Berarti

40 25 0
                                    

"Oma!!! Kenapa secepat itu tinggalin kita!!!", ucapku sambil terisak di depan makam oma. Saat itu terlihat ayah, ibu, kak Miraj, istrinya Jelita dan juga Mas Yangsa semua berkumpul dan begitu merasa kehilangan. Terbayang semua kenangan indah bersama oma. Tak cuma aku, nyatanya Mas Yangsa pun begitu terpukul dan tak dapat menahan begitu derasnya air mata sebab oma begitu banyak berperan penting pada hubungan kami berdua. Teringat dengan jelas bagaimana momen aku, Mas Yangsa dan oma selalu kompak bersama melakukan berbagai kegiatan harian. Teringat bagaimana oma yang garang dan tegas namun penuh perhatian dan kasih sayang. Oma yang selalu mengarahkan dan tak lelah memberikan berbagai nasihat bijak. Oma yang selalu tepat waktu manjalani hari dengan rutinitas terjadwal. Teringat jelas bayangan setiap sore oma rutin bermain catur sekaligus menikmati afternoon tea. Teringat pertama kali Oma tertawa senang sesaat mengetahui Mas Yangsa adalah pujaan hatiku selama ini. Teringat saat oma melindungiku dan Mas Yangsa saat ayah dan ibu begitu tak suka dengan hubungan kami sebelumnya. Teringat kata-kata oma yang menenangkan kami dengan mengatakan semua aman terkendali karena oma yang punya kasta tertinggi. Teringat oma yang tak lelah mengajariku menjadi perempuan seutuhnya. Mengajariku masak, mengingatkanku untuk selalu rajin dan mengajariku untuk disiplin juga bisa menghargai waktu. Teringat perhatian oma pada Mas Yangsa dengan mencarikan ponsel baru untuk menggantikan ponselnya yang hilang. Teringat oma yang datang dengan penuh emosi dan kemudian memukuli Mas Yangsa karena pemberitaan liar yang ada. Oma yang selalu pasang badan, menjaga dan melindungi kami semua dengan segala kekuatan cinta dan petuah bijaknya.

Tuhan, mengapa oma tak bisa tinggal sedikit lebih lama. Setidaknya sampai oma benar-benar mengantar dan mendampingi di momen indah pernikahan kami berdua. Mengapa??? Saat itu aku tak hentinya aku bertanya. Seakan belum bisa menerima takdir Tuhan yang seutuhnya. Berulang kali ayah dan ibu menenangkanku dan Mas Yangsa. Kamu berdua benar-benar begitu terpukul dan kehilangan sosok oma yang begitu kami cinta. "Sudah ya, Tuhan lebih sayang sama oma. Sekarang oma sudah tenang di surga", ucap ibu berusaha menguatkanku dan Mas Yangsa saat itu. Kami semua pun berpelukan dan saling menguatkan. Momen yang begitu menyedihkan itu begitu sulit kamu lupakan. Bagaikan petir di siang hari, kepergian oma begitu mengejutkan kami. Tak pernah terbayang dan bahkan tak pernah diinginkan. Namun, nyatanya semua ini harus terjadi. Rasanya begitu sulit untuk aku secara pribadi menerima kenyataan yang ada. Aku mendadak jadi depresi dan mungkin hampir saja gila. Bagaimana tidak, begitu besar harapan dan keinginanku untuk terus didampingi oma. Bagiku oma adalah segalanya. Waktu aku kecil mungkin aku begitu takut padanya. Namun, setelah aku dewasa aku pun baru sadar dan merasakan langsung sosok oma yang begitu tulus dan penuh kasih sayang. Bukan cuma diberikan kepada ku sebagai cucu kandungnya saja melainkan juga pada Mas Yangsa.

"Adik, makan nak. Dari kemarin adik gak makan. Nanti adik sakit", ucap ibu berusaha mengajakku untuk makan. Saat itu aku hanya terdiam dan masih larut dalam suasana sedih karena kehilangan. Terbayang-bayang semua kenangan indah dengan oma. Rasanya aku tak sanggup untuk menjalani hariku ke depannya. Terlihat ayah juga menghampiriku ke kamar. Berusaha untuk membujukku yang saat itu benar-benar tak berselera untuk makan. "Ting nong, ting nong, ting nong", terdengar bel rumah berbunyi. Rupanya itu kak Miraj dan istrinya Jelita yang juga datang untuk menyemangatiku. Saat itu aku seperti benar-benar depresi. Masih belum bisa menerima kepergian oma yang begitu tiba-tiba. "Adik, makan!!! Kalau adik terus begini nanti bisa-bisa sakit. Semuanya sayang sama oma. Tapi, kita harus bisa terima. Adik juga harus melakukan hal yang sama! Oma pasti sedih liat adik begini", ucap kak Miraj yang sedikit tegas mengingatkanku. Aku terdiam dan hanya menangis saat itu.

Lumayan lama untukku kembali memulihkan hati yang begitu kehilangan sosok oma. Waktu demi waktu pun berlalu. Pelan-pelan aku pun mulai berusaha untuk kembali menjalani keseharianku. Meskipun beberapa kali aku jadi teringat kenangan indah dan bayangan sosok oma, pada akhirnya pelan-pelan aku berusaha untuk bisa menerima kenyataan yang ada. Begitu juga Mas Yangsa, sama denganku pada awalnya dia juga sulit untuk menerima kepergian oma. Namun, kami yang saling menguatkan pelan-pelan mulai kembali melangkah untuk menjalani masa depan. Rencana pernikahan kami yang awalnya sempat tertunda pelan-pelan akhirnya kembali dipersiapkan. Venue, dekorasi, dokumentasi, catering, make up dan juga gaun pengantin semuanya sudah sesuai keinginan kami berdua. Persiapan sudah hampir 90%. Begitu juga undangan lamaran juga pernikahan sudah terjadwal dan siap untuk disebar.

Dalam kurun waktu satu bulan ke depan, acara lamaran resmi antara aku dan Mas Yangsa akan segera terselenggara. Saat itu kami kompak untuk terjun langsung mengurus semuanya berdua. Begitu juga barang-barang yang menjadi seserahan. Mas Yangsa tak memaksakan kehendaknya bahkan dia menyerahkan semuanya sesuai keinginan dan pilihanku. Aku juga banyak bertanya pada ibu dan juga Jelita yang kini jadi kakak iparku. Kami pun hunting barang seserahan bersama. Rasanya begitu bahagia. Seandainya oma masih ada di dunia, beliau pasti turut serta mendampingiku mengurus segala-galanya. Lagi dan lagi aku jadi teringat akan oma. Benar kata pepatah bijak yang mengatakan sesuatu akan lebih berarti jika sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ya, Tuhan aku begitu merindukan oma. Selalu merindukannya. Meskipun kutahu oma sudah bahagia di surga. "Loh, kok lagi enak makan tiba-tiba malah nangis sesenggukan", tanya ibu kepadaku dengan heran. Sambil menangis aku pun tersenyum. Seakan tahu aku sedang merindukan oma, terlihat ibu langsung memelukku dan kemudian membelai lembut rambutku. Saat itu, ibu dan juga Jelita sengaja menemaniku mencari beberapa seserahan tambahan. Tak ingin aku terus larut dalam kesedihan, mereka pun terlihat berusaha untuk menghiburku dan mengalihkan perhatianku dengan mengajakku perawatan. Kami pun melanjutkan perjalanan hari itu dengan memanjakan diri di Pusat Kecantikan. Setelah berjalan seharian. Kami pun memutuskan untuk pulang.

Keesokan harinya pagi itu, "ting nong, ting nong, ting nong". Terdengar bel rumah berbunyi. Saat itu ayah dan ibu sudah pergi dari pagi-pagi sekali dan aku pun di rumah hanya sendiri. Dengan setengah berlari aku membuka pintu lalu menyambut tamu yang datang hari itu. Rupanya dia Jelita, kakak iparku. Dia datang dengan wajah dan mata yang begitu sembab. Tanpa diduga kemudian dia menangis tersedu-sedu sembari memelukku. Aku bingung dengan apa yang terjadi saat itu. Pelan-pelan aku pun berusaha untuk menenangkannya. "Ada apa?", tanyaku penasaran. Sambil menangis dan terisak dia pun berusaha menceritakan semuanya kepadaku. "Kak Miraj, kakak kamu. Begitu tega sama aku! Dia mungkin khianatin aku Kasih!!!", ucapnya sambil terbata-bata. Seketika aku terperangah seakan tak dapat percaya dengan apa yang baru saja aku dengar darinya. Tak ingin membela tapi aku begitu mengenal kakak kandungku. Namun, sesama wanita aku pun tak tega melihat Jelita menangis merasakan rasa sakit hati yang teramat sangat saat itu. Rasanya begitu tak mungkin. Mereka itu masih tergolong pengantin baru. Setahun mereka mengarungi kehidupan rumah tangga. Membuatku sulit untuk percaya dan terus bertanya-tanya dibuatnya.

Masa iya kakakku Miraj begitu tega mengkhianati istrinya?

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang