Kesungguhan

65 44 1
                                    

"Hai, apa kabar?", tanyaku pelan dan canggung pada Mas Yangsa. Dengan senyum tipis dia menatapku dan menjawabnya. "Tidak pernah baik semenjak kamu pergi tinggalin aku gitu aja dan kemudian menghilang tanpa kabar". Seketika suasana hari itu menjadi akward. Sejujurnya aku tak menyangka Mas Yangsa sungguh-sungguh datang dari jauh untuk menemuiku saat itu. Kupikir hubungan kami sudah benar-benar selesai dan Mas Yangsa benar-benar setuju dengan keputusanku. Namun, saat mendengarnya bilang begitu seketika ada sedikit perasaan bersalah dariku karena seakan tega meninggalkan dia begitu saja. "Maaf, nanti kita bicara semuanya biar clear", ucapku pelan pada Mas Yangsa. Dia hanya terdiam berusaha untuk tetap bersikap baik selayaknya tak terjadi apa-apa. Kulihat ibu, ayah dan oma menyambut Mas Yangsa hangat seperti sebelum-sebelumnya. Begitu juga kak Miraj yang baru saja pada momen itu bertemu secara langsung dengan Mas Yangsa. Terlihat mereka pun langsung akrab sesaat setelah berkenalan. Sejujurnya saat itu aku begitu merasa sempurna karena aku bisa dikelilingi oleh orang-orang yang aku sayang di salah satu momen bahagia. Seakan larut dengan suasana, aku seakan lupa hubunganku yang sebenarnya dengan Mas Yangsa. Kami lalu asyik berfoto untuk mengabadikan momen bersama. "Sekarang coba kalian foto berdua", ucap kak Miraj mengarahkanku untuk berfoto bersama Mas Yangsa yang diiringi anggukan setuju dari oma, ayah dan ibu. Seketika aku hanya tersenyum sembari tersipu malu. Kupikir Mas Yangsa tak akan mau melakukan itu. Nyatanya tidak. "Izin ya om, tante, oma dan kakak", ucap Mas Yangsa dengan sopan sembari melangkah maju ke arahku lalu berdiri tepat di sampingku. Tanpa lama-lama kak Miraj pun lalu benar-benar mengabadikan potret kami berdua saat itu. "Senyum, coba agak rapat sedikit. Jangan terlalu kaku!", pinta kak Miraj sembari mengarahkan aku dan Mas Yangsa untuk bisa lebih bergaya. Seperti mimpiku selama ini, pada akhirnya di momen wisudaku itu, aku bisa punya momen foto berdua saja dengan Mas Yangsa. Terdengar kuno memang selama aku dekat bahkan berpacaran belum pernah rasanya sekali saja kami sengaja mengabadikan momen bersama berdua.

"Kasih, selamat!", tiba-tiba terlihat datang kak Alex menghampiriku dan kemudian memberiku sebuah buket bunga. Kuterima pemberian dari kak Alex itu sembari tersenyum akward dan kemudian melirik sekejap ke arah Mas Yangsa. Tak bisa disembunyikan terlihat pandangan tak senang terpancar dari wajahnya. "Alex, my bro. Terima kasih sudah datang ya. Oh, iya kenalin ini Mas Yangsa, dia pacarnya Kasih", ucap kak Miraj pada kak Alex saat itu. Mendengar kak Miraj memperkenalkannya sebagai pacarku terlihat perubahan jelas di wajah Mas Yangsa. Seketika dengan percaya diri dia jadi tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya duluan untuk menjabat tangan kak Alex. "Salam kenal", ucap Mas Yangsa dengan senyum tipis dan tatapan tajam. Terlihat kak Alex membalasnya dengan tersenyum tenang ke arah Mas Yangsa. Setelah berjabat tangan dengannya, kak Alex langsung menghampiri ayah, ibu dan oma. Beberapa waktu mereka pun terlihat asyik bercengkerama.

"Boleh, kita bicara sebentar", pinta Mas Yangsa kepadaku saat itu. Aku mengangguk tanda setuju. Dan kemudian aku dan Mas Yangsa melangkah sedikit jauh dari keramaian yang ada. "Jadi kamu tinggalin aku karena sudah ada yang baru? Laki-laki itu siapa?", tanya Mas Yangsa padaku memulai untuk bicara dengan nada serius. "Dia kak Alex, kamu sudah kenalan kan?", jawabku santai padanya. Mas Yangsa menatapku tajam, seakan menahan amarahnya saat itu. Entah apa yang ada di pikirannya yang pasti tatapan itu cukup lumayan menyudutkanku. "Aku gak paham lagi ya sama kamu, bisa-bisanya kamu tega sama aku!", ucap Mas Yangsa dengan penuh emosi. Sejenak aku terdiam mengatur napasku saat itu. Tak ingin larut juga dalam emosi, aku berusaha untuk lebih bisa mengontrol diriku sendiri. "Tenang dulu ya. Kita mulai semuanya dengan baik. Sekarang kita selesaikan baik-baik juga ya", pintaku pelan pada Mas Yangsa. "Apa yang selesai? Bisa segampang itu kamu bilang? Aku gak mau kita selesai. Kamu ngerti? Aku sakit hati. Sakit banget, Kasih! Tolong jangan terus kaya gini", jawab Mas Yangsa yang tak bisa lagi menahan air mata. Saat itu aku terdiam menatapnya yang menangis sesenggukan. Sejenak kemudian aku pun berpikir. Ada apa denganku? Apa yang salah? Mengapa seakan aku yang terlihat begitu tega kepada Mas Yangsa?

"Udahlah, gak usah kamu sandiwara. Aku begini juga karena ikutin yang kamu mau. Kan kamu yang mulai ini semua. Akhirnya bikin aku nyerah dan mikir mungkin ini yang terbaik untuk kita", ucapku dengan nada malas pada Mas Yangsa. Terlihat dia begitu ingin mempertahankan hubungan kami saat itu. Seakan tak ingin berakhir begitu saja, dia terus berusaha untuk meyakinkanku. Tapi, entah mengapa rasanya aku sudah lelah sendiri. Berulang kali Mas Yangsa mengabaikanku dan sering menghilang tanpa permisi. "Cukup ya, aku gak mau denger apa-apa lagi. Aku cape. Kita bersama tapi kamu gak selalu ada. Tiba-tiba menghilang entah kemana. Jadi buat apa? Kamu bisa datang dan pergi sesuka hati kamu. Maaf aku gak bisa. Itu percuma", ucapku seakan menyerah. "Maaf, aku hilang bukan ke mana-mana. Tapi aku cuma usaha. Bener-bener usaha Kasih. Aku kerja cari uang untuk apa? Untuk hari ini. Untuk bisa ketemu kamu hari ini. Untuk ada di saat momen spesial wisuda kamu. Maafin aku. Gak ada maksud aku sibuk sendiri dan gak peduli sama kamu. Maafin aku!", ucap Mas Yangsa sembari menangis dan berlutut di hadapanku. Aku terdiam seketika. Mendengar apa yang Mas Yangsa utarakan seketika aku kembali tak menyangka. Jadi sebenarnya Mas Yangsa berusaha begitu keras hanya untuk membahagiakanku? Dia berusaha untuk datang jauh-jauh di hari wisudaku? Seakan tertampar keras aku begitu merasa jahat kepada Mas Yangsa saat itu. Rasanya begitu sakit dengan sikapku sendiri yang sudah begitu tega melukai Mas Yangsa.

"Aku sengaja gak bilang, karena aku gak mau terus-terusan kamu yang usahain semuanya. Aku juga mau berjuang untuk kamu Kasih. Aku malu, kamu serba ada dan berkecukupan tapi kamu bisa usaha dengan kerja keras kamu sendiri. Masa aku gak bisa lakuin hal yang sama? Jadi sekali di momen spesial kamu. Aku mau aku bisa bahagiain kamu walaupun itu gak seberapa untuk kamu. Maafin aku kalau itu malah nyakitin kamu dengan mikir aku gimana-gimana", ucap Mas Yangsa dengan terus menangis.
Seketika aku pun ikut menangis. Benar-benar menangis histeris karena saat itu aku merasa bagaikan manusia paling egois. Melihatku begitu Mas Yangsa seketika terdiam, seakan tak ingin melihat aku tersedu-sedan. Dengan reflek dia pun memelukku. Benar-benar memelukku. Aku semakin terisak menangis dipelukan Mas Yangsa. Dengan penuh penyesalan aku tak ingin sekejap saja kembali melepaskannya. Itulah kali pertama kami berpelukan erat dan saling menangis hebat.

"Bagus, sudah ngaku-ngaku pacaran dengan Kasih terus sengaja cari-cari kesempatan. Lepasin! Lepasin Kasih! She is mine!!", tiba-tiba terdengar kak Alex datang menghampiriku dan Mas Yangsa. Seketika suasananya berubah. Terlihat menahan emosi Mas Yangsa kemudian melepaskan pelukannya kepadaku. Seakan tak percaya dengan apa yang terucap dari mulut kak Alex saat itu. Mas Yangsa dengan bergetar seketika bertanya langsung kepadaku.

"Maksudnya apa? Kamu dan dia pacaran?"

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang