Married by Accident (MBA)

52 25 0
                                    

"Hah? Oh, bukan dia dik! Sorry sepertinya adik salah orang. Hahaha, gak mungkinlah kakak jatuh cinta sama dia. Jelas-jelas dia juga lagi hamil juga. Tenang, adik. Megan yang kakak maksud itu Megan Jelita. Teman satu almamater adik juga di SMA Harapan Merdeka", ucap kak Miraj berusaha menenangkanku. Dengan menarik napas panjang seketika aku benar-benar merasa lega. Untung saja berulang kali aku bertanya pada kak Miraj untuk benar-benar memastikannya. "Ohhh, syukurlah kak. Tadinya pikiran adik jadi jauh ke mana-mana. Btw, Megan Jelita? Teman adik di SMA kan? Maksud kakak itu mungkin Jelita ya? Serius kak? Ya Tuhan dunia sempit sekali. Tapi, kakak barusan bilang dia salah satu pasien kakak juga?", tanyaku kembali penasaran pada kak Miraj. Dengan tersenyum tampan kak Miraj pun kemudian menjelaskan Jelita yang juga teman SMA ku itu memang merupakan salah satu pasiennya. Namun, bukan dalam arti pasien yang menjalani konsultasi kehamilan, melainkan cek kesehatan hormonal akibat gangguan siklus menstruasi yang tidak teratur. Mendengar penjelasan kak Miraj itu aku pun kembali merasa lega. Selain itu melihat kak Miraj yang salah tingkah dan benar-benar seperti orang yang baru saja jatuh cinta membuatku benar-benar larut serta dalam kebahagiaan yang sedang kak Miraj rasakan. "Jadi kapan kakak mau katakan cinta? Jangan lama-lama kak. Nanti dia keburu diambil orang", ucapku sembari mengingatkan dan menyemangati kak Miraj. Dengan sumringah dan hati yang berbunga-bunga kak Miraj kembali mengungkapkan keinginan dia untuk segera melakukannya. Yang lebih mengejutkan bukan hanya ingin merajut hubungan pacaran, kak Miraj justru ingin segera melamar dan menjalani hubungan yang serius dengannya. Ya, Tuhan saat itu aku begitu bahagia. Pada akhirnya kakak yang begitu aku sayangi dapat menemukan pujaan hatinya. Dengan penuh harapan kupanjatkan doa semoga kakakku dan semua orang-orang yang aku sayang senantiasa diberikan kebahagiaan dan dilancarkan dari segala rencana dan urusannya.

"Kring kringg kringg, ponselku tiba-tiba berdering sesaat aku sampai di rumah. Kulihat, itu panggilan telepon dari Mas Yangsa. Dengan sumringah dan masih dalam suasana bahagia kujawab telepon itu dengan segera. "Iya, Awi. Aku baru saja sampai rumah. Tadi sebentar aku habis nemenin kakak ngopi di kedai depan komplek", ucapku dengan tersenyum lebar. Berbeda dengan ekspresiku yang ceria, saat itu Mas Yangsa begitu terdengar panik tak seperti biasanya. "Aku bingung harus mulai dari mana ceritanya. Tapi, Megan. Dia berulah lagi. Barusan dia kembali ngamuk dan nuntut bapak buat nikahin dia sama pacarnya. Alasannya dia malu dihujat sana sini karena sudah hamil di luar nikah", ucap Mas Yangsa dengan penuh kekhawatiran. Mendengarnya aku pun hanya bisa mengelus-elus dada. Seakan bertolak belakang dengan kebahagiaan yang saat itu sedang kurasakan. Seketika aku pun jadi ikut cemas dan juga gelisah memikirkan hubunganku ke depannya dan Mas Yangsa. Namun, kami berusaha untuk saling menguatkan dan tegar menghadapi segala kenyataan yang akan terjadi. "Oke, Awi. Kamu tenang dulu. Pelan-pelan semua pasti ada jalan keluarnya. Kamu sabar ya, aku janji akan selalu dampingin kamu. Kita sama-sama selalu ya", ucapku berusaha untuk terus menyemangati Mas Yangsa. Bersyukur saat itu dia tak lagi terdengar panik dan sudah jauh lebih tenang. Dia pun mengatakan kepadaku kemungkinan acara pernikahan Megan akan segera diselenggarakan pada minggu depan. Saat itu Mas Yangsa juga memintaku untuk dapat membantunya mempersiapkan segala keperluan yang ada. Tak tega untuk menolak dan membiarkan dia kepusingan sendiri akhirnya aku pun menyetujui untuk turut serta membantunya. Meskipun dari hatiku sudah merasa malas duluan berurusan dengan segala yang berkaitan dengan Megan si adik tirinya itu. Namun kembali lagi kulakukan semuanya hanya demi Mas Yangsa. Tak ingin dia kesusahan sendirian, aku berusaha untuk selalu ada mendampinginya. Dan dengan penuh harapan hubungan kami kedepannya akan tetap baik-baik saja.

Dalam kurun waktu satu minggu aku dan Mas Yangsa benar-benar ngebut mempersiapkan semua kebutuhan pernikahan Megan. Mulai dari mencari dekorasi, catering, gaun pernikahan sampai seserahan dan lain sebagainya. Megan yang hanya bisa mendesak untuk menikah tanpa punya uang sepeserpun pada akhirnya memaksa aku dan Mas Yangsa untuk menggunakan sebagian hasil tabungan kami berdua guna menanggung semua biaya yang diperlukan. Saat itu sejujurnya aku sampai tak enak hati, mengingat begitu susah payah kami mencari dan mengumpulkan pundi-pundi untuk masa depan kami. Namun kembali lagi aku dan Mas Yangsa berusaha untuk tetap ikhlas melakukan itu semua. Sampai pada hari H pernikahan Megan. Seminggu kebelakang aku dan Mas Yangsa begitu lelah mempersiapkan semuanya. Kami bahkan tidak tidur dan makan dengan teratur. Semuanya demi kelancaran acara si adik tiri Mas Yangsa itu. Namun, tetap saja bukan Megan namanya kalau tidak berulah dan menyebalkan. Kuingat sekali di pagi hari pernikahannya itu yang sempat-sempatnya dia mengamuk dan membuat aku juga Mas Yangsa merasa amat sakit hati. Dia tega memaki-maki kami karena tak senang dengan segalanya yang sudah kami persiapkan. Dia terus saja mengumpat dan mengeluh seakan tidak tahu terima kasih. "Apaan ini? Make up nya bikin gua keliatan tua banget jadinya. Udah gitu gaun pengantin apaan sih ini? Gak ada sexy-sexy nya sama sekali. Jelek! Pokoknya gua gak mau pakai ini semua!", teriak Megan padaku dan Mas Yangsa. Kami berdua menghela napas panjang berusaha untuk tetap sabar menghadapi kelakuan si Megan. Sejujurnya aku begitu geram padanya saat itu karena merasa tak dihargai. Ingin rasanya aku mengajak Mas Yangsa untuk beranjak pergi meninggalkannya dan membiarkan dia mengurusi semuanya sendiri. Namun, entah mengapa saat itu kami masih tetap begitu sabar menyikapi tingkahnya meskipun sembari terus mengelus-elus dada. "Iyaudah sini, aku coba rapiin lagi ya make up nya. Kamu mau terlihat gimana? Look yang Bold atau Flawless?", tanyaku dengan sabar pada Megan. "Terserah, yang penting gua keliatan cantik dan sexy. Yang penting lipstiknya harus merah dan cetar membahana!", jawab Megan dengan angkuhnya. Dengan tersenyum tipis kuturuti saja permintaan dari adik tiri Mas Yangsa itu. Entah kekuatan dewi dari mana, saat itu aku begitu menunjukkan kesabaran yang penuh. Padahal biasanya emosi dan kesabaranku hanya setipis tisu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Megan Geni dengan mas kawin tersebut dibayar tunai", "SAH SAH SAH!". Terdengar beberapa teriakan orang mengiringi rangkaian acara pernikahan Megan juga suaminya hari itu dan menandakan mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri. Saat itu kulihat dengan jelas ayah dan Mas Yangsa menangis sambil berpelukan. Sedangkan Megan terlihat acuh dan seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Justru malah dia terlihat asyik sendiri berselfie dengan sang suami. Kuhampiri Mas Yangsa dan bapaknya saat itu seraya tersenyum berusaha untuk terus menguatkan mereka. Secara reflek bapak Mas Yangsa menatapku dalam dan kemudian memelukku. "Terimakasih ya nak, maafin bapak dan semua keluarga kami. Begitu susah payah kamu melakukan semuanya. Sekali lagi terima kasih", bisik bapak Mas Yangsa pelan kepadaku. Seketika aku hanya bisa terdiam dan menahan tangis saat itu. Berusaha untuk tetap menguatkan mereka. Sesaat kemudian Mas Yangsa pun mendekatiku untuk meraih dan kemudian menggenggam erat tanganku. Saat itu kami pun benar-benar larut dalam suasana sendu. Namun, tiba-tiba suasana acara pernikahan itu mendadak menjadi mencekam. Sesaat kami semua dikejutkan dengan kedatangan beberapa petugas polisi yang tiba-tiba melakukan penggerebekan. Benar-benar tak terbayangkan, di hari pernikahannya itu, Megan dan suaminya terpaksa harus diamankan dan dibawa oleh polisi terkait dugaan penyalahgunaan narkoba. Terbukti dari ditemukannya berbagai macam barang haram tersebut yang kemungkinan dipersiapkan untuk acara puncak pesta pernikahan mereka di tengah malam. Aku kembali mengelus dada, benar-benar tak menyangka Megan begitu tega melakukan itu semua. Kulihat dengan menunjukkan tampang tak bersalah Megan terkesan biasa saja berlalu meninggalkan Mas Yangsa dan bapaknya yang begitu shock menghadapi ulahnya yang kembali mengecewakan. "Tolong, tolong! Bapak bangun pak!", seketika Mas Yangsa berteriak berusaha membangunkan bapaknya yang mendadak tak sadarkan diri.

"Ya, Tuhan. Tolong kami.."

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang