"Maaf! Aku nyesel. Sekarang aku tahu aku salah", ucapku dengan pasrah pada semuanya. Bagaikan bom api, ledakkan amarah Mas Yangsa saat itu begitu terlihat luar biasa. Ayah, ibu, kak Miraj, jelita bahkan aku tak menyangka Mas Yangsa bisa meluapkan emosinya dengan begitu dahsyatnya. "Maaf om, tante, kakak dan semuanya. Saya benar-benar gak bisa tahan emosi saya barusan", ucap Mas Yangsa pelan seakan baru tersadar. Seketika ayah dan ibu terlihat menepuk-nepuk bahu Mas Yangsa. Hari itu suasana pun menjadi canggung. Aku pun berusaha untuk terus meminta maaf kepada semuanya. Terlihat Jelita kembali menangis tersedu-sedu menyesali semua yang telah terjadi. Dia pun seakan menyalahkan dirinya sendiri yang tak sengaja melibatkan aku pada masalahnya. Tak ingin dia terus menyudutkan dirinya, aku memeluk Jelita dan berusaha kembali untuk saling menguatkan. Meskipun awalnya keluargaku sulit untuk menerima dan menyesali perbuatan kami berdua. Pada akhirnya ayah, ibu, kak Miraj juga Mas Yangsa pelan-pelan berusaha untuk memaafkan perbuatanku dan Jelita.
Di malam harinya aku terdiam di dalam kamarku sembari berpikir dengan cukup keras tentang apa yang sekiranya bisa aku lakukan. Meskipun semuanya telah pulang dan menganggap masalah telah selesai. Aku tak bisa berhenti membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Bukan hujatan kejam dari orang-orang melainkan terbayang-bayang ancaman liar dari perempuan dajjal yang mengatakan akan terus menggoda semua keluargaku termasuk ayah, kak Miraj bahkan pacarku Mas Yangsa. Bukan aku takut padanya atau merasa terancam. Namun, melihat dia bagai bocah nekat dan merasa hebat bahkan secara terang-terangan menantangku demikian, akhirnya membuatku khawatir. Iya, khawatir dengan orang-orang yang aku sayang. Tak ingin mereka sampai diganggu, aku begitu mencari cara agar dapat menangkalnya. Namun, jawaban tak juga kutemukan. Apalagi saat aku teringat kata-kata Mas Yangsa. Jangan sampai aku kembali membuat masalah dan menghancurkan rencana pernikahan kami berdua.
Semalaman aku tak bisa tidur, memikirkan dan membayangkan kejadian buruk yang sudah menimpaku kemarin. Kulihat ponselku sembari menyalakan televisi di kamarku. Bersiap menerima segala pemberitaan liar yang mungkin akan mulai kembali menyudutkanku. Namun, hari itu seakan berbeda. Ponselku hening, berita di televisi pun seakan aman-aman saja tak menunjukkan hal-hal gila yang aku pikirkan sebelumnya. Kutepuk-tepuk pipiku untuk memastikan apa aku benar-benar sudah terbangun dari tidurku. Nyatanya memang itu bukan mimpi. Semuanya nyata. Kupikir aku tak perlu khawatir dengan berbagai hal buruk yang mungkin terjadi. Baiklah, aku pun mencoba untuk menjalani hariku kembali dengan penuh semangat seperti biasanya. Hari itu adalah jadwalku lumayan padat. Pertama aku harus pergi ke dokter gigi untuk menjalani periksa rutin sekaligus membuat konten edukasi tentang kesehatan gigi dan mulut. Setelahnya aku akan bertemu Mas Yangsa untuk mengurus kembali berbagai persiapan pernikahan. Fitting baju dan gaun lalu ke tempat lokasi acara lamaran untuk memastikan semuanya aman terkendali.
Aku pun sampai ke lokasi pertama yaitu ke Klinik untuk melakukan kegiatanku sesuai dengan jadwal. Syukurnya semua berjalan dengan lancar. Setelah selesai aku pun bergegas untuk segera menemui Mas Yangsa. Namun, sesaat aku akan masuk ke dalam mobilku tiba-tiba aku dikejutkan dengan seorang pria paruh baya alias kakek-kakek yang datang menghampiriku. Kupikir (maaf) dia datang untuk meminta-minta. Kuambil uang di dalam tasku lalu tersenyum memberikan kepadanya saat itu. Tapi, dengan emosi dan sedikit "creepy" dia malah menolak pemberianku. Sejenak dia melotot dan menatapku tajam. Lalu kemudian, tanpa terduga dia mengatakan hal aneh kepadaku. "Nona, hati-hati ada aura hitam mengikuti nona. Mungkin kesialan akan segera datang. Hati-hati dan tunggu saja!", ucap kakek tua itu dan kemudian berlalu pergi. Seketika aku bingung, benar-benar bingung dan tak mengerti apa maksud ucapan orang itu. Seakan diramal buruk, aku terus berpikir mengapa kakek itu sampai mengatakan hal begitu kepadaku. Namun, syukurnya aku tak percaya dengan segala hal-hal yang demikian. Sebab dari dulu keluargaku terutama ayah dan ibu selalu mengajarkanku untuk tidak pernah percaya dengan ramalan dan berbagai hal yang sejenisnya.
"Kring kringg kringgg, ponselku berdering menunjukkan panggilan telepon dari ibu. Sambil menyetir mobil pelan-pelan aku pun menjawab panggilan telepon itu dengan loadspeaker. "Iya bu?", tanyaku pelan pada Ibu. Seketika terdengar suara berisik dan ibu seakan menangis sembari marah-marah. Mendengarnya sontak aku jadi cemas dan gelisah. Sontak aku meminggirkan mobilku dan berhenti menyetir saat itu. Berulang kali aku bertanya pada ibu, apa yang sedang terjadi. Namun, ibu tak juga menjawabnya dan malah terus terdengar marah-marah. Sampai akhirnya ibu memintaku untuk segera pulang ke rumah. Tak menunggu lama, aku pun memutar arah menuju ke rumah dengan segera. Sesampainya di sana, terlihat di ruang tamu, ibu sedang menangis histeris sembari menunjuk-nunjuk ayah. Aku benar-benar tak menyangka. Selama ini kehidupan rumah tangga mereka selalu terlihat harmonis tak bermasalah. Baru pertama kali dalam hidup, aku melihat ibu begitu marah pada ayah saat itu. Aku pun segera menghampiri mereka dan kemudian bertanya-tanya mengapa mereka sampai terlibat keributan yang luar biasa.
"Lihat ini adik. Sudah tua bangka. Bukannya sadar umur. Malah main gila!!!", terdengar ibu berteriak sambil menunjuk-nunjuk ayah. Seakan terlihat membela diri ayah juga berusaha untuk terus menenangkan ibu. Aku kembali bingung dengan apa yang terjadi. Bukan kudapati jawaban yang jelas. Ayah dan ibu terus terlihat bertengkar dan tak bertemu dengan jalan keluar. "Stop!!! Coba stop dulu ya ayah, ibu. Kalau kaya gini adik jadi bingung sendiri. Gak ngerti sama apa yang terjadi", ucapku setengah berteriak untuk berusaha menghentikan keributan ayah dan ibu. Suasana pun sekejap hening. Ibu menarik napas panjang, lalu kemudian memberiku 3 lembar foto yang menunjukkan gambar ayah dengan seorang perempuan sedang terlihat bersama di sebuah toko perhiasan. Di foto itu, ayah memang terlihat cukup dekat dengan perempuan itu. Sejenak aku terdiam dan menerka-nerka siapa perempuan dalam foto itu. Sayangnya tak bisa diketahui dengan jelas apa aku mengenalnya atau tidak sebab wajah perempuan itu tertutup rambut dan kacamata hitam. Sejujurnya saat itu aku merasa geram dan tubuhku seakan gemetaran. Saat itu sejujrnya aku pun jadi penasaran dan berpikir tak karuan. Namun dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi semuanya. Pelan-pelan aku pun meminta ibu juga untuk sedikit lebih sabar mendengarkan penjelasan yang sebenarnya. Dengan mencoba untuk santai, aku pun mulai bertanya pada ayah.
"Ini apa ayah? Coba tolong dijelaskan!"
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Romance"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...