat kemudian, tanpa berpamitan Megan pun pergi meninggalkan kami. Lalu tiba-tiba "klontang" terdengar suara Megan seakan menendang keras kaleng yang ada di teras rumah. Terlihat bapak Mas Yangsa terkejut lalu duduk bersandar sambil terus mengelus-elus dadanya. "Woy, dasar anak durhaka!", teriak Mas Yangsa sembari berlari mengejarnya. Namun, tak didapati karena Megan sudah berlalu pergi.

Sejujurnya situasi saat itu sangat membuatku merasa tak nyaman. Tak ingin berlama-lama aku pun pelan-pelan mengutarakan keinginanku untuk segera beranjak pulang. "Awi, sudah hampir malam. Aku boleh pamit ya?". Mas Yangsa pun kembali memegang tanganku dan terlihat tak enak hati dengan apa yang terjadi. "Maaf ya kalau Megan udah keterlaluan", ucap Mas Yangsa dengan wajah menyesal sesaat akan mengantarku pulang. Berulangkali dia meminta maaf dan menanyakan bagaimana perasaanku. Memastikan apa aku tetap baik-baik saja saat itu. Aku hanya tersenyum memandangi Mas Yangsa karena seakan masih terperanjat dengan suasana panas yang terjadi sebelumnya. Saat itu juga aku jadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Kurang lebih begitulah kesan pertama aku bertemu keluarga Mas Yangsa. Awalnya aku begitu merasa senang saat pertama kali bertemu bapak dan Kristal, adik kecil Mas Yangsa. Aku bersyukur dan mengucap terimakasih karena mereka begitu hangat menyambutku dengan tangan terbuka. Namun, berbeda saat aku berhadapan langsung dengan Megan si adik tiri Mas Yangsa yang ternyata sikapnya sungguh luar biasa. Seketika aku bergidik ngeri menghadapi pola tingkah dia yang urakan dan seenaknya sendiri.

"Kamu dengar aku gak sih? Kok diam aja! Kamu marah?", tanya Mas Yangsa mulai terlihat kesal sendiri. Aku hanya menggeleng saat itu. Sejujurnya banyak yang ingin aku sampaikan kepadanya. Namun, aku takut malah jadi berdampak buruk ke depannya pada hubunganku dan Mas Yangsa. Apalagi saat aku membayangkan kembali sikap tidak menyenangkan dari Megan. Setiap kali kuingat kata-kata nyelekit yang terlontar dari mulut adik tiri Mas Yangsa itu, begitu terasa sakit di hati dan membuatku susah lupa. Namun, tak ingin membuat hati Mas Yangsa terluka. Aku sengaja diam dan memendam perasaan itu begitu saja. Mas Yangsa terus mendesakku seakan tak mengerti suasana hatiku saat itu. Dia terus bertanya apa yang aku rasa. Lama-lama kesabaranku pun terkikis juga.

"Bisa gak sih kamu gak terus-terusan nanyain apa yang aku rasa? Kamu pikir aja sendiri! Wajar gak sih aku sakit hati? Tadi juga kamu cuma belain aku gitu aja kan? Padahal jelas-jelas Megan ngomong dan nuduh aku seenaknya. Ada kamu belain aku dan jelasin yang sebenarnya? Gak kan? Jadi sekarang masih mau nanya apa yang aku rasa?"

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang