Kejujuran

124 72 0
                                    

"Okay, silahkan! Jelaskan yang bisa kamu jelaskan. Masalah aku bisa terima atau gak, itu gimana nanti. Yang penting aku bisa tau dulu apa yang terjadi", jawabku pada Mas Yangsa saat itu. Dengan menghela nafas panjang, dia pun akhirnya berusaha menjelaskan. Saat itu sebenarnya Mas Yangsa sedang menghadapi masalah yang menjadi beban pikiran. Bapaknya sudah lama sakit-sakitan sehingga harus berhenti untuk bekerja yang akhirnya mempengaruhi kehidupan ekonomi keluarganya. Untung saja kuliah Mas Yangsa murni ditanggung beasiswa. Meskipun begitu, Mas Yangsa harus tetap membuat satu keputusan untuk dapat menghidupi keluarganya maka dia harus mencari kerja dan berhenti kuliah sementara. Mas Yangsa mengatakan sebenarnya itu bukan masalah besar untuknya karena masih sanggup berjuang untuk menghadapinya. Namun ada satu masalah yang membuatnya amat merasa terbeban dan saat itu jadi uring-uringan. Sebelum mengatakan masalah itu, dia kembali memintaku untuk berjanji akan bisa menerima dan tidak akan pernah pergi meninggalkannya. Aku yang penasaran tak lagi berpikir panjang akhirnya aku pun mengiyakannya.

"Perempuan yang kamu liat malam itu, benar katamu. Dia memang adekku. Kuperjelas memang adek ketemu gede", ucap Mas Yangsa dengan wajah sedih. Mendengarnya aku setengah emosi, seketika aku langsung berdiri lalu menerka-nerka apa yang dimaksud oleh Mas Yangsa. "Tuh kan bener!", ucapku kesal. Mas Yangsa beberapa kali mengusap-mengusap wajahnya lalu kemudian berusaha meraih tanganku. Berulang kali dia meminta maaf dengan kenyataan pahit yang harus dia sampaikan saat itu. "Tunggu dulu, biar aku jelasin. Kamu tolong denger dulu!", pintanya memohon saat aku ingin beranjak pergi. Aku terdiam lalu memberinya isyarat untuk kembali mulai bicara.

"Dia itu Megan, adekku. Lebih tepatnya adek tiri. Aku juga baru tau kalau bapakku punya anak selain aku dan Kristal. Aku juga baru tau kalau dulu, ibu bisa meninggal karena melahirkan sebelum waktunya. Ternyata saat itu kondisi ibu dalam keadaan stress mikirin bapak punya anak dari orang lain", ucap Mas Yangsa yang sesaat kemudian menangis histeris. Sejenak aku terdiam dan terperangah mendengar yang dijelaskan Mas Yangsa. Mendadak aku merasa bingung harus bagaimana. Pelan-pelan aku menepuk bahu Mas Yangsa mencoba untuk menguatkannya namun kemudian aku pun ikut menangis karena tak tega melihat Mas Yangsa yang begitu merasa kecewa.

"Aku malu, ini aib keluargaku. Gimana ke depannya? Aku mau kita selamanya. Tapi, apa keluarga kamu bisa terima aku apa adanya? Kamu lahir dan hidup dari keluarga yang berada dan penuh cinta sedangkan aku sebaliknya. Kita itu bener-bener beda dan jauh bertolak belakang", ucap Mas Yangsa sambil menangis tersedu-sedu. Aku terdiam karena sesungguhnya aku tidak bisa menjawab dan langsung menjanjikan kata "iya" untuk pertanyaan itu. Kutahu persis bagaimana keluargaku yang masih belum bisa seutuhnya menerima Mas Yangsa, ditambah dengan kenyataan keluarganya. Tuhan tolong aku bisa apa.

"Sudah ya nangisnya", ucapku pelan sambil terus menepuk-nepuk bahu Mas Yangsa. Masih sedikit terisak-isak dia berusaha untuk bisa sedikit lebih tenang. Sejujurnya aku begitu merasa tak tega melihat kondisi Mas Yangsa saat itu. Badannya terlihat lebih kurus dan tatapan matanya terlihat kosong seakan sedang menanggung beban berat yang memenuhi pikirannya. Mas Yangsa kembali memegang tanganku dan kembali memohon agar aku tidak pernah pergi meninggalkannya. Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum memandang wajahnya. Saat itu, sejujurnya aku bingung harus melakukan apa. Sebagai pacar Mas Yangsa, aku hanya bisa berusaha tetap berada di sisinya untuk sekedar menguatkan. Tapi, kenyataan yang harus kami sama-sama hadapi begitu amat membebani pikiran. Aku mungkin bisa menerima apapun kelebihan dan kekurangan Mas Yangsa. Namun, bagaimana dengan keluargaku? Sampai detik itu saja belum kami terima restu penuh dari ayah dan ibu.

Kring kringg kringg, tiba-tiba teleponku berdering saat itu. Terlihat panggilan dari ayah dan ibu. Aku baru ingat bahwa aku belum mengabari mereka. Kuberi isyarat untuk tenang pada Mas Yangsa, sesaat kemudian kujawab teleponnya. "Hallo, iya maaf ayah. Adik sudah sampai. Tapi, oma kayanya lagi gak di rumah. Kebetulan adik haus dan lapar, jadi ini lagi mampir dulu di kedai dekat rumah oma", ucapku pelan menjelaskan pada ayah. Syukurnya ayah dan ibu hanya khawatir dengan keadaanku saja. Setelah menerima telepon dari ayah dan ibu saat itu, aku dan Mas Yangsa pun memutuskan untuk segera pergi kembali ke rumah oma.

Sambil berjalan menuju rumah oma, Mas Yangsa pun kembali mengajakku bicara. Saat itu dia merasa bingung harus ke mana. Makanya dia berniat datang menemui oma. Tak menyangka malah bertemu denganku pada akhirnya. Seakan sehati dengan Mas Yangsa, aku pun mengatakan hal yang sama. Tujuanku ke rumah oma hanya untuk menenangkan pikiran karena merasa galau patah hati dengannya. Bersyukur pada akhirnya aku dan Mas Yangsa dapat bicara dan memperjelas kenyataan hubungan kami yang sebenarnya. Kami pun berusaha komit untuk selalu saling menguatkan dalam menghadapi suatu permasalahan. Di hari itu kami kembali belajar bahwa pentingnya kejujuran dalam keberhasilan suatu hubungan.

"Dulce terimakasih ya, kamu udah datang jauh-jauh hanya untuk kasih aku kejutan. Aku minta maaf ya kalau rencanamu semuanya jadi berantakan. Bagi aku, kamu adalah hadiah terindah. Meskipun kemarin sempet tega putusin aku di hari ulang tahun", ucap Mas Yangsa padaku sesaat sampai di depan rumah oma. Aku hanya tersenyum dan tersipu malu mendengarnya. Lalu tiba-tiba seperti terbawa suasana Mas Yangsa reflek mencium tanganku. Aku terkejut dan tak bisa berkata-kata. Dan, tiba-tiba..

"Heh, apa-apaan you berdua!!!", terdengar oma berteriak seakan memergoki aku dan Mas Yangsa.

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang