"Dulce, dengar baik-baik. Jangan panik. Tunggu aku di rumah ya. Aku ke sana sekarang!", seru Mas Yangsa menjawab teleponku. Tak berselang lama, dia benar-benar datang dengan meminjam mobil milik tetangganya dan langsung bergegas bersamaku membawa oma ke rumah sakit. Syukurlah saat itu oma langsung mendapatkan penanganan dengan segera sehingga bisa siuman dan berangsur pulih kondisinya. Sesaat setelah sadar, oma memanggilku dengan Mas Yangsa. Aku menangis melihat kondisi oma yang biasanya gagah dan super perkasa harus terbaring di kasur dengan lemas tak berdaya. Mas Yangsa yang disampingku beberapa kali menyemangati agar aku bisa tegar dan tidak menunjukkan kesedihan di depan oma. Oma tersenyum memintaku memegang tangannya. Rasanya di seumur hidupku itulah momen pertama kali aku melihat senyum tulus di wajah oma. Air mataku kembali menetes. Akhirnya aku merasakan juga rasa kasih sayang dan ikatan batin antara oma dan cucunya.
Semalaman menangis karena khawatir dengan kondisi oma, membuatku tak sengaja tertidur di sofa. Saat terbangun kulihat Mas Yangsa sedang menyuapi oma sarapan bubur diiringi tawa seperti sedang asyik bercanda. Pelan-pelan kuhampiri mereka. Mas Yangsa tersenyum ke arahku. "Kamu sudah bangun? Ayo sarapan. Ini aku siapin bubur juga untukmu", ucap Mas Yangsa kepadaku. Kulihat juga oma mengangguk-angguk sambil tersenyum ke arahku. "Oma, sudah baikan?", tanyaku pelan padanya. Berbeda dengan respon biasanya. Oma terus melemparkan senyum manisnya kepadaku. "Iya, oma baik-baik saja berkat kalian. Terimakasih ya", jawab oma dengan lemah lembut. Aku sungguh tak percaya. Sikap oma bisa berubah 180 derajat dari yang biasanya. Seketika aku memeluk oma dan memberanikan diri untuk mencium keningnya. Kulihat oma pun meneteskan air matanya. Lalu dia memanggil Mas Yangsa memintanya untuk ikut mendekat. "Tolong jaga cucu oma ya. Cintai dia dengan tulus", ucap oma pada Mas Yangsa sembari memegang tangannya. Kulihat Mas Yangsa tersenyum dan berkaca-kaca menahan air matanya. Momen yang begitu sulit untuk dilupakan. Bagai jembatan penghubung, permintaan oma itu membuatku semakin yakin bahwa perasaan cintaku dan Mas Yangsa memang layak untuk diperjuangkan.
Aku pun bersyukur kondisi kesehatan oma berangsur-angsur pulih seperti sedia kala dan bisa kembali pulang untuk menjalani hari seperti biasanya. Kami berkebun, memasak dan membersihkan rumah. Tak jarang kami pun belajar bersama. Oma yang pensiunan dosen pun mengakui dan sangat mengagumi kecerdasan Mas Yangsa, sehingga membuatku bangga akan predikat punya pacar juara. "Kalian cucu oma yang pintar, kelak akan melahirkan generasi-generasi yang juga luar biasa. Semoga Tuhan memberikan oma umur panjang sehingga bisa melihat kalian berdua menikah dan bersama", terdengar doa oma yang diiringi ucapan Aamiin dari aku dan Mas Yangsa. Mendengarnya begitu terasa damai dan membahagiakan. Aku dan Mas Yangsa kemudian saling pandang dengan penuh harapan.
"Seandainya memang Kasih adalah jodohku, tolong lancarkan segala ujian dan satukan kami dalam ikatan pernikahan. Tapi seandainya bukan, tolong tetap jodohkan kami ya Tuhan", ucap Mas Yangsa yang diiringi tawa kami bersama. Tetapi sesaat kemudian. "Apa-apaan ini?", seru ayah yang tiba-tiba datang menghampiri kami yang sedang asyik bercanda di halaman teras rumah. Seketika aku dan Mas Yangsa terkejut dan langsung terdiam tak berani menjawabnya. Rupanya ayah dan ibu sudah kembali pulang. Dengan wajah lelah karena perjalanan panjang, saat itu ayah terkesan tak senang melihat kembali kehadiran Mas Yangsa.
"I yang minta dia datang, You ada masalah?", ucap Oma seakan memasang badan untuk menantang ayah. Terlihat ibu tersenyum bingung dan berusaha menenangkan ayah agar tak emosi dan melawan oma. "You, berdua kan baru pulang. Segeralah mandi dan istirahat. Kita bicara nanti saat makan malam!", perintah oma yang akhirnya dituruti ayah dan ibu. Sesaat kemudian terlihat oma mengedipkan sebelah matanya kepadaku dan Mas Yangsa, seakan memberi sinyal kalau semua akan aman terkendali karena oma yang punya kasta tertinggi. Aku dan Mas Yangsa tersenyum lebar, kemudian memegangi tangan kanan dan kiri oma sembari kompak berbisik "Oma, terimakasih".
Pada malam harinya, kami duduk bersama bersiap untuk makan. Suasananya agak berbeda tidak sehangat biasanya. Ayah dan ibu terkesan kaku pada malam itu dan terlihat masih belum bisa nyaman dengan kehadiran Mas Yangsa. "Mengapa diam? You berdua tidak mau menyampaikan sesuatu?", tanya oma pada ayah dan ibu. Tak mau menunggu waktu lama oma pun akhirnya duluan menjelaskan apa yang sudah terjadi selama ini. Beberapa kali juga oma memuji tanggung jawab dan perhatian tulus dari Mas Yangsa yang memang patut untuk diakui. Mendengar oma sempat masuk rumah sakit, ayah dan ibu terlihat sangat terkejut dan sedikit emosi kepadaku karena tidak sampai memberitahu di saat momen tersebut terjadi. Tapi, oma kembali pasang badan menjelaskan kalau yang sudah dilalui adalah permintaan oma agar ayah dan ibu tidak khawatir saat sedang berada jauh di luar negeri. Beberapa kali ayah terlihat menarik nafas dalam-dalam berusaha untuk tetap tenang dan tak terpancing keributan. Demikian juga dengan ibu yang masih diam menyimak semua yang sedang oma jelaskan. Tiba-tiba ayah meminta perhatian semua untuk sejenak mendengarkannya.
"Baik, terimakasih untuk penjelasannya ya ma. Saya pun harus menyampaikan sesuatu bahwa di perjalanan kemarin selain mengurus program spesialis Miraj, kami juga sudah sekalian mempersiapkan Kasih untuk segera melanjutkan kuliah di sana", ucap ayah tegas tanpa jeda.
"'Hah? Maksudnya bagaimana ayah? Aku harus kuliah di luar negeri?", tanyaku dengan terbata-bata.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Siap
Romance"Saya terima nikah & kawinnya, Rasakasih Kamelia binti Bapak Samat Bharata dengan mas kawin 100 gram emas dan uang sebesar 1 Miliar Rupiah dibayar tunai. SAH!". Beberapa kali aku replay video pernikahan kami tahun lalu. Terbayang vibes kebahagiaan...