"Adik, masuk sekarang!", perintah ayah memanggilku dengan tatapan tajam. Aku terdiam tak berani melangkah. Kulihat wajah Mas Yangsa yang tiba-tiba pucat menahan takut juga pada ayah. "Kasih! cepat masuk!". Sedikit nada tinggi ayah mulai terlihat tidak baik-baik saja. Tubuhku gemetaran, seperti mau pingsan. Kulihat Mas Yangsa yang sebenarnya juga gentar, berusaha untuk tetap tenang. Aku berbisik pelan padanya untuk cepat berlari meninggalkanku. Tapi, bukan mendengarkanku dia malah tetap berdiri dan seperti mau melangkah menghampiri ayahku. "Selamat malam om, maaf saya sudah antar Kasih pulang tanpa izin sebelumnya", ucap Mas Yangsa pelan dengan penuh penyesalan. "Kamu, ikut masuk juga sekarang!", perintah ayah sembari beranjak masuk duluan ke dalam rumah. Aku menarik nafas tak kuasa memikirkan bagaimana nasib hubunganku dengan Mas Yangsa. Pelan-pelan kami semua masuk. Ayah meminta kami duduk. Lalu, ibu datang membawa air putih di dalam gelas beling berukuran jumbo. "Silahkan, minum dulu", perintah ibu kepada Mas Yangsa. Entah karena haus atau sekedar menghargai ayah dan ibu, dia meminum segelas penuh air itu sampai habis. "Terimakasih tante, om", ucap Mas Yangsa sembari menyimpan gelas jumbo itu kembali ke atas meja. "Baik, sekarang saya tanya. Kamu siapa? Dari mana dan mengapa bisa mengantar Kasih pulang sampai malam begini?", tanya ayah tanpa jeda. Pelan-pelan Mas Yangsa berusaha menjawab semua pertanyaan ayah itu dengan sopan sembari menjelaskan, bahwa kami saling mengenal dari kecil di sekolah dasar dulu. Lalu, kami kembali bertemu dan bisa dikatakan akhirnya menjadi teman dekat. Mas Yangsa juga tak hentinya meminta maaf karena sudah berani mengantarku pulang tanpa izin sebelumnya. Dia pun berjanji untuk lebih berhati-hati sehingga ke depannya akan lebih baik lagi dan tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kulihat ayah berkali-kali mengangguk dan saling pandang dengan ibu. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka, namun aku berharap mereka bisa mengerti perasaanku.
"Jadi gini, kalian berteman biasa saja boleh. Mungkin sekali-sekali kamu mau datang juga silahkan saja. Asal kalian bisa bersikap baik dan sewajarnya. Dan yang terpenting adalah Kasih ini belum boleh pacaran sampai dia benar-benar lulus pendidikan. Kamu paham?", ucap ayah tegas kepada Mas Yangsa. Aku tertunduk lesu. Sudah kuduga sebelumnya, pasti ayah dan ibu tidak akan pernah mengizinkanku untuk benar-benar pacaran sampai waktu yang mereka tentukan. Kulihat seketika Mas Yangsa tersenyum palsu dan mengangguk seakan setuju. Sudahlah, mungkin Mas Yangsa lebih baik begitu, dia bisa saja mencari gadis lain yang tak memiliki banyak aturan sepertiku.
Di tengah situasi yang akward itu tak ingin berlama-lama ayah dan ibu meminta Mas Yangsa untuk segera pulang dengan alasannya situasi sudah malam. Masih berusaha tenang, Mas Yangsa pun pamit dengan mencium tangan ayah dan ibu sembari kembali meminta maaf dengan penuh penyesalan. Aku dan Mas Yangsa saling pandang dari kejauhan. Rasanya sedih yang begitu amat dalam, beberapa kali kuusap air mata yang menetes di wajahku sembari melihat Mas Yangsa benar-benar pergi sambil mendorong motor yang masih mogok itu. Kemudian, aku terdiam melihat ayah dan ibu yang dari tadi ternyata masih menungguku di depan pintu. Malam itu begitu terasa menyeramkan. Perasaanku campur aduk tak karuan.
Keesokan paginya, aku turun dari kamar ke ruang makan dengan wajah sembab karena menangis semalaman. Kulihat ibu, ayah dan kak Miraj sudah menungguku untuk sarapan. Aku terdiam kemudian duduk di kursi makan. Kulihat ibu memberi isyarat kepada ayah untuk mulai bicara. "Adik tolong dengar baik-baik. Kejadian tadi malam jangan sampai terulang lagi ya.", Pinta ayah dengan tegas kepadaku. Aku hanya mengangguk dan tetap diam membisu. Tahu gelagatku yang tidak baik-baik saja ibu lalu datang menghampiri dan kemudian membelai rambutku. Aku tak kuasa menahan tangis lalu seketika reflek memeluk ibu. Aku tahu keluargaku memang menyayangiku. Tetapi, aku tak kuasa menolak gejolak batin di dadaku. Perasaan cintaku begitu kuat pada Mas Yangsa. Seandainya ayah dan ibu bisa sedikit saja mengerti yang aku rasa. Di tengah-tengah tangisku. Ayah kembali memintaku mendengarkannya. "Adik, sesuai jadwal yang sudah direncanakan sebelumnya, minggu depan Ayah dan Ibu akan ikut mengantar kakak kembali mengambil program spesialis di negeri Kanguru. Karena situasinya adik dari awal memang tidak bisa ikut, maka sebaiknya ayah sudah minta oma untuk menjaga adik di rumah selama kami tidak ada", ucap ayah kepadaku.
Bagaikan serangan yang bertubi-tubi, rasanya aku ingin mengibarkan bendera putih tanda aku tak sanggup dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Hatiku yang sedang sedih-sedihnya memikirkan Mas Yangsa sekarang ditambah dengan rasa tak nyaman saat kudengar oma akan datang menjagaku. "Tidak ayah, semua baik-baik aja kok. Adik bisa sendiri di rumah, tolong ayah percaya", seketika aku begitu memohon pada ayah. Saat aku dengar lagi nama oma disebutkan, kembali terngiang ingatan buruk di masa kecil saat aku sering dititipkan kepadanya. Iya, omaku memang berbeda. Tidak seperti oma lain yang selalu sayang pada cucunya. Oma yang aku kenal sangat galak, bawel dan penuh dengan aturan. Hampir rasanya tidak pernah oma menunjukkan sikap lemah lembut kepadaku yang ada oma tegas mendidikku tanpa ampunan. Saat aku dirasa nakal, oma tak segan berteriak dan bicara dengan nada tinggi bahkan menghukum dengan mengurungku di kamar mandi. Mungkin efek buruk yang aku rasa sampai sekarang ini, aku jadi pribadi yang penakut dan tak percaya diri. Tuhan, tolonglah aku. Jeritanku dalam hati.
Seminggu kemudian, tiba waktunya ayah, ibu dan kak Miraj untuk pergi. Di pagi itu, terdengar bel pintu rumah berbunyi. Iya, oma sudah datang. Benar-benar datang dan siap menjagaku untuk beberapa waktu ke depan. Baiklah, hari itu benar-benar harus kulalui. Sesaat setelah semua pergi, oma menatapku tajam membuatku tertunduk tak berani. Aku terdiam memandangi sarapan. Dari seminggu kemarin aku memang tak nafsu makan, rasanya hambar mungkin karena pikiranku kacau tidak karuan. "Ada yang salah sama sarapannya? Mengapa tidak dimakan?", tanya oma garang kepadaku. Tanpa aba-aba langsung kulahap makanan yang ada dan berpura-pura menikmatinya. Setelahnya aku pamit pada oma untuk beranjak ke kamarku saat itu juga. "Anak gadis pagi-pagi sudah mau berkurung di kamar? Tidak bisa. Mulai sekarang You, ikuti aturan oma. Cepat ke sini! Baca ini dan perhatikan dengan baik setiap poinnya!" Perintah oma sembari menyerahkan selembar kertas yang berisi hal-hal yang menjadi peraturan dan kewajibanku setiap hari. Mulai dari bangun pada jam 03.00 dini hari untuk mulai belajar dan kemudian melakukan segala aktifitas yang sudah oma tentukan. Seperti membantunya berkebun, memasak dan membersihkan rumah. Sesungguhnya aku sudah tidak kaget lagi. Mau tidak mau, atau suka tidak suka, aku sudah pasrah dengan semua aturan ketat yang harus kujalani.
Kuingat sekali, di hari ke tiga bersama oma di rumah, aku diminta pergi membeli roti tawar kupas ke Belanda bakery untuk kudapan sore hari. "You, mau beli roti atau mau dangdutan? Itu baju ketat sekali bagaikan biduan. Cepat ganti sekarang!", perintah oma sembari mengomeliku tanpa henti. "Baik oma". Aku pun pamit kembali dengan baju yang sudah kuganti. "Perginya jangan lebih dari 1 jam ya. Ingat, langsung pulang. Jangan mampir ke sana sini!", perintah oma yang terus memperingatkanku tanpa henti. Dengan berlari aku pergi ke toko roti itu lalu berusaha untuk segera pulang sebelum batas waktu yang ditentukan demi menghindari omelan oma lagi.
Dengan nafas yang terengah-engah aku buka pagar dan mendadak terkejut sesaat sampai di depan rumah.
"Mas Yangsa?
Loh, kamu ngapain di sini?"(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Romance"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...