Takdir

32 25 0
                                    

"Iya gak lah! Gak kayak gitu. Aku cuma kesel aja. Tim aku tuh sering banget ngecewain. Gak pernah beres kerjanya! Jadi wajar aja aku marah sama mereka", jawab Mas Yangsa dengan nada kesal. Aku kembali tersenyum palsu. Tak ingin ribut-ribut aku pun memutuskan untuk pergi meninggalkan Mas Yangsa saat itu. Tak terasa waktu menunjukkan sudah larut malam. Kebetulan selepas acara hari itu kami sekeluarga memutuskan untuk menginap di Hotel yang menjadi tempat kak Miraj melangsungkan acara pernikahan. Ayah, ibu, oma dan semuanya sudah terlihat kelelahan. Mungkin mereka semua sudah pergi tidur dan kemudian beristirahat. Berbeda denganku, malam itu aku begitu merasakan galau dan gundah gulana. Hampir seharian aku merasa kesal menunggu kehadiran Mas Yangsa dan kemudian aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa dengan segala kejutan dari dia. Namun, akhirnya aku kembali merasa semuanya sia-sia. Kesempurnaan yang terlihat nyatanya hanya sebatas untuk kepentingan dunia maya. Di dunia nyata justru aku merasa kosong dan begitu hampa. Tak kusangka Mas Yangsa terus berubah menjadi seseorang yang begitu berbeda. Tiba-tiba air mataku menetes mengingat kenangan manis saat awal-awal kami pacaran dulu. Saat itu yang sederhana begitu terasa lebih bermakna. Suka dan duka kita lalui bersama. "Aku rindu kamu yang dulu Mas Yangsa", teriakku setengah menangis sembari melihat foto kami berdua di wallpaper ponselku.

Malam itu aku terus berjalan sendiri menyusuri jalanan yang sudah mulai sepi. Lalu aku tiba-tiba berhenti di depan Restoran Cepat Saji yang dari dulu biasa kukunjungi. Kebetulan tempat itu memang buka 24 jam. Dengan mata sembab dan perasaan sedih aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam Restoran itu dan sengaja mengambil posisi duduk di area pojokan. Sambil makan es krim di tengah malam itu, air mataku terus menetes. Entah mengapa aku begitu merasakan rasa sedih yang teramat dalam. Kuingat dengan jelas rasa sesak di dada yang masih begitu sangat menyiksa. Tak kusangka, waktu menunjukkan hampir pagi. Matahari hampir saja terbit. Dan aku benar-benar tidak tidur bahkan menangis semalaman. Kulihat ponselku saat itu ternyata sudah dalam kondisi mati karena kehabisan daya. Tanpa sengaja aku pun lupa membawa charger atau powerbank yang kupunya. Aku kembali menangis meratapi nasibku yang terlihat begitu menyedihkan.

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Aku pun memutuskan untuk kembali berjalan sendiri. Seakan tak ada tujuan aku hanya mengikuti langkah kaki dan kemauan hati. Sampai aku tiba di Perpustakaan Nasional yang berada di tengah kota. Kembali teringat kenangan manis di awal-awal kami merintis semuanya. Saat itu aku dan Mas Yangsa sering berkunjung ke sana untuk sekedar mencari inspirasi berbagai konten yang bermanfaat. Dengan wajah sembab, aku pun memutuskan untuk masuk ke sana untuk sekedar bernostalgia dan mengingat-ingat semua kenangan yang ada. Di situ, tepat di ujung sudut bangku-bangku jadi tempat biasa aku dan Mas Yangsa duduk bersama membaca buku dan mencari banyak hal baru. Aku kembali menangis dan duduk termenung sendirian. Saat itu rasanya aku juga mulai lelah. Sejenak aku tersandar dan kemudian tanpa sengaja aku pun jadi ketiduran.

"Kasih, kasih bangun!". Terdengar seakan suara Mas Yangsa membangunkanku. Sejenak saat itu aku tersenyum dan kemudian mengatakan kalau itu mimpi aku tak ingin bangun kembali. Sebab di dunia nyata aku merasa semuanya begitu hampa. Segala yang kupunya seperti tak ada artinya. Tiba-tiba kurasakan seseorang membelai lembut rambutku dan seketika membuatku tersadar dan kemudian pelan-pelan terbangun dari tidurku. Saat itu kulihat Mas Yangsa memandangiku dengan tatapan sendu. "Maafin aku Kasih. Aku sejahat itu biarin kamu sendiri seperti ini", ucap Mas Yangsa sembari reflek dengan erat memelukku. Saat itu aku masih belum benar-benar segar dan mengira itu adalah sebagian dari mimpiku. Namun, sesaat benar-benar sadar dan membuka mataku. Aku terkejut ternyata Mas Yangsa benar-benar berada tepat di hadapanku. Seketika aku hanya bingung dan seperti orang linglung. Mas Yangsa terus menangis memelukku. Dia terus mengatakan sudah mencariku semalaman. Ayah ibu dan semuanya khawatir dengan apa yang terjadi denganku karena aku juga benar-benar tak bisa dihubungi. Mendengar Mas Yangsa aku hanya diam saja sembari melirik ke sana dan ke mari. "Ini gak ada kamera kan? Bukan untuk konten berjudul kamu kehilangan?", tanyaku pada Mas Yangsa dengan nada datar. Sontak Mas Yangsa benar-benar menatapku dengan tatapan yang begitu tajam. Terlihat menahan emosi, Mas Yangsa seakan tak percaya aku sampai berpikir ke arah sana. Aku hanya tersenyum sinis. Tak ingin menimbulkan keributan. Aku pun berdiri lalu berniat untuk kembali beranjak pergi meninggalkan Mas Yangsa.

"Kasih, udah cukup! Aku bener-bener nyesel dan bener-bener minta maaf. Aku harus gimana buat perbaikin semuanya?", ucap Mas Yangsa sembari mencegahku untuk pergi. Mendengarnya aku pun kembali menangis. "Aku minta kita kembali jadi kita yang dulu. Yang sederhana dan apa adanya. Tapi selalu penuh cinta", ucapku dengan tegas pada Mas Yangsa. Seketika Mas Yangsa berlutut di hadapanku. Berulangkali dia benar-benar terlihat menyesal dan berusaha meminta maaf kepadaku. Melihatnya begitu aku tetap merasa ragu. Bagiku semua yang dilakukannya tak lebih dari sebuah settingan dan keperluan konten belaka. "Sudah cukup, aku gak perlu kamu janji-janji kosong. Buktiin aja dengan sikap yang nyata. Apa adanya gak usah dibuat-buat lagi semuanya", ucapku sembari meminta Mas Yangsa berdiri dan tak lagi berlutut kepadaku. "Ok, aku buktiin mulai sekarang. Gak akan ada konten settingan atau keseharian kita berdua. Aku akan kembali fokus untuk konten-konten belajar produktif dan kegiatan-kegiatan positif. Gak akan pernah aku paksa kamu untuk acting lagi di depan kamera. Hubungan kita akan selalu nyata. Gak akan lagi cuma untuk kelihatan bahagia di sosial media", ucap Mas Yangsa dengan penuh keyakinan. Tak ingin dia kembali mengecewakan, aku pun hanya mengangguk tanda setuju dan mengatakan dua kata kepadanya saat itu. "Silahkan buktikan!".

Semenjak kejadian hari itu, pelan-pelan Mas Yangsa benar-benar berusaha untuk membuktikan janji dan omongannya. Tak pernah lagi dia memaksaku untuk pura-pura berekspresi bahagia juga ceria di depan kamera. Kami pun pelan-pelan kembali menikmati hubungan kami berdua. Beberapa kali juga kami mulai membahas hal-hal serius yang menjurus ke arah persiapan pernikahan dan masa depan kami berdua. Sampai akhirnya Mas Yangsa benar-benar bertekad untuk melamarku secara resmi dan mulai menentukan tanggal pernikahan kami. Seakan mimpi yang menjadi nyata. Aku pun begitu merasa bahagia dan tak menyangka. Dengan penuh semangat kami pun benar-benar mengurus dan mempersiapkan segala keperluan pernikahan. Dari pihak keluargaku dan juga keluarga Mas Yangsa turut menyambut kabar itu dengan tangan terbuka dan mendukung sepenuhnya. Persiapan hampir sepenuhnya matang. Mulai dari kesiapan berbagai prosesi acara sampai detail-detail kecil yang mendukungnya. Semua terasa begitu sempurna. Namun, seakan takdir ingin berkata lain. Di tengah-tengah persiapan segalanya. Mendadak kami menerima kabar. Pagi itu 01 Mei 2021, ayah dan ibu diberi kabar mengejutkan bahwa oma ditemukan tak sadarkan diri di rumahnya sendirian dan kondisinya dinyatakan tak dapat tertolong lagi. Hari itu adalah hari di mana oma harus benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku dan Mas Yangsa begitu terpukul dan merasa kehilangan. Teringat semua kenangan indah bersama oma. Seakan sulit untuk menerima takdir yang sudah Tuhan tentukan untuk kami semua. Di titik itu aku dan Mas Yangsa benar-benar tak kuasa untuk menjalaninya.

"Ya, Tuhan. Mengapa secepat itu oma harus pergi? Mengapa di saat aku dan Mas Yangsa sedang begitu bersemangat mempersiapkan segalanya? Mengapa oma tak bisa tinggal lebih lama untuk turut serta menghadiri dan juga mendampingi pernikahan kami? Mengapa???"

(Bersambung)

Belum SiapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang